Share

MENCOBA MENGAKHIRI HIDUP

   

Kesalahan fatal telah Rima lakukan karena meninggalkan Safa sendirian di kontrakan. Baru saja Rima datang dengan wajah dipenuhi peluh setelah mengikuti kegiatan kampus ia melihat Safa sudah bersiap menyayat pergelangan tangannya sendiri dengan pisau cutter. 

"Astaghfirullah mbak!" Rima segera merebut pisau itu dari arah belakang, namun Safa terus mempertahankan pisau yang sudah menyentuh kulit nadinya. Rima berusaha menarik benda itu sebelum melukai tangannya."Istighfar mbak, kenapa harus seperti ini ya Allah!" 

SREETT

Darah segar mengalir dari pergelangan tangan Safa dengan begitu derasnya. Pisaunya berhasil Rima ambil namun sayangnya pisau itu sudah lebih dulu melukai tangan Safa. 

Rima panik melihat darah yang tercecer di lantai, wajah Safa yang kian pucat dan akhirnya tidak sadarkan diri.

"Kita ke rumah sakit sekarang mbak!" 

        Di dunia ini hal yang paling membosankan bagi Arjuna adalah mengantar Mamanya chek-up ke dokter seperti apa yang biasanya Zhafran lakukan dulu. 

Maklum, Renita memang sudah lanjut usia dan sangat sering sakit-sakitan. Namun karena Renita mempunyai banyak aset yang harus ia jaga, maka dari itu ia tidak bisa pasrah begitu saja dengan keadaan. Ia tidak bisa meninggalkan harta suaminya yang sangat banyak, jadi selama masih ada pengobatan yang mampu membantu memperpanjang usianya maka akan ia datangi. 

"Dokter, saya bosan harus duduk di atas kursi roda. Apa tidak bisa membuat sesuatu agar kaki saya bisa berjalan kembali?"

"Saya akan bayar berapapun untuk itu." Arjuna yang masih setia duduk di sampingnya menghembuskan napas kasar. 

"Ini sulit nyonya Renita, operasi terlalu beresiko untuk usia nyonya yang tidak lagi muda." Renita menoleh ke arah putranya kemudian Arjuna membalas tatapan itu dengan mengelus punggung mamanya. "Sudahlah ma,"

"Dengan minum vitamin dan susu penguat tulang perlahan bisa membantu memperbaiki sel tulang yang rusak." Jelas sang dokter berkacamata itu.

"Arjuna, kamu harus selalu mengingatkan mamamu untuk minum obat dan vitaminnya secara teratur. Kamu putra satu-satunya, jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan." Arjuna menyimaknya dengan malas, karena ia rasa usaha apapun yang dilakukan orang tuanya berujung sia-sia. Untuk apa ia repot mengurus Mamanya dengan sepenuh hati, bukankah Renita punya banyak pembantu? Karrna seperti itulah yang Renita lakukan pada Arjuna dulu, membesarkannya dengan uluran tangan pembantu.

Sejak dulu, kedua putra mereka hanya dijadikan aset yang menguntungkan bagi kedua orang tuanya. Kehidupan mereka tak layak disebut bahagia meskipun memiliki kekayaan yang berlimpah. Hidup Zhafran dan Arjuna dikendalikan seperti robot yang dikendalikan tuannya. Semuanya tidak bebas melakukan sesuatu termasuk memilih pasangan hidup. Zhafran sudah dijodohkan dengan gadis keturunan bangsawan kaya raya, namun takdir berkata lain Zhafran meninggal tanpa diketahui penyebabnya. 

Renita pernah mengira putra pertamanya meninggal karena ia tidak merestui hubungan Zhafran dengan kekasihnya dari kalangan biasa. Namun penyesalan itu hanya sebatas kata menyesal, buktinya perjodohan dengan gadis bangsawan itu tetap ada dan penggantinya adalah Arjuna.

"Nyonya Renita, untuk pengecekan selanjutnya bisa tolong ikut saya. Tolong bawa nyonya Renita suster." Seorang suster yang sejak tadi berdiri di belakangnya membantu mendorong kursi roda Renita. Sementara itu, Arjuna menunggu di luar. Penyakit komplikasi pada Renita memerlukan banyak pengecekan dan penanganan medis membuat Arjuna suntuk karena harus lama menunggu. 

Kaki jenjang Arjuna berjalan lamban seiring dengan kebosanan selama waktu menunggu. Suara bising rumah sakit betul-betul tidak bisa ditoleransi, ia memilih untuk menunggu di mobil saja. Paling-paling, Mamanya akan spam telepon nanti. 

Suara yang mengganggu telinganya semakin menjadi-jadi, kali ini suaranya seperti rintihan perempuan yang meronta. Arjuna menjejalkan kedua tangannya pada saku celana, suara histeris itu semakin jelas terdengar hingga akhirnya ia melihat beberapa suster berkerumun di salah satu ruang rawat. 

Arjuna tergerak untuk mengintip dari jendela kaca dari luar namun pandangannya terhalang oleh beberapa dokter yang sedang menangani pasien yang menjerit histeris itu.

"Rima... Aku ingin mati!" 

"Sudah tidak ada gunanya aku hidup rim."

"Aku mau mati saja!" 

"Istighfar mbak, jangan bicara seperti itu!"  Beginilah Safa sekarang, setiap harinya berteriak-teriak kalau tidak ya menangis histeris. Bagai tak punya waktu untuk menikmati hidup bahagia.

Kemudian pandangannya terarah pada gadis sebelahnya yang dipanggil Rima oleh si pasien. Ia ingat betul siapa gadis itu, remaja ingusan yang telah membuatnya kesal setengah mati waktu itu. Ketika ia mau menemui Safa.

Artinya, mungkin pasien yang menangis itu Safa?

Terdorong oleh rasa penasarannya, Arjuna mendekat ke arah pintu, agar ia bisa melihat langsung wajah yang ada di pikirannya itu. 

Betul, itu adalah Safa. Perempuan itu baru saja disuntikkan obat penenang oleh dokter. Sehingga perlahan suara tangisan itu melemah dan hilang. Arjuna kini sudah melihat sendiri betapa hancurnya perempuan itu setelah ia nodai tanpa perasaan bersalah. Bahkan ia paham, bahwa sepertinya perempuan itu telah melukai dirinya sendiri agar cepat menemui ajalnya, namun gagal.

Namun rasanya bukan perasaan puas yang ia dapatkan. Seperti ada sesuatu yang mengganjal hatinya agar terus bisa berurusan lagi dengannya. 

Arjuna berusaha menghapus perasaan aneh itu dan bersikap acuh dengan apa yang telah ia lihat. Pokoknya selagi perempuan itu tidak macam-macam atau ingin melaporkannya ke polisi maka ia tak akan melakukan tindakkan apapun. Anggap saja semuanya terjadi pada Safa tanpa ada kendalinya. 

Pria bertubuh tegap itu melanjutkan langkahnya kemudian suara renta memanggilnya.

"Arjuna!" Pria itu menengok ke belakang, ia melihat Mamanya sudah selesai menjalani sesi pengecekan. 

"Kamu ke mana saja? Mama mencarimu."

"Aku hanya jalan-jalan sebentar di dalam membosankan."

"Kamu selalu saja begitu. Ayo kita pulang." Arjuna membiarkan suster yang mendorong kursi roda Mamanya. Jarang sekali tangan Arjuna memegang langsung gagang kursi roda itu.

Rupanya Arjuna tidak sadar, bahwa Rima telah memperhatikan ketika Renita memanggil namanya. Rima tak menaruh kecurigaan apapun ketika melihat pria menyebalkan itu, ia menganggap ini hanya sebuah kebetulan saja.

"Arjuna, Mama sudah semakin tua apa kamu tidak kasihan pada Mamamu ini?" Arjuna hanya melirik sekilas kemudian kembali fokus menyetir. Sebetulnya pikirannya tak jauh-jauh dari apa yang ia lihat di rumah sakit tadi.

"Mama ingin kamu segera datangi kekasihmu di Jerman." Putranya itu berdecih, sedikit tertawa sinis, sejak kapan dirinya punya pacar?"Mama lupa, Arjuna tidak punya pacar."

Arjuna tidak pernah merasakan indahnya memiliki pujaan hati. Karena yang ia tahu perasaan cinta itu hanyalah kebohongan yang pada akhirnya akan kalah oleh keegoisan orang tuanya. Seperti yang harus dirasakan Kakaknya dulu. Dan Arjuna tidak pernah mau hancur  dengan alasan konyol seperti itu.

"Bukankah Selena kekasihmu? Kalian kan akan segera menikah setelah Selena lulus S2 nya nanti?" 

Tawa ejekan berderai dari bibir Arjuna, "Itukan menurut Mama,"

"Maksudmu apa Juna?!" 

"Lakukanlah apapun keinginan Mama, aku akan mengikuti."

"Bicaramu itu seperti anak yang dipaksa menikah."

Arjuna tertawa miris, "Lho, memang iya."

"Memangnya selama ini Mama pernah bertanya bagaimana pendapatku? Bukankah suaraku tak pernah berarti bagimu?" 

"Memang apa kurangnya Selena? Dia cantik, pintar dan kaya sepadan denganmu Arjuna!"

Arjuna menatap manik Mamanya itu dalam-dalam, "Kurangnya adalah, dia pernah menjadi milik Kakak."

Secara mendadak, Arjuna memutar balikkan mobilnya ke arah berlawanan. Tepatnya ke arah rumah sakit tadi, ada sesuatu yang harus segara ia tuntaskan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status