Share

BROKEN APART

Tubuh Safa tergolek lemas di atas lantai yang kotor dan lembab. Ia baru bergerak setelah pingsan selama beberapa jam, lalu mendapati tubuhnya penuh luka lebam. Semuanya masih sama, bukan sebuah mimpi ia menemukan dirinya dalam keadaan hancur dan rusak.

Di tubuhnya melekat sesuatu yang terlihat asing, semalam jas hitam itu belum ada untuk menutupi tubuhnya. Safa mengenalinya, itu adalah jas kerja milik Arjuna yang ia pakai semalam ketika ia melakukan perbuatan keji itu. Mungkin sengaja ia berikan pada Safa untuk menutupi pakaiannya yang rusak.

Saat itu, Safa berpikir seribu kali untuk bangun. Akan lebih baik jika ia bertahan di sana menunggu ular memangsa atau sesuatu berbahaya lain, agar ajal datang menjemputnya lebih cepat. Namun Safa teringat kedua orang tuanya, bagaimana mungkin Safa pergi tanpa mengucapkan permintaan maaf karena telah mengecewakan hati mereka.

Safa meringis karena terkepung oleh rasa perih dan ngilu di sekujur tubuh. Saat dulu jatuh dari sepeda Safa bisa teriak dan menangis agar mendapatkan pertolongan dari orang tuanya, kini Safa harus merasakan penderitaannya sendirian.

Kakinya yang lecet masih terasa perih, darahnya dibiarkan mengering sendiri. Bekas ikatan di tangannya juga terasa sangat menyakitkan. Dan sakit yang paling kentara adalah sakit di bagian selangkangannya sehingga tak sanggup untuk berdiri. Semalam Arjuna memaksakan untuk masuk terlalu dalam, padahal tubuhnya sama sekali belum siap untuk menerimanya.

Ini untuk pertama kali, dan ia harus merasakannya dengan cara yang tak manusiawi.

Ia melihat bercak darah di pahanya, darah yang seharusnya keluar ketika ia sudah sah menjadi seorang istri.

Miris sekali jika diambil oleh yang bukan haknya.

"Bu, Safa sakit... Sakit sekali." Lirihnya, berusaha untuk bangkit. Rupanya tuhan masih mengizinkan Safa untuk melihat matahari lagi, sayangnya dirinya sudah dalam keadaan berbeda,

Sudah rusak.

Rusak yang tidak dapat diperbaiki lagj dengan apapun juga.

Safa mendongak, mengadah ke arah langit yang cerah. Matahari membawa harapan baru bagi makhluk di seluruh dunia, kecuali dirinya?

Dimatanya, sudah tak ada lagi harapan hanya ada kehancuran bayang-bayang cemoohan dan apa kata orang yang tahu kebenaran tentang dirinya. Mimpinya sudah lenyap, berganti trauma seumur hidup yang tak akan pernah hilang sampai ajal menjemput.

Safa membetulkan letak pakaiannya, mengancingi satu persatu kancing kemeja yang tak utuh jumlahnya, untung saja ia masih mengenakan dalaman tank top yang dapat digunakan sebagai inner sebelum memakai kemeja putihnya. Dan jas yang Arjuna tinggalkan, ia gunakan untuk menutupi roknya yang robek dengan cara mengikatnya di pinggang.

Dengan tertatih, Safa mengambil tasnya kemudian keluar dari area yang tampak tak sesunyi tadi malam. Ia harus cepat bergegas pergi meninggalkan tempat itu, sebelum pekerja proyek datang dan menuduhnya berbuat macam-macam. Karena langit semakin terang, Safa dapat dengan mudah menemukan jalan raya tempat kendaraan berlalu-lalang.

Kali ini ia harus mengabaikan pandangan orang lain yang menatap aneh dirinya dalam kendaraan umum. Ia paham pandangan orang terhadapnya jika saat itu Safa terlihat seperti gadis liar yang tak tahu malu. Tapi semua itu dibiarkan lewat begitu saja tampa menegur atau menjelaskan alasan kuat menagapa dia bisa seperti ini.

         Sesampainya di kontrakan, tanpa mengucapkan salam Safa langsung berlari mendobrak pintu kamar mandi sembari menangis. Rima yang sedang sarapan sebelum berangkat kuliah hanya bengong memperhatikan Safa yang masuk rumah langsung menuju lamar mandi.

"Mbak? Mbak Safa?!" Panggilnya pelan, dari dalam terdengar suara tangisan Safa yang semakin keras. Safa mengguyur tubuhnya dengan air tanpa melepaskan pakaiannya sambil terus menangis histeris. Ia merasa tubuhnya kotor dan tidak bisa dibersihkan dengan apapun lagi.

"Mbak! Buka Mbak!" Rima menggedor- gedor pintu kamar mandi dengan gusar karena mendengar Safa terus berteriak dan menangis kencang.

       Pagi itu seperti biasanya, tak ada yang berubah dari Arjuna terlihat santai dan tenang. Tak ada rasa bersalah setelah melakukan pelecehan terhadap gadis bernama Safa, karena ia masih yakin jika Safa menjadi penyebab Zhafran meninggal. Untuk perkataannya malam itu, bisa saja dia mengarang cerita agar Arjuna iba.

Arjuna mendapati selembar surat pengajuan cuti Meri yang ia minta tempo hari. Kemudian ia menekan nomor pada telepon umum yang ada di meja kerjanya.

"Selamat pagi Bu Meri, tolong ke ruangan saya sekarang ada yang ingin saya bicarakan." Katanya kemudian menekan kembali satu tombol.

Tak lama Meri datang dengan wajah sumringahnya seperti biasa. Perempuan berusia dua puluh tujuh tahun yang kini tengah mengandung buah hatinya yang sudah menginjak bulan ke enam. Ia telah menghabiskan waktunya untuk bekerja di perusahaan ini sekitar empat tahun. Dan selama itu pula Meri menjadi salah satu penggemar Arjuna secara terang-terangan. Dia salah satu fans berat atasannya itu karena parasnya yang tampan juga baik hati.

"Ada apa Pak Arjuna memanggil saya kemari?" Tanyanya.

Arjuna mempersilahkan Meri untuk duduk terlebih dahulu, karena ia mengerti betul jika ibu hamil sering merasa engap jika habis berjalan meskipun Meri datang ke ruangannya menggunakan lift sekalipun tetap saja melelahkan.

"Saya ingin memberikan hadiah ini secara pribadi untuk Bu Meri." Arjuna memberikan bingkisan yang sejak tadi ia simpan di bawah meja kepada Meri.

"Ini perlengkapan bayi." Senyum bahagia terpancar dari wajah Meri sekaligus haru bercampur menjadi satu. Pimpinannya benar-benar baik hati. "Ya Allah, terima kasih pak. Padahal saya lahirannya masih lama tapi bayinya sudah dapat hadiah." Tak hanya Meri, pekerja perempuan lainnya juga tak jarang mendapatkan hadiah ketika menikah atau punya anak. Itulah alasan mengapa Arjuna sangat dikagumi oleh bawahannya terutama perempuan. Namun sayangnya tak mudah untuk menggaet hati Arjuna, belum pernah sekalipun diberitakan jika Arjuna terlibat kencan dengan rekan kerjanya apalagi jika bawahannya. Selain karena takut terkelit skandal, Arjuna juga cukup cuek dalam masalah percintaan karena semuanya sudah diatur dengan budaya perjodohan.

Meski perasaannya tak enak Meri harus menerima pemberian mahal itu untuk menghargai atasannya, lagipula jika ia tak menerimanya buat siapa lagi perlengkapan bayi itu. Arjuna belum mempunyai istri apalagi kalau anak.

"Saya terima dengan senang hati, semoga Pak Juna diberikan rezeki yang berlimpah dan semakin bersikap bijaksana." Ucapnya sambil tersenyum kepada Arjuna.

Meri mengelus perutnya yang tertutup kemeja putih. "Lihat nak, atasan ibu baik sekali. Bukan hanya wajahnya yang tampan tapi hatinya seperti malaikat." Sanjungnya kepada bayi yang ada di kandungannga. Dada Arjuna tiba-tiba terasa sesak, ketika Meri menyebutkan kata malaikat. Tiba-tiba saja ia teringat perkataa Safa yang berbanding terbalik menyebutnya iblis yang kejam. "Kamu harus segera lahir agar bisa melihatnya." Arjuna menelan ludahnya sendiri, anak itu tidak boleh bertemu orang jahat sepertinya di dunia yang kejam ini.

"Kalau begitu saya permisi." Meri pamit keluar ruangan. Arjuna merasakan kehampaan yang begitu nyata. Ibu hamil tadi berhasil membuat perasaannya campur aduk.

        Rima masih berusaha menenangkan Safa yang menangis. Terpaksa hari ini ia bolos kuliah karena mendapati Safa dalam kondisi yang begitu buruk. Tadi pagi, Rima menemukan Safa pingsan di dalam kamar mandi dengan pakaian yang basah. Terlebih lagi pakaian yang Safa kenakan koyak membuat Rima bertanya-tanya apa yang telah terjadi sebenarnya, namun ia belum berani menanyakan apa-apa pada Safa karena takut membuatnya semakin terluka.

Setelah membantu Safa mengganti pakaian yang lebih baik, Rima mengambil kotak obat untuk mengobati luka lecet yang ada pada kaki dan tangan Safa.

"Rima bantu obati lukanya dulu ya mbak." Rima mengambil tangan Safa yang terlihat lemah dan pucat itu. Di sana ia menemukan guratan bekas ikatan di pergelangan tangan Safa. Safa membersihkan luka di tangannya dengan sangat hati-hati karena meskipun Safa tak bilang kesakitan, sudah pasti rasanya menyakitkan. Ia mengamati jari-jari kaki sampai lutut, terdapat lebih banyak luka lecet sehingga kaki mulusnya tak lagi terlihat indah. Hingga sampai paha, ia melihat luka lebam dan memar meninggalkan warna biru keunguan di kulit putihnya. Safa terlihat menurunkan celana kulotnya yang konggar ketika Rima terlihat mengamati luka lebam itu.

"Mbak..." Rima melihat mata Safa yang juga melihatnya, terlihat sayu dan berair. "Mbak istirahat, Rima ada di sini temani mbak." Katanya. Sejujurnya ada banyak yang ingin ia tanyakan pada Safa, mengenai kepergiannya semalaman dan luka-luka yang ia dapatkan, semuanya yang dirasa mengganjal dan belum mampu Safa ceritakan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status