Share

RENCANA KEJI

: Rencana Keji

       "Kamu bilang tadi butuh pekerjaan? Bagaimana jika kamu bekerja di sini saja itupun kalau mau?" Dimas menaikkan ujung alisnya menunggu jawaban dari Safa. Mendengar cerita Safa bahwa ia baru saja mengundurkan diri dari perusahaan besar membuat Dimas iba dan akhirnya secara mendadak membukakan lowongan pekerjaan untuknya meskipun tak diperlukan.

"Tentu aku mau. Kapan aku bisa bekerja?" Safa bertanya dengan sangat antusias. Meskipun pekerjaan ini tidak ia harpkan dan memang tak sesuai dengan passionnya namun Safa masih butuh uang untuk menyambung hidupnya. 

"Kapanpun kamu mau." Ucap Dimas.

"Kalau begitu besok pagi aku ke sini." Safa mulai bangkit pertanda akan pulang. 

"Kalau begitu aku pamit. Terima kasih makan siangnya." Safa menunduk sebagai tanda terima kasih. 

Keluar dari pintu kaca tembus pandang itu perut Safa sudah terisi dan satu pekerjaan telah ia dapatkan sekaligus dua hal yang patut ia syukuri hari ini.

Safa berjalan kembali untuk pulang ke kontrakan, memberikan kabar baik untul Rima teman satu kontrakannya itu.

Tanpa Safa sadari dari arah belakang mobil CRV hitam sudah siap menginjak pedal ingin menabraknya. 

Mobil itu melaju dengan kecepatan penuh hingga akhirnya Safa sadar ketika mendengar decitan yang memekik telinga. Refleks Safa minggir secara mendadak dan terjatuh di trotoar hingga kemeja putihnya kotor. Para warga yang kebetulan melintas membantu Safa untuk bangun.

Melihat targetnya lolos dari maut Arjuna kembali memacu mobilnya dengan kecepatan penuh membuat warga menyumpahi dirinya. 

"Lain kali pasti akan berhasil." Gerutunya dari dalam mobil yang terpacu.

Safa hanya termenung, sesuatu yang buruk kini selalu saja mengintainya. Jika saja warga tak datang membantunya pasti mobil itu tetap menekan gas dan menjadikan Safa target.

Buru-buru Safa bangkit, berlari menuju kontrakan mengabaikan warga yang masih mencemaskannya.

Tanpa basa-basi Safa langsung masuk kamar dan menguncinya rapat-rapat. Air matanya tiba-tiba mengalir teringat Zhafran. 

"Mas, ini pasti ulah adikmu kan?" Tadinya Safa tak berniat menuduh siapapun atas semua kesialan yang menimpanya secara beruntun, namun semuanya terlihat sangat rapih untuk tidak dicurigai. Semuanya menjurus pada satu orang yang pernah mengancamnya yaitu Arjuna.

***

         Pagi itu Arjuna mengamati karyawannya yang sedang sibuk bekerja. Kantor yang lebih banyak diisi oleh perempuan membuat Arjuna terbiasa dengan keberadaan perempuan di sekitarnya. Netra Arjuna terhenti pada perempuan di divisi humas yang sedang hamil, usianya masih muda, mungkin hanya tiga tahun lebih tua darinya.

"Selamat pagi bu Meri?" Sapa Arjuna dengan ramah membuat perempuan yang baru menikah setahun yang lalu menoleh. "Pagi pak Juna." Sapanya tak kalah lembut dan ramah.

"Kandungan ibu sudah berapa bulan?" Tanyanya ketika melihat salah satu karyawannya itu kesulitan bekerja karena perutnya mulai membesar.

"Kandungan saya memasuki usia tujuh bulan." Jawabnya sambil tersenyum memandang perutnya yang menggembung, sebentar lagi malaikat kecil akan lahir dari perutnya.

"Kenapa tidak segera ambil cuti?" Bu Meri mengambil napas panjang membuat Arjuna ikut merasakan sesak di dadanya. Bagaimana mungkin tidak sesak, jika organ pernapasan perempuan itu kini dihimpit oleh tubuh manusia baru yang semakin membesar. Keajaiban yang luar biasa namun biasa bagi perempuan.

"Tapi kan belum waktunya pak. Biasanya mendekati persalinan tapi kayaknya saya lahirannya cesar" Meri tahu betul jika usia kandungannya belum genap delapan bulan maka belum boleh cuti dan jika ia bolos, resikonya bisa dipecat, Meri masih mencintai pekerjaannya saat ini. 

"Saya tunggu surat pengajuan cuti ibu besok pagi." Bu Meri bingung mau menanggapinya harus seperti apa. Ia takut tiba-tiba harus mengundurkan diri karena jangka pengambilan waktu cuti yang masih lumayan panjang.

Apakah Arjuna ingin mendepaknya secara halus?

"Tidak perlu khawatir, gajimu akan aku berikan secara penuh." Arjuna yang paham akan ekspresi Meri jika ada yang mengganjal langsung meluruskan niatnya.

Usai pembicaraan itu, Arjuna kembali ke ruangannya. Tiba-tiba kepalanya merasa pusing. Ia duduk di kursi tamu, terdapat satu orang tamu spesialnya yang sering sekali berkunjung. 

"Kau tidak lupa meminum obatmu kan?" Tanya seorang pria yang terlihat seumuran dengannya.

"Aku sudah bilang, aku sudah sembuh." Ucapnya mengelak. Ada tatapan tak suka ketika temannya membahas itu lagi dan itu lagi dan selalu menganggap dirinya pria penyakitan yang selalu bergantung dengan obat untuk bertahan hidup.

"Mendengar ceritamu hari ini sepertinya kamu memang sudah sembuh," Arjuna menaikkan alis kirinya, ia tahu bagian-bagian yang baiknya saja.

Ya, pasti pria itu sudah mendengar dari para karyawan karena telah mendapatkan perhatian khusus dari Arjuna.

"Kalau begitu beri aku hadiah. Aku ingin wine atau sebotol vodka." Katanya malas sembari menyenderkan lehernya di kursi putar.

"Sudah kubilang jangan minum." Peringat pria bernama Rico itu. Ia sangat anti dengan minuman sejenis itu, ia menganggapnya sebagai musuh di kehidupannya. Berbeda dengan Arjuna yang menganggapnya sebagai kekasih teman dikala dirinya gundah.

Rico, sahabat Arjuna berprofesi sebagai psikolog yang sedang menjalani pendidikan S2 nya di universitas ternama.

Dan dia adalah satu-satunya teman bagi Arjuna yang kesepian itu.

"Rico, kau juga butuh minum. Pasti stres karena mengurus orang gila sepertiku." Ucapnya membuat Rico menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya melihat temannya benar-benar dalam keadaan suram. Arjuna sadar dirinya gila, namun detik berikutnya ia tak mau dibilang sakit.

Satu yang ia pahami dari seorang Arjuna, ia hanya butuh seorang sahabat yang bisa memahaminya, memahami perasaannya yang aneh dan tak dapat dimengerti bagi sebagian orang.

Rico menengok jam di pergelangannya. Hari ini ia tak boleh telat mengisi seminar yang ada di kampusnya. Segera ia undur diri, sebenarnya masih banyak hal yang ingin ia dengar dari sahabatnya itu namun waktu begitu cepat memburu.

"Arjuna, aku pamit. Aku harus menghadiri seminar kampus." Pria berpostur gagah itu bangkit, ia menepuk pundak Arjuna. "Jaga kesehatanmu dan jangan mabuk. Mabuk hanya akan menyakiti dirimu sendiri." Ucapnya sebelum melenggangkan kakinya menuju pintu keluar.

Arjuna hanya terdiam, ia merasakan kebebasan untuk melakukan apapun setelah pria itu pergi. Arjuna memang bukan tipe sahabat yang setia karena terlalu sulit untuk memenuhi pesan dari sahabatnya sendiri meskipun itu untuk kebaikannya.

Kali ini Arjuna memang tak jadi memesan minuman lewat kurir, tapi ia datang langsung ke tempat keberadaannya.

       Telah terbuai oleh alkohol, Arjuna kuat menghabiskan sebotol vodka sendirian, bahkan di mejanya tersedia yang baru. Padahal minuman jenis vodka kadar alkoholnya termasuk dalam kategori paling tinggi.

Getaran di saku celana membuat tangannya merasa mencari sumbernya.

Mama.

Wanita itu pasti akan menyuruhnya pulang. Padahal kini ia sedang bersenang-senang dengan para kekasihnya yang bertengger di atas meja saji.

Tak sempat mengangkat, Arjuna justru  membuka galeri. Dilihatnya foto dirinya bersama Zhafran sang kakak yang telah tiada.

Entah mengapa gambar itu membuatnya teringat pada mantan kekasihnya yang waktu itu melamar pekerjaan di kantornya. Mengingatnya saja membuatnya mengeluarkan ekspresi muak. 

Ia jadi tertantang melakukan sesuatu, Arjuna menelepon seseorang kepercayaannya.

"Tolong kirimkan alamat calon karyawan bernama Safa. Segera kirimkan." Katanya dengan suara yang terdengar sama seperti biasanya. Tak terdengar seperti orang mabuk yang melantur.

       Langit mulai gelap, Safa masih sibuk menyelesaikan pekerjaannya dengan hati yang gelisah. Sesuatu yang buruk mungkin sedang mengintainya saat ini, makannya sebelum petang, ia ingin menyelesaikan pekerjaannya dan pulang ke kontrakan. Meski baru sekali bertemu, wajah Arjuna selalu membayangi kepalanya membuat pikirannya menjadi kacau. 

Tugas terakhir, mengepel lantai sudah selesai waktunya untuk Safa kembali pulang.

Safa segera menghentikan angkot ketika sampai di pinggiran jalan. Rintik-rintik hujan mulai berjatuhan, Safa menghalangi tetesan air hujan yang turun di kepalanya dengan tas. Kontrakannya masih harus ia tempuh beberapa puluh meter lagi dengan berjalan kaki. Safa harus melewati gang-gang kecil yang dipenuhi pertokoan dan kos-kosan yang sudah lumayan sepi dan gelap. Hanya sedikit pencahayaan yang membantunya melihat jalan, Safa tidak mungkin menggunakan senter di ponselnya karena takut terkena air hujan. Ponsel jeleknya pasti akan mati 

Dingin mulai merayap ketika tetesan air hujan menembus bajunya. Jarak yang terlalu biasa ia tempuh kini terasa semakin jauh bahkan ketika Safa telah mempercepat langkahnya.

GREPP

Seseorang bertubuh besar menyergap tubuhnya dari arah belakang. Safa syok, ia merasakan tubuhnya tak bisa  digerakkan.

Hendak berteriak namun mulutnya dibekap dengan tangan. Seluruh fungsi anggota tubuhnya juga terkunci karena dekapan yang menyesakkan itu. 

Terlintas di kepala Safa untuk menggigit telapak tangan yang membungkam mulutnya.

"Aakh!" Pria itu mengerang kesakitan ketika Safa berhasil menggigit telapak tangannya yang cukup besar itu dengan keras. Rencananya berhasil membuat tubuhnya terbebas dari perlakuan tak senonoh itu.

Bau alkohol bercampur aroma dinginnya air hujan bercampur jadi satu di rongga hidung Safa. Dapat Safa lihat dengan jelas sileut pria bertubuh ramping itu. Sorot mata tajam tercipta dari kedua netra itu, Safa semakin ketakutan. 

"Pak Juna?!" Kaki Safa kalah cepat untuk berlari karena Arjuna lebih dulu menyumbat mulutnya dengan tangan yang kokoh sembari menyeretnya keluar dari gang sempit itu, membawanya masuk dalam mobil.

Safa dengan sekuat tenaga melawan namun perlawanannya tak berarti bagi pria setengah mabuk itu. Arjuna sangat sadar dengan apa yang sedang ia lakukan. Sejak tadi, Arjuna susah menunggu kepulangan Safa di depan gang tadi. Mungkin Safa tak menyadarinya karena terlalu buru-buru, padahal mobil hitam yang waktu itu hampir menabraknya juga terparkir di depan gang sempit itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status