Hari ini aku membawa serta beberapa file pekerjaan, karena esok aku harus melampirkan datanya.Aku berdiri di teras, sembari menunggu kedatangan Ratih mengantarkan laptop miliknya, sebenarnya aku tak enak hati. Aku yang meminjam karena perlu, tapi malah si pemilik yang mengantarkan. Yah, mau bagaimana lagi, aku tak mau meminta tolong Bang Hasan untuk mengantarkan aku ke rumah Ratih.Padahal tadi pagi aku sudah berniat mengajak Bang Hasan ke rumah Ratih malam ini sembari berkeliling menikmati udara malam. Tapi apa mau dikata kejadiannya malah begini.Suara deru motor membuatku berdiri. Ratih datang bersama dengan Bang Adi, suaminya, serta si tampan Zain."Makasih ya Tih, sudah mau repot-repot anterin. Aku jadi nggak enak," ucapku pada Ratih sesaat setelah ia turun dari motornya lalu menyerahkan laptopnya padaku."Nggak apa-apa Mir, ini tadi kami sekalian jalan-jalan bawa Zain."Lekas aku menoleh pada Zain yang sedang di gendong ayahnya."Wah, gembal gembil Tante. Lucu banget sih," ucap
Pov IbuSejak kejadian si Mira melabrakku di depan semua orang, entah kenapa fisikku jadi melemah.Rasanya semua semangat hidupku hilang begitu saja. Aku teramat malu untuk keluar rumah. Semalam saja para Ibu-ibu arisan ingin menjenguk, aku menolak. Kuminta Lina untuk mengatakan aku sedang tidur, alhasil mereka semua pulang. Mereka hanya menitipkan buah tangan khas menjenguk orang sakit, apalagi kalau bukan roti bantal selai dan sekilo buah jeruk.Huh, apa tidak ada bawaan yang lebih keren.Sudah malunya sampai ke ubun-ubun, untungnya tak seberapa. Sudah bisa kubayangkan kini aku seterkenal apa di kalangan Ibu-ibu disini.Terlebih lagi si Sita, dia pasti paling vocal menceritakan kejadian waktu itu kemana-mana. Tahu betul aku sebanyak apa lemak dalam mulut si gendut itu. Tapi tidak apa, semalam Hasan sudah berjanji pagi hari ini istrinya akan melakukan klarifikasi di depan semua Ibu-ibu arisan. Hahaha, klarifikasi, memangnya menantuku itu artis.Apapun namanya lah, yang jelas ia akan
Sinar matahari pagi menelusup masuk dari celah-celah jendela, membuatku harus membuka mata. Kulirik ponselku di meja, aku kesiangan, bahkan sampai ketinggalan sholat subuh, padahal aku selalu mengatur alarm di ponsel. Mungkin semalam aku nyenyak sekali, sehingga aku tak bisa mendengar apapun.
Setelah menutup pintu, masih dapat kudengar dengan jelas, umpatan dan makian Ibu, disusul dengan sebuah ketukan dari sebalik pintu."Mir, Mira. Ini Abang Mir. Buka pintunya sebentar," ucap Bang Hasan dengan suara yang terputus-putus.Aku diam tak bergeming dari tempatku. Sudahlah mungkin ini memang akhir dari rumah tangga yang masih seumur jagung ini."Mira, Abang mau bicara sebentar saja sayang. Dengarkan Abang dulu," mohonnya lagi.Seandainya saja tidak ada penghalang pintu ini, pasti sudah kuludahi wajahnya ketika memohon terlebih saat memanggilku dengan panggilan sayang."Mira, sebentar saja. Abang mohon. Dengarkan, kali ini saja.""Hasan ayo kita pulang, untuk apa kamu memohon dengan perempuan piatu tak terdidik itu. Diluar sana masih banyak perempuan yang mau sama kamu," protes Ibu pada Bang Hasan."Bu, sini kunci rumahnya, Hasan mau masuk. Hasan tidak mungkin mencari perempuan lain dan meninggalkan Mira, Bu."Apa katanya? Tak mungkin meninggalkanku?Rasanya aku ingin tertawa di
POV Hasan"Lin, Ibu mana?" tanyaku pada Lina. Adik perempuanku yang sedang asyik dengan ponselnya. Ia sedang sibuk bergoyang ria sembari menatap layar ponselnya. Entah apa yang ia lakukan pada benda berbentuk persegi panjang tersebut. Pagi, siang, sore, malam hanya itu yang ia pegang. Bahkan ia tak menghiraukan panggilan Ibu jika ada perlu dengannya."Lina, Ibu mana?" teriakku pada Lina."Nggak tahu, Mas. Tadi keluar buru-buru setelah Mas masuk kamar mandi," jawabnya tanpa melihat ke arahku."Kamu belum mandikan Lin? Mandilah, sudah mau maghrib. Anak gadis kok jorok.""Bentar lagi, Mas. Ntar habis isya aku mau pergi. Eh, Mas. Ibu udah ngomong ke Mas belum?" tanyanya yang membuatku heran."Bilang soal apa?""Hah, serius Ibu belum bilang ke Mas? Soal kuliahku?" tanya Lina lagi tak yakin. Ibu memang belum ada bilang apapun padaku soal kuliahnya."Belum. Apa memangnya? kamu saja yang sampaikan. Mungkin Ibu lupa.""Lina kan sudah tamat Mas, pendaftaran kuliah gelombang satu juga sudah dibu
Seperginya Bang Hasan dan Ibunya dari rumahku. Segera aku mandi dan membersihkan diri. Hari ini yang aku lewati rasanya luar biasa.Usai mandi, segeraku ke dapur untuk membuat teh, yang kiranya bisa menenangkanku.Suara gelas beradu dengan sendok terdengar nyaring di telinga, hingga tanpa sadar aku mengabaikan dering ponselku.Entahlah sekarang, aku merasa bukan hanya jiwaku yang perlahan rusak karena Ibu, bahkan kini gendang telingaku pun rasanya ikut bermasalah karena selalu mendengar teriakan, makian, dan umpatannya.Ponselku kembali berdering. Entah makhluk apa yang kini ikut mengganggu ketenanganku.Aku mengernyitkan dahi, heran.Terlihat nomor baru di tampilan layar ponsel.Baru saja hendak mengangkatnya sudah terputus.+6285220000111[Mira, bagaimana keadaan kamu saat ini?]Segera kuketik pesan balasan,[Anda, siapa?][Kamu tidak melihatnya?]Orang gila ini, pikirku. Kembali kuaduk tehku.[Lihat photo profil saya] balasnya lagi.Awalnya aku ingin mengabaikan, tapi ternyata rasa
"Halo Bang, di mana?" tanyaku di telpon pada Bang Hasan. "Di rumah Ibu, kenapa, Mir?" "Hm, bisa pulang Bang? Ada yang mau aku tanyakan," pintaku pada Bang Hasan. "Ada apa Mir?" tanyanya lagi. "Hm, pulang lah Bang," kuhela napasku, "ada yang ingin aku tanyakan, aku tunggu." Klik, kuakhiri telpon itu sepihak. Rasanya perasaanku kini berkecamuk. Rasa cemas ini bahkan melebihi rasa cemas saat awal aku menikah dengan Bang Hasan, dan akan bertemu Ibu. Kembali kupandangi sekeliling kamar. Kini entah seperti apa bentuk kamarku. Pakaian, sepatu, kosmetik, tas, aksesoris telah menjadi satu, berhamburan dan bertumpuk di lantai. Entah bagaimana caraku nanti menyusunnya, tapi yang lebih membingungkan, entah bagaimana lagi caraku menemukan cincin berlian Ibu. Apa cincin itu tidak terbawaku dari rumah Nenek? Tapi saat resepsi aku mengenakannya. Aku yakin cincin itu bersatu dengan semua perhiasan pemberian Nenek dan Ibu. Kepalaku terasa berdenyut memikirkannya. "Mira ... Mira," suara panggila
Pov Hasan Selama membereskan pakaian, dan barang yang berhamburan ke lantai, tak hentinya aku memandangi wajah Mira. Perempuan yang baru kunikahi tujuh bulan ini, kini tampak berbeda dan berubah. Tak lagi ada kelembutan dan ceria di wajahnya, berganti dengan ketegasan dan sifat pendiam. Amira, aku sungguh merindukan sosokmu yang dulu. "Mir, boleh Abang bertanya?" "Hm," jawab Mira singkat sembari menggantungkan pakaian ke hanger. "Siapa lelaki di mobil hitam tadi?" "Yang mana?" tanya Mira kembali. "Yang tadi ada di antara kerumunan tetangga. Lelaki dengan mobil hitam mewah di seberang," aku menjelaskan. "Aku tidak tahu," jawab Mira. Sangat terlihat penuh kebohongan. "Abang tahu dia siapa. Tidak perlu menutupinya Mir. Kenapa secepat itu kamu hadirkan dia dalam rumah tangga kita?" Mata Mira membulat sempurna. "Apa maksudmu, Bang?" "Jangan pura-pura Mira. Lelaki itu pengacaramu, kan? Pengacara yang kamu bayar untuk mengurus perceraian kita. Apa separah itu kesalahanku hingga k