Kediaman keluarga Maxwell Gregory berdiri menjulang di atas bukit barat kota Zeta—tempat di mana kuasa, kekayaan, dan rahasia saling menindih dalam dinding-dinding marmernya. Rumah utama dihuni oleh Celine, istri pertama yang diakui publik dan keluarga. Sementara Athena tinggal jauh di paviliun belakang, bagai bayangan yang tak pernah boleh menyentuh cahaya.
Athena berdiri di dekat jendela besar di ruang kerja Maxwell Gregory. Langit di luar mendung, angin sore berembus pelan, tapi dada Athena justru terasa semakin sesak. Gaun yang ia kenakan hari ini sederhana namun elegan, pilihan Elio atas perintah Max. Dan sekarang, ia menunggu, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak menentu. Langkah kaki terdengar. Pintu dibuka, dan Max masuk dengan aroma khas parfumnya yang selalu menusuk pikiran Athena—begitu akrab, tapi tak lagi menghangatkan. “Ada acara apa hari ini?” tanya Athena, tetap menatap ke luar jendela, suaranya tenang tapi menahan banyak hal. “Sepertinya penting… karena tidak biasanya kau mengajakku.” Max tak langsung menjawab. Ia hanya berdiri di belakangnya, tangan menyelip di saku celana. “Acara ini memang penting,” jawabnya akhirnya. “Dan aku ingin kau hadir… sebagai tamu penting.” Athena menoleh perlahan. Ada semburat keraguan yang tidak bisa ia sembunyikan. Kata-kata Max selalu berlapis—seperti pisau yang dibungkus pita. “Tamu penting?” ulangnya pelan. “Iya,” Max mendekat, suaranya lebih rendah. “Aku ingin kau berjalan di sampingku saat memasuki ruang utama.” Athena menahan napas. Ada jeda di antara mereka. Bukan hening yang manis, tapi gelombang ketidakpastian yang mencekam. “Kau yakin?” bisik Athena. “Di depan semua keluargamu?” “Iya,” Max mengangguk singkat. “Tunggulah bersama Elio. Aku akan menjemputmu sebentar lagi.” Lalu ia pergi begitu saja, seperti badai yang datang cepat dan meninggalkan ketegangan di belakang. Athena masih berdiri di tempatnya, matanya kembali menatap langit kelabu. Jika Max bersikap lembut seperti ini... pasti akan ada sesuatu, batinnya berbisik. Namun Athena mencoba menenangkan diri. Siapa tahu Max memang berubah. Siapa tahu. Sementara itu, di ruang utama kediaman Gregory, suasana perlahan mulai dipenuhi orang-orang berpengaruh. Interior marmer putih mengkilap dengan gantungan kristal besar menggambarkan kemewahan yang dingin. Duduk di kursi utama adalah Nyonya Daisy, nenek Max—wanita tertua dan paling disegani di keluarga Gregory. Di sampingnya duduk Hudson, adik ayah Max, bersama istrinya, Emery. Wajah keduanya menunjukkan ketidaksabaran, apalagi melihat Celine yang duduk anggun di sisi Daisy, mengenakan gaun formal berwarna lembut. Aura Celine seperti pengantin kerajaan—angkuh, penuh percaya diri, dan mematikan dalam senyumannya. “Benarkah Athena akan datang kemari?” bisik Emery pelan, menyipitkan mata ke arah pintu aula. “Kata Max seperti itu,” jawab Celine sambil memainkan cangkir teh di tangannya. Hudson mendengus, “Max sungguh baik hati... atau lebih tepatnya terlalu lembut pada musuh keluarga Gregory.” “Tenanglah, Paman,” Celine tersenyum manis, meski tatapan matanya tajam. “Max sudah memiliki rencananya sendiri. Kau tidak perlu khawatir.” Hudson hanya mencibir kecil, namun tidak membantah. “Benar yang dikatakan Celine,” sahut Nenek Daisy tanpa mengalihkan pandangan dari teh di tangannya. “Tenang saja, Hudson. Max tahu apa yang dia lakukan. Dan aku percaya, tamu bayangan itu... akan segera tahu tempatnya.” Tawa kecil Emery menyambut pernyataan itu. Mereka semua menunggu. Menunggu Athena berjalan ke dalam ruangan itu... untuk sekali lagi disayat oleh kenyataan bahwa di rumah ini, dia tak pernah benar-benar diterima. Pintu ruang kerja terbuka. Max masuk, mengenakan setelan hitam elegan dengan setangkai bunga mawar putih di tangan. Wajahnya tenang, bahkan menyimpan senyum yang... terlalu manis untuk seorang Maxwell Gregory. Athena menoleh, sedikit bingung saat melihat bunga itu. Hatinya bergemuruh—ia ingin sekali percaya, walau hanya sekali, bahwa ada niat tulus dari pria yang dulu sangat ia cintai. “Bawalah bunga ini,” kata Max sambil menyerahkan bunga itu ke tangannya. Athena menerimanya pelan. Jemarinya sedikit gemetar, bukan karena bahagia, tapi karena takut bahwa senyum Max membawa sesuatu yang lain. “Kau siap?” tanya Max. Athena mengangguk kecil. “Aku selalu siap.” Mereka berjalan berdampingan keluar dari ruang kerja, menuju aula utama. Lengan Athena menggandeng Max—terlihat mesra, seperti pasangan suami istri yang saling mencintai. Tapi di balik senyum tipisnya, Athena tengah menelan sesak yang tak bisa ia jelaskan. Tangannya menggenggam bunga, hatinya menggenggam luka. Begitu tiba di aula, semua kepala menoleh. Sebagian terkejut, sebagian lainnya terang-terangan menunjukkan jijik. Athena menelan saliva, matanya berkeliling. Wajah-wajah penuh cemooh menatapnya seakan dia membawa aib ke dalam istana mewah ini. Napasnya memburu, tapi ia berusaha tetap menegakkan kepala. Hudson berdiri lebih dulu. “Ada apa kau memanggil kami, Max?” tanyanya kaku. Max tersenyum, berdiri dengan angkuh. “Aku ada kabar penting yang harus kusampaikan untuk keluarga besar Gregory.” “Kabar penting apa sampai-sampai kau membawa istri sampahmu ke rumah ini?” suara nyaring Nenek Daisy memotong tajam. Tatapannya menusuk Athena bagaikan jarum. “Benar sekali,” sahut Emery dengan ekspresi jijik. “Dia tidak pantas berada di rumah ini. Istri yang hina, tidak tahu diri. Keberadaannya hanya membawa nama buruk karena keluarganya yang bangkrut dan busuk itu!” Athena tetap berdiri tenang, meski hatinya tak berhenti bergetar. Kepalanya menunduk sejenak, menggenggam kuat bunga yang diberi Max. Tenanglah ... tenanglah, batinnya berbisik. Celine tersenyum lembut di antara keributan itu. Duduk manis di samping Daisy, ia tampak seperti ratu sejati. “Kalian tenanglah,” ucapnya manis. “Biarkan Max berbicara. Bukankah kita semua berkumpul karena sesuatu yang besar akan diumumkan?” Max menoleh ke Celine, dan untuk pertama kalinya di hadapan banyak orang—ia menunjukkan kelembutan sejati. “Celine Gregory,” katanya sambil melangkah maju. “Istri yang sangat aku kasihi, kemarilah.” Celine berdiri, berjalan pelan menghampiri Max. Athena membeku. Masih menggenggam lengan Max, namun pria itu menarik tangannya perlahan. Melepasnya. Dan kemudian Max berjalan ke arah Celine membawa semua perhatian bersamanya. Max mencium punggung tangan Celine dengan perlakuan yang tak pernah sekalipun Athena rasakan. Lalu, ia menoleh pada Athena yang berdiri mematung—“Berikan bunganya.” Athena menahan napas. Tangannya kaku. Tapi tetap, ia maju dan menyerahkan bunga itu ke Max seperti pelayan yang mengantarkan mahkota untuk ratu sesungguhnya. “Selamat, sayang,” ucap Max sambil menatap mata Celine penuh kebanggaan. “Kau resmi mengandung keturunan keluarga Gregory.” Bunga itu berpindah tangan. Celine menerimanya dengan senyum lebar dan pandangan tajam ke arah Athena—penuh kemenangan. Athena berdiri di sana, membeku. Dadanya seperti ditimpa batu besar. Rasa sesak yang tak bisa ia sembunyikan lagi. Lidahnya kelu. Matanya panas, tapi dia tak menangis. Tidak di depan mereka. Jadi, ini semua hanya pertunjukan. Bunga itu ternyata bukan untuknya. Sentuhan lembut Max? Senyuman tipisnya? Semuanya palsu. Dia hanya dipajang. Diundang ke ruangan ini bukan untuk dihormati—melainkan untuk dipermalukan. Selama tiga tahun ia tinggal di paviliun belakang, menjadi bayangan dari pernikahan diam-diam yang tak pernah diakui publik. Tiga tahun pula Max tak pernah menyentuhnya. Dan sekarang dia bahkan harus menyerahkan bunga kepada wanita yang sedang mengandung anak pria yang dulu ia cintai sepenuh hati. Max melirik Athena sekilas. Dan di matanya, terselip kilatan puas. Seolah penderitaan Athena adalah candu yang memuaskannya.Malam semakin larut, dan pesta telah usai.Athena berdiam diri, memikirkan tentang Rosetta yang merupakan ibu tiri Max. Sepertinya keadaan akan semakin rumit, tapi dia sudah memilih sisi mana dan tujuannya memang hanya satu yaitu pergi dari kehidupan Max. Athena semakin yakin dia bisa lolos, Rosetta bukan wanita sembarangan. Pantas saja dia bisa menyusupkan seseorang di rumah ini, memiliki ponsel anti lacak, dan ditambah memiliki uang dan kuasa yang setara dengan Max.“Sepertinya aku harus menjalankan tugasku dengan baik supaya cepat selesai,” gumam Athena harus yakin pada dirinya.Athena menggunakan gaun tidur yang menggoda, padahal tak terlalu terbuka tapi membuat orang terpana kalau sudah melihat.“Kau sedang apa?” tegur Max saat melihat Athena di dapur sendiri.Athena berbalik, di tangannya ada seember es krim cokelat strawberry. Dia tersenyum, tebakannya benar kalau Max pasti akan datang saat tengah malam untuk mengambil air minum. Sebelum ini, Athena sudah mendapatkan i
Athena berlagak tak tahu, “maksudmu apa, Max? Aku tidak mengerti.”Max semakin menekan tubuhnya. “Jangan pura-pura bodoh, apa yang kau bicarakan dengan Rosetta?”“Aku tidak berbicara apa pun, aku dari toilet dan berpapasan dengannya saat keluar. Aku tidak mengenal dia, bagaimana mungkin aku berbicara dengannya?” jelas Athena tanpa rasa gugup, karena dia mulai memutar balikkan keadaan.“Aku akan lihat CCTV koridor ini, dan kau tidak bisa mengelak lagi,” tunjuk Max.Athena menelan saliva dengan susah payah. “Lihat saja, aku tidak berbohong.”Dan benar, setelah melihat CCTV tersebut apa yang dikatakan Athena adalah benar. Mereka sama sekali tak berinteraksi, dan tak berbicara apa pun. Sementara itu, Athena tak percaya dengan apa yang dia lihat. CCTV memperlihatkan hasil lainnya, ini sungguh hebat. Pasalnya sebelum keluar dari ruangan tadi, dia memberitahu kalau Max bisa melihat keadaan ini.Namun, Rosetta tampak santai dan memintaku untuk fokus pada tugasnya saja. Jika ada hal ya
Max yang sejak tadi sibuk berbincang dengan para tamu mendadak merasa gelisah. Tatapan tajamnya menyapu setiap sudut ruangan yang penuh gemerlap cahaya, dari meja hidangan, kerumunan tamu dengan gelas anggur di tangan, hingga ke panggung orkestra. Namun sosok yang ia cari tak juga ditemukan.Athena.Alis Max berkerut tajam, tanda kalau dia sedang kesal. Sial.Dengan langkah cepat ia memanggil Elio, yang segera mendekat dan menunduk hormat. “Cari Athena. Sekarang juga. Jangan kembali sebelum kau menemukannya,” perintah Max dengan suara rendah namun penuh tekanan.“Baik, Tuan,” jawab Elio sigap, lalu segera menyelinap di antara kerumunan tamu untuk menjalankan tugasnya.Max menarik napas kasar, lalu berbalik mencari keberadaan Peony. Ia tahu, Athena terakhir bersama adiknya, dan itu satu-satunya petunjuk yang bisa ia andalkan.Peony berdiri tak jauh dari meja kue, sedang berbincang ringan dengan salah satu tamu wanita muda yang seusia dengan adiknya. Senyum manis terlukis di wajah
Athena hanya tersenyum. “Maaf, hadiahku tidak begitu berguna untuk Nenek. Aku hanya membawa doa semoga Nenek Daisy selalu sehat dan panjang umur, sehingga bisa menggendong cicitnya kelak.” “Dan lagi sudah tahu aku tidak membawa apa-apa masih saja bertanya, orang bodoh mana juga sudah tahu hal itu,” gerutu Athena ganti menyindir Emery, tatapan meremehkan. “Kau-“ ucapan Emery terpotong karena Hudson menahannya. “Jangan membuat masalah!” bisik Hudson tajam sembari mencengkeram lengan Emery. Celine maju menengahi, “sudahlah, Emery. Kau tidak perlu meladeni Athena, dia memang seperti itu.” “Bibi jangan berlebihan, masalah hadiah saja sampai harus emosi. Awas tensi naik nanti,” sahut Peony dan membuat Emery melotot, wanita itu hanya menaikkan bahunya tak peduli. Max menyentuh tangan Athena supaya wanita itu diam, “Jangan membuat masalah di sini, Athena. Kau akan tahu akibatnya!” Ancamnya. Athena tersenyum, dia malah sengaja menggoda Max. “Akibat yang seperti apa maksudmu?
Peony mengangguk dengan serius, senyumnya kembali mengembang. “Bersikaplah seperti saat kita pertama kali bertemu. Kau baik sekali waktu itu.”Athena dan Peony terjebak dalam tatapan lama. Ada sesuatu di balik mata gadis itu seperti campuran manja, lugu, tapi juga misterius. Athena tidak bisa membaca jelas apakah itu ketulusan atau sekadar peran. Peony akhirnya mengalihkan pandangan lebih dulu, tersenyum kecil.“Sudahlah, terserah padamu. Aku tidak akan memaksa.” Suaranya terdengar santai, meski sorot matanya seperti menyimpan sesuatu yang lebih dalam.Lalu dengan gerakan ringan, Peony bergeser duduk tepat di samping Athena. “Kapan kau bisa mengajakku makan mi lagi di sana?” tanyanya dengan wajah penuh harap, bibirnya membentuk lengkungan manis.Athena mendesah tak peduli. “Cih, kau bisa pergi sendiri ke sana.”Peony langsung menggeleng cepat. “Kakak pasti tidak mengizinkanku. Kau tahu sendiri betapa cerewetnya dia. Dari dulu aku selalu dilarang makan makanan seperti itu, katanya tida
“Kau mengenalnya?” Max menatap Peony lebih dulu, baru Athena.Peony segera buka suara sebelum Athena, bisa gawat kalau kakaknya tahu kalau dia membuat masalah di luar sana. “Tidak, hanya terlihat familiar saja,” sahutnya tertawa.Athena hanya menaikkan alisnya atas jawaban Peony, tapi dia tak menyangka kalau Peony adalah adik Max. Dia memutuskan untuk tak peduli, dia juga tak ingin mencari masalah.“Dia siapa, Kak?” tanya Peony penasaran.“Dia Athena, istri simpanan kakakmu. Kau tidak perlu peduli padanya,” sahut Celine lebih dulu menjelaskan.Peony melipat kedua tangan di depan, “bisa tidak jangan menjawab pertanyaanku saat aku bertanya pada kakakku!"“Bukankah sama saja meskipun aku atau kakakmu yang jawab? Jawaban kita pun akan sama,” ujar Celine tak kalah.Athena malas mendengarkan perdebatan mereka, dia bangkit lebih dulu. “Aku ke kamar dulu ingin istirahat.” Dia pun pergi.Max menatap Peony, “bersikaplah sopan pada Celine, dia kakak iparmu.” Tegurnya.“Maaf, Kak. Sepert