Celine dengan wajahnya bersinar oleh rasa bahagia. Dengan anggun, ia memeluk Max dengan erat, kemudian mengecup bibir pria itu di depan semua orang—tanpa malu, tanpa ragu.
Max membalas ciuman itu ringan, namun cukup membuat Athena merasakan tusukan tajam di ulu hatinya. “Terima kasih, Max,” ucap Celine manja, menatap pria itu dengan mata berbinar. “Kau selalu membuatku merasa paling dicintai.” Nenek Daisy berdiri sambil mengangkat tangannya penuh restu. “Akhirnya! Keluarga Gregory akan memiliki penerus darah murni. Aku sangat bangga padamu, Celine!” Hudson dan istrinya, Emery, tampak tersenyum puas. “Kabar terbaik minggu ini,” komentar Emery sambil menepuk tangan Celine. “Kau memang istri yang pantas untuk Gregory. Selalu tahu caranya menjaga martabat keluarga.” Hudson mengangguk setuju. “Akhirnya ada kabar baik dari rumah ini.” Athena berdiri tak jauh dari mereka—seolah transparan. Diabaikan, tak diharapkan dan hanya menjadi penonton atas kebahagiaan Max dan Celine. Tak ada yang menoleh padanya. Tak ada satu pun kata. Semua orang larut dalam kebahagiaan yang memuja Celine dan memuja kehamilan itu. Sunyi. Tapi sangat bising di dada Athena. Dan kemudian, suara Emery memecahnya. “Athena, kenapa kau diam saja?” ujarnya dengan nada menggoda yang sengaja diperkeras. “Harusnya kau memberi selamat pada suamimu dan Celine atas kabar bahagia ini!” Tatapan semua orang beralih ke Athena. Wajah-wajah itu menuntut, menekan. Athena menunduk sejenak, menggigit bibir bawahnya dalam. Ia mengatur napas, menahan gemuruh dadanya yang seakan akan meledak. Lalu, dengan langkah kecil dan suara pelan, ia mendekat dan berkata, “selamat.” Suaranya datar. Namun cukup terdengar. Tapi Daisy—seperti haus akan lebih banyak penghinaan—menyambar, “Sepertinya kau tidak sungguh-sungguh memberi selamat. Tatapanmu saja menunjukkan kebencianmu. Kau tidak senang atas kehamilan Celine?” Athena menggeleng cepat. “Saya tidak seperti itu, Nenek.” “Oh, sudahlah,” Daisy memotong tajam. “Kau pandai sekali berpura-pura.” Celine mengusap perutnya perlahan. “Celine, sebaiknya kau duduk. Hamil muda tidak boleh lelah.” Emery mengingatkan. “Terima kasih, Emery. Kau sungguh perhatian,” ucap Celine tersenyum. “Duduklah di sini, dekat nenek,” ucap Daisy penuh kasih. Ia meraih tangan Celine, mempersilahkannya duduk di kursi terbaik, lalu memberi isyarat pada pelayan untuk menyajikan teh herbal hangat. Semua orang pun duduk menyusul kecuali Athena. Saat ia hendak menarik kursi di pojok belakang, suara nenek Daisy menggema menggelegar. “Siapa yang menyuruhmu duduk?” Athena terdiam. Tangannya masih menggenggam sandaran kursi. “Berdirilah di sana. Kau cukup jadi penonton hari ini.” Athena mengangkat wajahnya perlahan, matanya menyapu seluruh ruangan. Tidak satu pun dari mereka membelanya. Bahkan Max hanya bersandar santai di sisi Celine, mengelus punggung wanita itu tanpa peduli padanya. Celine menoleh. “Nenek, jangan seperti itu. Kasihan dia.” “Kenapa harus kasihan?” sahut Daisy dingin. “Dia dan keluarganya pernah berbuat jahat di masa lalu. Ini bukan penghinaan. Ini karma. Dan karma memang harus dibayar lunas.” Athena tetap berdiri di sudut, pundaknya tegang, lututnya hampir tak kuat menopang tubuh. Tapi tidak ada air mata. Tidak kali ini. Dia hanya menatap lantai, menelan seluruh penghinaan itu dalam diam. Diam yang menjerit. Diam yang menyimpan bara. Di saat semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Athena memilih berdiri di dekat jendela lantai dua. Angin malam membelai pelan helaian rambutnya yang terurai. Dari tempat itu, dia bisa melihat taman keluarga Gregory yang megah, tapi terasa begitu asing baginya. Untuk sekali ini saja, dia ingin diam. Ingin menghirup udara tanpa beban. Tanpa hinaan. Tanpa tatapan yang merendahkan. Namun suara langkah high heel yang menggema dari lorong panjang memecah keheningan. Athena tidak menoleh, tapi tubuhnya menegang. “Kau di sini rupanya,” suara Celine terdengar ringan, tapi tajam. Athena tak menanggapi. Matanya tetap tertuju pada langit gelap yang tak berbintang. “Ada apa?” tanyanya singkat. Datar. Enggan peduli. Celine mendekat, berdiri di samping pintu kaca balkon. “Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Tapi sepertinya tidak?” senyumnya sinis. “Aku tahu kau sangat terhina hari ini. Kau terlihat rapuh. Terlalu jelas.” Athena menggenggam jemari tangannya yang dingin, lalu menatap Celine datar. “Sudah puas membuatku terlihat seperti boneka rusak?” Celine tersenyum puas. “Kau tahu, keluarga Max sangat menyayangiku. Nenek Daisy memperlakukanku seperti cucunya sendiri. Hudson, Emery—semuanya menyambutku seperti putri bangsawan. Dan Max, dia mencintaiku lebih dari apa pun. Sekarang apalagi, aku mengandung darah keturunannya.” “Sedangkan kau dianggap hina, kotor di mata mereka.” Athena menggigit bibirnya kuat. Terlalu kuat hingga rasa logam memenuhi lidahnya. “Jika Max mencintaimu,” katanya pelan, “dia tidak akan menjadikanku istrinya.” Celine tertawa, keras dan mengejek. “Kau lupa siapa dirimu, Athena? Kau hanya istri kedua yang dinikahi karena dendam. Keluargamu, keluarga Harrington, pernah membuat orang tua Max kehilangan segalanya. Kau hanya alat. Boneka. Pelampiasan dari amarah yang belum terbalas.” Athena berdiri perlahan, menatap Celine lurus. “Dan kau rela membiarkan Max menyiksaku seperti ini? Apa kau tidak takut suatu hari dia berbalik mencintaiku?” Tatapan Celine menggelap, tapi ia menyeringai. “Aku percaya Max. Dan aku akan mendukungnya, dalam hal apa pun. Bahkan kalau dia ingin menghancurkanmu hingga tak bersisa.” Celine melangkah mendekat, jaraknya begitu dekat sampai bahu Athena terdorong pelan, tapi cukup membuat dada Athena berdesir. “Kau terlalu percaya diri, penuh kesombongan,” bisik Celine dengan suara dingin menusuk. Matanya menyipit, menatap tajam ke wajah Athena. “Mana mungkin Max beralih mencintaimu? Itu hanya ilusi yang kau buat sendiri. Kau hanya mainan baginya.” Athena menarik napas panjang, dadanya naik turun menahan amarah yang bergejolak. Tapi dia tetap diam, mencoba mengendalikan dirinya. Mereka sekarang berdiri di dekat tangga sempit itu. Ketika Celine mendorong bahu Athena lagi, kali ini lebih kuat, tangan Athena terangkat otomatis, berusaha menangkis — gerakan kecil tapi tanpa sadar membuat Celine kehilangan keseimbangan. “Tidak!” teriak Athena, suara putus asa yang keluar saat tubuh Celine terhuyung ke belakang. Mata Athena melebar saat melihat tubuh Celine melayang dan jatuh menimpa anak tangga satu, dua, berguling ke bawah dengan suara benturan keras yang membuat udara di ruangan itu serasa membeku. Athena berdiri membeku di puncak anak tangga, napasnya tercekat. Tangannya masih terulur ke depan, gemetar. Ia tidak bermaksud. Tuhan tahu, dia tidak pernah bermaksud. “Tidak,” bisik Athena pelan, seperti bicara pada dirinya sendiri. Max mematung beberapa meter dari tubuh Celine yang tergeletak tak berdaya. Pandangannya langsung naik ke atas—dan berhenti pada Athena. Mata mereka bertemu. Dan saat itu dunia seperti berhenti. Athena menggeleng panik, air mata mulai tumpah. “Bukan aku, Max. Aku tidak sengaja, aku hanya—” Max mengerutkan alis, suaranya tajam seperti serpihan kaca yang tiba-tiba menusuk dada. “Kau mendorongnya.” Tidak ada teriakan, tapi nadanya cukup untuk membekukan darah di tubuh Athena. Dengan langkah cepat, Max mendekat, tangan gemetar saat mengangkat tubuh Celine yang bersimbah darah di kepala. Wajah Celine pucat, matanya terpaku, tubuhnya tak berdaya. “Elio!” bentaknya, sorot matanya membara dan tidak lepas dari Athena. “Siapkan mobil. Sekarang!” Athena menuruni tangga, niatnya ingin bicara, tapi Max sudah berdiri tegap, memeluk Celine dengan pelukan hangat dan tegas, pelukan yang bahkan tidak pernah ia berikan saat mereka menikah dulu. Langkah Max terhenti saat Athena sampai di sampingnya. Matanya menatap Athena dalam sekali lirik dan itu tatapan yang membekas begitu dalam, penuh ancaman dan harapan sekaligus. “Kalau aku kehilangan bayi ini,” suaranya datar tapi berapi-api, “kau akan kehilangan segalanya. Termasuk kebebasanmu, Athena.” Tubuh Athena menegang, napasnya tersendat, dan dingin menusuk sampai ke tulang, membungkam kata-kata yang ingin ia ucapkan.Athena mencoba menegakkan tubuhnya, meski lututnya nyaris tak sanggup menopang. Nafasnya sesak. Seluruh tubuhnya bergetar, tapi ia memaksa untuk tetap berdiri. Mata sayunya menatap dua orang di hadapannya, Max dan Celine. Dua sosok yang menatapnya penuh benci.Tatapan mereka bukan sekadar dingin, tapi mematikan. Seolah-olah Athena bukan manusia, hanya alat yang bisa dipakai, dipatahkan, dan dibuang kapan pun mereka mau.Tak ada belas kasih. Tak ada celah untuk menolak.Bibir Athena bergetar, jemarinya mengepal kuat menahan gemetar yang semakin menjadi. Ia gigit bibirnya, berharap rasa sakit itu bisa mengalihkan hatinya yang sedang hancur. Ia ingin diam. Ia ingin menolak. Tapi itu tak mudah.“Aku … aku.” Suara Athena bergetar. “Aku bersedia.”Suara itu lirih. Patah. Dan penuh luka.Sesaat setelah kata-kata itu meluncur dari bibirnya, air mata Athena jatuh dalam diam namun dalam. Tubuhnya goyah, tapi ia tak jatuh. Karena jika ia jatuh, maka semuanya benar-benar berakhir.Celine t
Langkah Max tergesa menembus lorong rumah sakit. Wajahnya tegang, mata merah menahan emosi yang bergolak seperti badai. Bau antiseptik menusuk hidungnya, menyayat seperti kenyataan yang tak bisa ditolak.Pintu kamar rawat terbuka perlahan. Di sana, Celine terbaring lemah dengan infus di tangan dan selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya pucat, matanya sembab. Saat pandangan mereka bertemu, air mata langsung mengalir di pipi wanita itu.“Max, anak kita ... dia ... dia pergi, Max,” isaknya terputus-putus. “Aku tidak bisa menjaganya, aku ... aku gagal.”Max langsung memeluknya erat, mendekap Celine seolah jika ia cukup kuat, ia bisa mengembalikan waktu. “Jangan katakan itu, ini bukan salahmu ... bukan.”Tapi ia sendiri tak tahu kepada siapa kata-kata itu ditujukan. Pada Celine? Atau pada dirinya sendiri?Tangis Celine pecah di dadanya, mengguncang tubuh yang seharusnya ia lindungi dengan seluruh jiwanya. Max menutup mata rapat, berusaha menahan air matanya, tapi gagal.“Kita sudah menu
Suara Max menggelegar, mengguncang seluruh rumah utama Gregory.“Kurung Athena di ruang bawah tanah! Jangan ada yang berani melepaskannya sampai aku kembali!”Teriakan itu menghentak semua yang hadir yang membekukan udara, membuat waktu seolah berhenti.Athena mencoba mengejar Max yang mengangkat tubuh Celine menuju pintu, namun lututnya goyah. Ia terjatuh, tangannya mencengkeram lantai dingin marmer.“Aku tidak bersalah! Aku tidak mendorong Celine!” isaknya pecah, suaranya parau penuh luka. Tapi tak seorang pun peduli.Hudson menjadi yang pertama menghampiri. Tatapannya seperti api yang hendak membakar.“Sudah kukatakan sejak dulu, dia wanita beracun! Harusnya dia tidak pernah menginjakkan kaki di rumah ini!”Emery berdiri di samping suaminya, menggenggam lengannya dengan tatapan jijik pada Athena. “Max terlalu baik dan lihat balasannya? Dia mencoba membunuh Celine dan bayinya.”Athena menggeleng, panik. Air matanya jatuh tak tertahan, tapi kata-katanya seperti menabrak dindi
Celine dengan wajahnya bersinar oleh rasa bahagia. Dengan anggun, ia memeluk Max dengan erat, kemudian mengecup bibir pria itu di depan semua orang—tanpa malu, tanpa ragu.Max membalas ciuman itu ringan, namun cukup membuat Athena merasakan tusukan tajam di ulu hatinya.“Terima kasih, Max,” ucap Celine manja, menatap pria itu dengan mata berbinar. “Kau selalu membuatku merasa paling dicintai.”Nenek Daisy berdiri sambil mengangkat tangannya penuh restu. “Akhirnya! Keluarga Gregory akan memiliki penerus darah murni. Aku sangat bangga padamu, Celine!”Hudson dan istrinya, Emery, tampak tersenyum puas.“Kabar terbaik minggu ini,” komentar Emery sambil menepuk tangan Celine. “Kau memang istri yang pantas untuk Gregory. Selalu tahu caranya menjaga martabat keluarga.”Hudson mengangguk setuju. “Akhirnya ada kabar baik dari rumah ini.”Athena berdiri tak jauh dari mereka—seolah transparan. Diabaikan, tak diharapkan dan hanya menjadi penonton atas kebahagiaan Max dan Celine.Tak ada y
Kediaman keluarga Maxwell Gregory berdiri menjulang di atas bukit barat kota Zeta—tempat di mana kuasa, kekayaan, dan rahasia saling menindih dalam dinding-dinding marmernya. Rumah utama dihuni oleh Celine, istri pertama yang diakui publik dan keluarga. Sementara Athena tinggal jauh di paviliun belakang, bagai bayangan yang tak pernah boleh menyentuh cahaya.Athena berdiri di dekat jendela besar di ruang kerja Maxwell Gregory. Langit di luar mendung, angin sore berembus pelan, tapi dada Athena justru terasa semakin sesak. Gaun yang ia kenakan hari ini sederhana namun elegan, pilihan Elio atas perintah Max. Dan sekarang, ia menunggu, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak menentu.Langkah kaki terdengar. Pintu dibuka, dan Max masuk dengan aroma khas parfumnya yang selalu menusuk pikiran Athena—begitu akrab, tapi tak lagi menghangatkan.“Ada acara apa hari ini?” tanya Athena, tetap menatap ke luar jendela, suaranya tenang tapi menahan banyak hal. “Sepertinya penting… karena ti
“Acara sebentar lagi mulai, apa Max belum datang?”Athena berdiri di depan altar sederhana, di halaman rumah peristirahatan keluarga Harrington. Tempat itu sudah tiga tahun menjadi saksi bisu upacara kecil yang ia adakan setiap tahun untuk mengenang mendiang ibunya, Patty Harrington.Tiga tahun lalu, kecelakaan itu merenggut nyawa sang ibu dan membuat ayahnya koma hingga kini. Dan sejak saat itu, segalanya berubah.“Tuan Max ada rapat penting, Nyonya,” jawab Norah-asistennya. “Mungkin sekarang sudah selesai.”Athena menatap langit kosong beberapa saat. Rapat. Alasan yang sama. Selalu.Ia merogoh ponselnya dari tas kecil yang tergantung di pergelangan tangan. Jari-jarinya gemetar, bukan karena gugup—tapi karena perasaan tak bisa lagi menahan kecewa. Jempolnya menekan nama yang tersimpan sebagai Maxwell. Satu... dua... tiga kali panggilan tidak dijawab.Athena mendesah. Napasnya terasa sesak. Sekali lagi. Ia menekan tombol panggil dengan ragu, tapi harapan masih ada.Tersambung.