LOGINMax mematikan rokoknya, menghentikan bara yang sejak tadi menemani malam mereka. Namun bara di tubuhnya belum sepenuhnya padam, masih ada sisa-sisa hasrat dan emosi masih mengendap di antara napas yang berat dan pikiran yang berkecamuk.
Desahan Athena, raut wajah merah wanita itu masih membekas di udara. Entah itu karena cinta, dendam, atau sekadar keterpaksaan. Mungkin semuanya bercampur menjadi satu. Athena terbangun saat godaan bibir Max menyentuh sepanjang kulitnya, menemani malam ini yang mungkin hanya terjadi saat ini saja. Ingin sekali saja dia merasa dicintai, dipuja oleh suaminya sendiri. Mereka kembali mengulang malam panas, seolah tiada habisnya. Tengah malam yang sunyi. Max mengenakan celananya dengan gerakan cepat, tak memedulikan suara napas teratur Athena yang duduk di atas ranjang. Wanita itu berselimut hingga ke dada, tubuh telanjangnya tersembunyi, namun tidak dengan luka batinnya yang terus terbuka. Athena menatap Max. Pria itu masih sama saja, dingin, angkuh, dan tak tersentuh. Tapi anehnya justru di balik semua itu, hatinya tetap goyah. Ia membenci dirinya sendiri karena masih menyimpan perasaan cinta ini. “Kenapa kau tidak tidur di sini?” tanyanya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan malam. “Ini masih tengah malam.” Max menghentikan langkahnya, lalu berbalik. Ia menunduk, wajahnya hanya beberapa senti dari wajah Athena yang masih kacau karena tangis dan peluh. “Apa kau masih menginginkanku lagi, hm?” bisiknya rendah, seperti racun yang meresap ke dalam hati. Athena menegang. Wajahnya memerah. Kedekatan mereka selalu membuyarkan logikanya. Sial. Kenapa dia begitu lemah di hadapan pria ini? Max menyeringai dingin. “Jangan terlalu berharap, Athena. Aku tidak akan pernah tidur seranjang denganmu.” Tatapannya menusuk, tanpa belas kasih. “Kau hanya rahim sewaan. Pelampiasan nafsu. Sampai aku mendapatkan pewaris keluarga Gregory, itu satu-satunya fungsi yang kau miliki.” Athena meremas selimutnya lebih erat, mencoba menahan guncangan di dalam dadanya. Kata-kata itu menghantamnya seperti palu besar, menghancurkan sedikit harapan yang mungkin tersisa. Max membalikkan tubuh, berjalan ke arah pintu, tapi sempat menoleh sedikit. “Setiap kali aku menginginkanmu, kau harus bersiap. Di atas ranjang. Tanpa keluhan.” Kemudian pintu kamar tertutup dengan suara pelan, tapi menyakitkan. Athena akhirnya tak mampu lagi menahan air matanya. Tangisnya pecah, pelan dan menyayat. Tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, tapi karena patah. Dia tahu, dia sudah masuk terlalu dalam, terlalu banyak kehilangan, termasuk harga dirinya sendiri. Keesokan paginya. Nenek Daisy dan Emery datang menjenguk Celine di kediaman Gregory. Wajah mereka muram, membawa suasana duka ke dalam kamar putih yang sunyi. Celine duduk di sofa, mengenakan gaun pastel lembut, tapi kesedihan terpancar jelas dari matanya yang masih sembap. “Kami sangat berduka, Sayang,” ucap Nenek Daisy sambil menggenggam erat tangan Celine. “Kehilangan calon cucu kami, ini sungguh tidak terbayangkan.” “Ini pukulan telak, Nek,” lirih Celine, menunduk. “Aku kehilangan segalanya dalam sekejap, tapi aku tidak akan melepaskan Athena. Sampai kapan pun.” Emery duduk di sisi lain, tatapannya tajam, penuh amarah. “Kau harus membuat wanita itu membayar segalanya,” timpal Daisy, suaranya bergetar, “Kita tidak bisa membiarkannya hidup tenang. Dia harus merasa seperti yang kau rasakan.” “Aku mendukungmu, Celine,” ujar Emery mantap. “Perempuan itu licik, berpura-pura manis padahal menusuk dari belakang. Kalau kau butuh bantuan katakan saja.” Celine tersenyum tipis, penuh luka. “Aku bersyukur masih diterima oleh kalian meski aku sudah tidak sempurna lagi.” Setelah keduanya pamit dan pergi, Celine berdiri. Hatinya belum tenang. Ada yang harus ia pastikan sendiri. Paviliun Belakang. Celine melangkah pelan menyusuri lorong panjang hingga sampai ke ruang makan yang sepi. Di sana, Athena sedang duduk sendiri di meja panjang, menyendok sarapan tanpa gairah, ditemani Norah yang berdiri tak jauh di belakang. Suara langkah sepatu hak tinggi berwarna merah Celine memecah keheningan. Athena mendongak, menghela napas malas. “Sepertinya pagimu begitu cerah, Athena,” sindir Celine dengan senyum tipis. Athena meletakkan sendoknya. “Benar. Tapi rusak sejak kau datang.” Celine menarik kursi di ujung meja dan duduk anggun, menatap Athena dengan tatapan menilai. “Makanlah yang banyak. Aku ingin rahim yang mengandung anakku sehat dan kuat. Aku tidak sabar menggendong putraku,” ucapnya sembari tersenyum menyeringai. Athena menyandarkan tubuh, melipat tangan di depan dada. “Apa yang kau inginkan? Apa kau datang ke sini untuk bermain drama lagi? Mungkin jatuh dari tangga bagian dua?” Celine tertawa, angkuh. “Itu sudah berlalu. Dan dari situ aku mendapatkan ide lebih baik.” “Datang hanya untuk memeriksa kualitas rahimku?” sindir Athena. “Tentu saja,” jawab Celine tajam. “Pastikan kau meminum vitamin, makan makanan bergizi, dan jangan stres. Anakku harus sempurna.” Athena mengejek dengan senyum tipis. “Max yang mengatur semuanya. Bahkan menginginkanku lagi dan lagi. Kau tahu kenapa? Karena aku masih murni dan itu sesuatu yang lebih menggoda.” Celine mendekatkan tubuh ke meja, tatapannya menantang. “Kau pikir itu membuatku cemburu? Max melakukannya bukan karena cinta. Kau terlalu bodoh jika percaya keperawanan bisa mengikat hati pria. Bagi kami, kau cuma inkubator.” Athena mengepalkan tangan di bawah meja. Celine berdiri perlahan, dengan tatapan puas melihat Athena menahan amarah. “Aku dan Max adalah partner penghancur hidupmu. Kau hanya pion.” Athena menegakkan dagunya, meski ada sedikit getar di suaranya. “Kalau begitu bersiaplah. Jika suatu hari Max memilihku daripada kau.” Celine tertawa ringan. “Lucu sekali. Tapi dengar ini, Athena. Standar kami tinggi. Jika anakmu cacat, maka aku akan melenyapkannya tanpa ragu. Dan kau harus terus hamil sampai aku dapatkan putra yang aku inginkan.” Celine pun melenggang pergi tanpa menoleh lagi. Athena terdiam di kursinya. Matanya tak berkedip, tangan mengepal kuat di atas paha. Emosinya bergolak, naik turun. Tapi ia tahu satu hal. Norah mendekat, “Nyonya, Anda di tunggu tuan Max di perusahaan Harrington.” Athena mengerutkan keningnya, “ada apa?”Athena berjinjit, jemarinya mencengkeram kerah jas Max seolah takut momen itu lenyap jika ia melepasnya. Bibirnya akhirnya menyentuh bibir pria itu, pelan, ragu, namun sarat emosi yang lama terpendam. Ada getar halus di dadanya, campuran lega, haru, dan keyakinan bahwa apa yang selama ini ia impikan akhirnya terwujud.“Aku mau, Max,” bisiknya lirih setelah mereka saling melepaskan diri, napasnya belum sepenuhnya teratur. “Kita bisa memulai semuanya dari awal.”Max tersenyum tipis, tangannya terangkat menahan tengkuk Athena, lalu ia menyatukan dahi mereka. Jarak sedekat ini membuat Athena bisa merasakan napas hangat Max, juga ketenangan yang selama ini jarang ia dapatkan darinya.“Syukurlah,” jawab Max pelan namun mantap. “Kita pasti bisa melakukan ini.”Kata-kata itu sederhana, namun bagi Athena terasa seperti janji yang lama ia tunggu. Setelah drama panjang rumah tangga mereka, pengkhianatan, luka masa lalu, dan berbagai insiden yang hampir menghancurkan mereka sepenuhnya, akhirn
“Apa yang terjadi dengan bayi kita?” Max seketika ikut memegangi perut Athena.Sejenak Athena terdiam, bukan karena sikap Max yang memegangi perutnya. Tapi lebih pada perkataan pria itu, bayi kita. Ya, ia tak salah dengar kalau Max mengatakan hal itu. Biasanya pria itu selalu menyebut bayi milikku dan tak pernah menganggap Athena sedikit pun, tapi kini berbeda.Athena tersenyum dan menggeleng, “bayi kita baik-baik saja.”“Lalu kenapa kau memegangi perutmu? Jika tidak nyaman kita bisa ke rumah sakit,” kata Max kini mulai menunjukkan perhatiannya.Athena menggeleng, dan melebarkan senyumnya. “Aku lapar, aku malu jika kau mendengarnya maka aku memegangi perutku.”Max terdiam, ia pun ikut tersenyum.“Kalau begitu ayo kita makan, maaf membuat kalian menunggu lama,” ajak Max mengulurkan tangannya.Athena dengan senang hati menyambut tangan Max, ia tersenyum tipis dan berjalan mengikuti suaminya itu. Begitu sampai, Max menarik kursi supaya Athena duduk dengan nyaman. “Ini untukmu,”
Semenara itu, Hudson dikurung di ruang bawah tanah keluarga Gregory. Ia tak bisa menghubungi siapa pun karena semua telah disita, ia mengumpat dan memaki Max dengan penuh emosi yang mendalam.“Apa yang terjadi?” tanya Celine yang menemui Hudson dengan alasan mengantar makanan.“Ini ulah Max sialan itu, dia sudah tahu tentang proyek kota Zora. Padahal kita sudah berhati-hati dalam melakukan hal ini, tapi bisa bocor,” seru Hudson memukul jeruji besi di depannya.“Lalu apa yang harus kita lakukan? Mungkin setelah ini target Max adalah aku,” jawab Celine sedikit takut.Celine tampak gelisah, padahal ia baru saja bersepakat dengan Athena tapi Max bertindak jauh di depan mereka. “Mungkin ada yang berkhianat,” ujar Celine berpikir.“Mungkin, tapi siapa. Semua orang yang tahu tentang hal ini adalah orang kepercayaanku, tidak mungkin,” sahut Hudson sangat yakin.Celine terus berpikir, “apa mungkin Emery? Bukankah dia menyusup masuk ruang kerjamu, bisa jadi dia menukar segala buktinya.
Hudson membeku, keadaan ini di luar dari kendali dan prediksinya. Seharusnya baru ketahuan setelah proyek kota Zora selesai, sehingga Max akan kehilangan kepercayaan dari dewan direksi dan mencopot posisi CEO. Tapi kenapa keadaan kini berbalik, disaat rencananya hampir usai malah semua terbongkar.“Polisi akan menjemputmu besok!” perintah Max membuat suasana kembali gaduh.Banyak yang protes kenapa harus ditunda, dan Max mengangka tangannya tuk memberi isyarat supaya semua diam.Hudson tersenyum tipis, ia tahu Max pasti tak akan tega padanya. Apalagi hubungan mereka cukup dekat sejak kecil, apalagi saat orang tuan Max tiada.“Kita keluarga, aku tahu kau pasti mempertimbangkan hal itu,” kata Hudson penuh percaya diri tinggi.Max pun tertawa, “Paman mengira aku masih anak kecil yang masih bisa dikendalikan? Kau salah besar!”“Apa maksudmu?” Hudson masih menebak-nebak.“Sebagai hukuman, Hudson akan diberhentikan dari perusahaan tanpa gaji atau tunjangan sedikit pun. Dia juga harus
“Beri aku waktu untuk memikirkannya.”Athena masih belum bisa memutuskan hal itu, dan lagi ia masih memiliki tanggungan tugas dari Rosetta yang harus ia selesaikan sebelum melahirkan.“Baiklah, aku bisa menunggu tapi jangan terlalu lama,” kata Celine pun beranjak dan mengambil tas mahalnya lalu melenggang pergi.Pintu tertutup, Athena berembus pelan dan bersandar. Tawaran Celine memang menggiurkan, ia juga penasaran tentang berkas yang berisi tentang keluarga Harrington. Ia memang sudah dekat dengan Max, tapi belum memiliki kepercayaan penuh atas pria itu.“Sungguh memusingkan,” keluh Athena yang merasa semua menjadi lebih rumit.Norah masuk dan meliat Athena sedang memejamkan mata. Tentu saja ia khawatir dan bertanya dengan pelan.“Nyonya, Anda baik-baik saja? Perlu saya ambilkan sesuatu?”“Aku tidak apa-apa, hanya sedikit lelah saja,” kata Athena pelan, “setelah ini rapat dan pekerjaan lainnya kau tunda dulu untuk sementara.”“Baik, Nyonya,” jawab Norah pun pergi.Begitu sa
Max masih terdiam, ia masih enggan menjawab. Lalu mobil berhenti di lobi perusahaan Harrington, dan pembicaraan mereka terpotong.“Lebih baik kau masuk,” minta Max.“Baiklah, sampai jumpa nanti malam.” Athena mencium pipi Max sebelum pergi.Athena keluar saat Norah membuka pintu untuknya, mobil Max mulai meninggalkan tempat. Dalam perjalanan, ia berpikir tentang ucapan Athena tadi, apa ia harus melakukan hal itu?“Tuan,” panggil Elio pelan.“Katakan,” minta Max singkat.“Apa Anda sedang mempertimbangkan perkataan Nyonya?” tanya Elio pelan, ia sangat tahu keadaan Max dulu hingga sekarang.“Aku tidak tahu, aku masih bingung harus berbuat apa padanya.” Max bersandar, perasaannya mulai goyah.“Saya tahu masa lalu kalian cukup kelam, banyak kebencian dan pertumpahan darah. Rasanya memang belum tuntas saja kalau masih belum saling balas, hanya saja kini terasa berbeda saja.”“Apa maksudmu?” tanya Max.“Ucapan Nyonya tadi, itu solusi yang cukup baik mengingat Nyonya sendiri mencint







