LOGINLangkah sepatu hak tinggi Athena bergema di sepanjang lorong lantai atas gedung Harrington Enterprise. Di sampingnya, Norah tampak menunduk sopan, menekan tombol lift dengan sedikit gemetar.
“Sepertinya Tuan Max sedang marah, Nyonya,” gumam Norah pelan saat pintu lift tertutup. Athena mengangkat alis tanpa ekspresi. “Aku sudah tidak heran lagi dengan sikapnya, dia memang selalu marah. Aku bahkan heran kalau suatu hari dia tidak marah dan berteriak padaku.” Tapi di dalam hatinya, rasa waswas tetap muncul. Kali ini, firasatnya tidak baik. Sesampainya di luar ruang direktur, Flore, sekretaris baru pilihan Max menyambut mereka dengan senyum tipis. Wanita itu tampil cantik dan percaya diri, namun sikapnya dingin dan menyiratkan arogansi. “Tuan Max menunggu di dalam,” ucapnya singkat. Athena hanya melirik sekilas dan berkata pada Norah, “Kau tunggu di luar saja.” Norah mengangguk, “baik, Nyonya.” Dan Athena pun melangkah masuk. Athena mendorong pintu ruang direktur. Aroma tajam tembakau langsung menyeruak. Max duduk di balik meja besar, setengah menyandar, satu tangan memainkan rokok yang menyala meski di dinding jelas terpampang tanda larangan merokok. Asap mengepul pelan di atas kepalanya, membuat suasana semakin tegang. “Ada apa kau menyuruhku datang?” tanya Athena, tanpa basa-basi. Tanpa menjawab, Max melemparkan satu berkas ke meja di depannya dengan kasar. “Kau menyetujui proyek ini tanpa pengecekan. Distributor itu palsu, pabriknya kosong. Ini akan membuat kerugian besar!” Athena menatap dokumen itu. Ditatapnya satu demi satu halaman, dan dia langsung sadar ini bukan proyek yang pernah dia tangani. Tapi di sana jelas tertulis tandatangannya. “Aku ... aku tidak pernah menyetujui proyek ini,” ujar Athena pelan, tapi yakin. “Jangan berbohong!” bentak Max, berdiri dan memutari mejanya, kini berdiri hanya beberapa langkah dari Athena. “Tanda tanganmu jelas ada di sana, Athena.” Athena berusaha tenang. “Tanda tanganku memang ada, tapi aku tidak sadar dokumen itu bagian dari proyek ini. Aku kira itu laporan lanjutan dari proyek sebelumnya, dan saat itu aku terburu-buru. Ini kesalahanku tapi bukan sabotase.” “Kau sengaja ingin menipuku dan membuatku rugi besar, huh. Kau ingin balas dendam!” tekan Max tajam. Athena menggeleng, ingin membela diri tapi Max sudah terlanjur kesal. “Kau harus diberi hukuman!” Athena menelan saliva berat, tidak. Max menunduk, berbisik di telinga Athena dengan parau, “naiklah ke meja!” Perintahnya. Aura Max saat marah memang berbeda, dan itu sangatlah mematikan. “Saat ini aku sedang kesal, dan membutuhkan pelampiasan untuk itu. Dan kau sangat pas untuk hal itu.” “Cepat lakukan, Athena. Aku ada rapat lima belas menit lagi.” Athena ujung pakaiannya, dia naik meja sesuai perintah. Dia memejamkan mata, menahan perih fisik dan hatinya saat Max hanya menjadikannya pelampiasan hasrat amarahnya. Tak ada pemanasan, tak ada ciuman lembut, hanya ada kebutuhan saja. Sudut mata Athena mengalir air mata, apa pun yang dia lakukan akan selalu salah di mata Max. Apa pun itu. “Pergilah, aku sudah tidak membutuhkanmu di sini.” Max berkata sembari membenarkan celananya. Athena hanya diam dan mengangguk saja. Setelah itu dia keluar dari ruangan bersama Max yang akan hadir di rapat bersama Flore, terlihat sekretaris itu menatap sinis Athena yang penampilannya berbeda saat masuk tadi. “Dia datang hanya untuk ditiduri saja,” gumam Flore tepat saat dia melewati Athena yang bersama Norah. Begitu sampai di lantai dasar, langkah Athena terhenti. Seorang pria dengan mengenakan jas gelap, dengan senyum miring yang membuat siapa pun tak nyaman. Ketika pandangan mereka bertemu, Athena terdiam. “Athena.” Suara Hudson begitu tenang, namun menyiratkan ancaman. Mereka kini berdiri berhadapan di ruang tunggu tertutup yang disediakan untuk pengunjung. Athena memicingkan mata. “Apa yang kau lakukan di sini?” suaranya datar, namun cukup tajam untuk menusuk udara dingin gedung Harrington. Hudson menyeringai. “Masih saja bertahan di bawah cengkeraman Max ternyata? Hidupmu terlihat semakin menyedihkan saja, Athena.” Norah, yang melihat ketegangan itu, menunduk sopan dan mundur, keluar dari ruangan itu dan berjaga di luar. Athena tetap tenang, meski hatinya meradang. “Aku lebih memilih menderita di tangan Max, daripada menjadi boneka mainanmu yang tidak tahu batas,” balas Athena dingin, berdiri tegak dengan sorot tajam. “Jangan kira aku lupa siapa dirimu, Hudson. Aku tahu persis ke mana arah semua niat busukmu.” Hudson tertawa pelan, suaranya nyaris seperti ejekan. “Masih berani bicara sekeras itu, padahal posisimu sekarang bukan sesuatu yang bisa dibanggakan.” Athena mengabaikannya, tapi Hudson maju selangkah, cukup dekat hingga auranya terasa menekan. “Kau selalu menjadi wanita yang menarik, selalu, Athena. Tapi sayang, kau terlalu keras kepala untuk melihat peluang. Max memperbudakmu secara fisik dan mental, dan kau membiarkannya. Setidaknya aku dulu menawarimu posisi yang lebih terhormat.” “Menjadi peliharaanmu bukanlah suatu kehormatan.” Athena membalas dingin. “Kau hanya mencoba menutupi kebusukanmu dengan janji yang kau bungkus rapi.” Hudson mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, sebuah flashdisk. “Ini apa?” tanya Athena menatap Hudson sambil mengulurkan tangannya untuk menerima. Hudson tersenyum tipis, dengan berani dia menarik helaian rambut panjang Athena. Perlahan hingga ujungnya pun terjatuh “Kau akan tahu saat melihat isinya.” Athena ragu, tapi matanya tak berkedip. Athena hendak bertanya, tapi langkah-langkah tergesa dan suara pintu terbuka membuatnya refleks. Jantung Athena berdegup kencang.Dalam sepersekian detik, ia menoleh ke sekitar, lalu menyelipkan flashdisk itu di balik pot bunga besar di sudut ruangan. Jari-jarinya sempat gemetar.
“Aku tidak tahu kalau Paman berada di sini dan bersama istriku.”
Athena berdiri bersandar di dinding dekat pintu ruang rawat, menatap layar ponselnya dengan tenang. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kegelisahan, bahkan terlihat santai seolah tidak terjadi apa-apa di dalam sana.Pintu ruang rawat terbuka keras. Celine keluar dengan wajah merah padam, matanya masih memerah karena amarah yang belum reda. Ia berhenti sejenak saat melihat Athena di depannya, wanita yang paling ingin ia bunuh saat ini.Aroma antiseptik bercampur wangi parfum mahal mengisi udara di antara mereka, dua perempuan yang saling menatap tanpa kata, namun tensi di udara cukup untuk membuat perawat yang lewat segera menunduk dan mempercepat langkah.Akhirnya Athena tersenyum tipis, nada suaranya lembut namun penuh sindiran.“Oh, Celine, akhirnya kau pulang juga,” sapanya santai, menatap Celine dengan tatapan ringan seolah pertemuan ini hanya kebetulan biasa.Celine memutar tubuhnya menghadap Athena sepenuhnya, suaranya tajam seperti pisau.“Kau semakin tidak tahu diri,
Suara bentakan keras menggema di dalam rumah besar milik keluarga Hudson. Emery menatap suaminya dengan amarah yang menyalak di matanya, sementara Hudson berdiri di hadapannya dengan wajah merah padam karena murka.“Keparat kau, Hudson! Cepat lepaskan aku!” Emery mengentakkan kakinya, meronta dari genggaman pria itu. Tangannya yang halus berusaha melepaskan diri, tapi Hudson jauh lebih kuat.“Diam, Emery!” bentak Hudson, menarik paksa pergelangan tangannya lalu mendorongnya ke dalam gudang tua di ujung lorong. “Aku sudah muak dengan sikapmu yang selalu ikut campur urusanku!”Emery menatapnya tajam, dadanya naik turun karena menahan amarah. “Aku ikut campur karena kau sudah terlalu gila, Hudson! Kau pikir aku tidak tahu rencanamu yang kotor itu? Semua orang tahu kau hanya ingin menjatuhkan Max!”Hudson mencengkeram dagu istrinya dengan keras hingga Emery meringis. “Jaga bicaramu,” desisnya pelan namun berbahaya. “Jika kau bertingkah lagi, keluargamu akan tamat.”Emery menatapnya t
Athena merapikan bajunya, sesekali melirik Max yang masih bertelanjang dada dengan santai. Seolah pergulatan panas di antara mereka tadi hanya hal biasa, bahkan dengan enaknya menyesap whiskey padahal masih sakit. Begitu selesai, Athena langsung merebut gelas Max. Pria itu melotot seketika menatap Athena. “Kembalikan!” perintah Max tanpa pengecualian. “Kau belum sembuh, hindari dulu minuman seperti ini. Tunggu kau sembuh seperti sedia kala,” minta Athena yang juga merupakan perintah. “Aku sudah sembuh,” sahut Max asal. “Buktinya kau mendesah paling semangat tadi, bahkan meminta lagi ... lagi. Ternyata kau lumayan liar juga.” Pipi merah Athena mulai bermunculan, ia memegang kedua pipinya yang terasa panas jika mengingat kejadian panas tadi. Gila saja, mereka bercinta dengan panas di Rumah sakit. “Kau ... kau yang menggodaku lebih dulu,” sangkal Athena malu saja. Max tersenyum tipis, “kau terlihat seperti rubah licik yang penggoda.” Athena beranjak, ia lebih memil
Hudson yang emosi pun mencekik leher Athena, ia paling benci wanita sombong dan suka merendahkan dirinya. Seolah wanita itu selalu di atas dan bisa mengendalikan situasi, padahal mereka bukanlah apa-apa kalau tanpa ada laki-laki. Athena terkejut, namun berusaha menahan diri dengan baik. Perlakuan ini sudah biasa ia rasakan dulu saat bersama Max, hanya saja Hudson tak sekasar Max. “Kau semakin tidak tahu diri, Athena!” seru Hudson mendorong Athena hingga membentur dinding. “Bukankah hal itu juga berlaku untukmu, paman Hudson?” sindir Athena halus, seolah perlakuan kasar ini tak ada apa-apanya. “Jangan karena sekarang Max menginginkanmu, kau berlagak berkuasa. Itu hanya sementara, Celine tetaplah istri pertama dan diakui oleh semua orang,” sahut Hudson menyeringai. “Pantas saja terus membela Celine,” seringainya tipis, menahan lehernya yang sakit, “aku sepertinya mencium bau bangkai yang sudah lama ditutupi dengan rapat.” “Apa kau juga menciumnya, Paman?!” Athena sengaj
Menanggapi godaan Max, tentu saja Athena dengan senang hati mengalungkan tangannya dengan manja. Senyuman semanis madu ia ciptakan, hingga membuat suaminya enggan berpaling.“Ternyata aku juga bisa kau rindukan, padahal aku kira kau hanya merindukan istri tercintamu,” sindir Athena tanpa ragu.Max tersenyum tipis, “mulutmu memang tajam.”“Kalau tidak tajam, bagaimana aku bisa menghadapimu selama ini?!” ujar Athena santai, seolah Max sudah tak seperti dulu.Athena mencium bibir Max sekilas, lalu tersenyum, “jadi, apa sekarang kau mulai sadar kalau hanya aku yang tulus mencintaimu?!”“Hmm.” Max tampak berpikir, “bisa dikatakan seperti itu, tapi tetap saja tidak mengubah apa pun.”“Tidak masalah, setidaknya kau tahu bahwa cinta tulus dan ikhlas itu sangat jarang terjadi. Dan sekarang kau memilikinya, yaitu aku,” kata Athena begitu percaya diri, mulutnya begitu pandai merangkai kata.Tulus ... ikhlas.Itu memang dulu Athena rasakan pada Max, namun entahlah rasa itu masih ada atau
“Siapa yang menyuruhmu?” Elio menekan ujung pistolnya lebih keras, ia begitu mahir dan tentu saja gampang mengintimidasi lawan dengan senjata. Apalagi dengan pistol, itu sudah menjadi hal biasa untuknya. “Kau menjebakku dengan menyebar informasi palsu!” teriak pria itu tanpa peduli senjata yang dibawa Elio. Max yang duduk santai hanya tersenyum, “kalau tidak seperti itu, mana mungkin kau akan keluar dengan suka rela.” Elio menendang lutut belakang pria itu sehingga terjatuh dan berlutut di hadapan Max, tak lupa pistol masih menempel di kepalanya. “Dasar bedebah,” maki pria itu berapi-api. Max menunduk sedikit, “katakan siapa yang menyuruhmu?” “Tidak ada yang menyuruhku, aku melakukannya sendiri karena aku dendam padamu!” sahut pria itu begitu berani padahal sudah terdesak. Max dan Elio sudah merencanakan ini semua, apalagi ia sudah mendapatkan informasi terkait siapa pelaku yang menabrak mobil. Sangat detail, tapi entah kenapa iu justru sangat mencurigakan. M







