"Kita akan bicara di luar," kata Amanda.
Amanda bangkit dari tempat duduknya sebelum meninggalkan anaknya. Ia terlebih dahulu menarik selimut Alana agar anaknya tidak kedinginan. Amanda keluar lebih dulu, disusul Henry. Ia sengaja berbicara di luar agar Alana tidak mendengarnya jika terbangun. Apalagi masalah yang dibicarakan tentang dirinya. Ibu muda itu tidak ingin Henry mengetahui kebenaran tentang anak kembarnya. Amanda dan Henry menuju taman rumah sakit yang berada tepat di belakang bangsal Alana. Ibu muda itu duduk di salah satu bangku taman. Henry ingin duduk di salah satu kursi, tetapi dia tahu mantan istrinya akan menolak untuk duduk di dekatnya. "Manda, jawab pertanyaanku dengan jujur!" Henry bertanya, "Apakah Alana adalah anakku?" tanya pria itu lagi. Henry berulang kali mengajukan pertanyaan yang sama kepada Amanda. Ia berharap mantan istrinya itu memberikan jawaban yang berbeda dari sebelumnya. Amanda terdiam sejenak setelah mendengar pertanyaan Henry yang sudah lebih dari dua kali dilontarkan kepadanya. Ia mengembuskan napas dengan kasar, lalu menjawab dengan tegas. "Dia bukan anakmu!" Amanda menegaskan sekali lagi. "Dia adalah putriku!" "Dia adalah anak aku dan kamu. Alana adalah anak kita, bukan?" Henry berharap Alana adalah putrinya. "Tidak bisakah kamu mengerti apa yang aku bicarakan? Alana bukan anakmu!" Karena kesal, Amanda menegaskan sekali lagi. "Tapi golongan darahnya dan golongan darahku sama, Amanda. Apa kamu yakin tidak berbohong padaku?" "Aku tidak berbohong padamu. Aku mengatakan yang sebenarnya. Alana bukan anakmu!" sergah Amanda sekali lagi. Ia tidak akan bosan mengatakan bahwa Alana bukan anak mantan suaminya. "Kalau dia bukan anakku, kenapa golongan darahnya sama?" Kata-kata mantan istrinya tidak meyakinkan Henry. Dia terus menekan Amanda untuk mengatakan yang sejujurnya. Dia berharap Amanda jujur dengan fakta yang ada. Dalam hati kecil Henry, ia yakin bahwa Alana adalah darah dagingnya. "Apa hanya kamu yang bergolongan darah AB?" Amanda bertanya dengan sinis, "tapi aku tetap bersyukur, dan aku berterima kasih banyak karena kamu telah menolong Alana." "Kalau dia bukan anakku, lalu anak siapa? Kita berpisah belum genap enam tahun, tapi kamu sudah punya anak yang berusia lima tahun. Itu berarti dia adalah anak aku, Manda!" tekan Henry. "Kalau aku bilang tidak, ya berarti tidak!" Amanda menjawab dengan tegas namun tidak berani menatap mata Henry yang berdiri di hadapannya. "Tataplah mataku dan katakan bahwa dia bukan anakku!" perintah Henry. Amanda terdiam. Alih-alih menatap mata mantan suaminya, Amanda malah menunduk. "Kamu tidak berani?" tanya Henry sedikit sinis. Mendapat pertanyaan itu membuat Amanda sedikit marah. Ia menatap Henry lekat-lekat. "Kamu ingin jawaban yang sebenarnya? Baiklah, aku akan menjawabnya. Dia bukan anakmu!" Amanda berkata sambil menatap mata mantan suaminya. Meski Amanda sudah menatap matanya, Henry tidak percaya begitu saja. Pria itu masih menekan mantan istrinya untuk menjawab pertanyaannya. "Alana adalah anak aku dengan suamiku yang baru," kata Amanda. "Kamu sudah menikah lagi?" Henry menatap tajam mantan istrinya. "Setelah bercerai denganmu, tidak lama kemudian aku menikah dan mengandung Alana. Sekarang dia baru berusia empat tahun, bukan lima tahun," kata Amanda, mematahkan keyakinan Henry. "Setelah bercerai, kamu langsung menikah? Kamu hebat sekali!" Suara Henry terdengar sarkastik. Lelaki itu pun memberanikan diri duduk di sebelah mantan istrinya. Namun, Amanda bergeser sedikit. "Ya, aku memang hebat. Tidak sulit bagiku untuk mencari suami pengganti setelah kita bercerai." Amanda terpaksa berbohong agar Henry tidak lagi menanyai putrinya. "Apakah dia anak selingkuhanmu?" Henry tersenyum mengejek."Kamu benar sekali. Alana adalah anak perempuan aku dari laki-laki yang menjadi selingkuhanku. Jadi, jangan tanya lagi tentang Alana karena dia bukan anakmu!" Amanda berkata dengan tegas.
Di dalam hati, Amanda merasa bersalah karena menyembunyikan fakta-fakta yang ada, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Henry dan Amanda masih duduk bersama di bangku taman. Mereka berdua terdiam dengan pikiran yang berkecamuk. Pikiran Henry dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung usai tentang Alana. Ia masih merasa yakin kalau Alana adalah anak kandungnya. "Aku akan tetap bertanggung jawab untuk membayar administrasi rumah sakit." Akhirnya, Henry berbicara setelah sekian lama terdiam. Pria itu pun berdiri untuk bersiap pergi. "Kamu tidak perlu melakukannya!" Amanda menjawab secara spontan. Wanita itu pun menghalangi Henry yang hendak melangkah. Pria itu mengerutkan kening pada mantan istrinya. "Aku harus melakukannya?" Henry tetap bersikeras bertanggung jawab untuk lebih dekat dengan Alana karena ia ingin mencari kebenaran untuk dirinya sendiri. "Dia adalah tanggung jawabku." "Tapi dia bukan anakmu," jawab Amanda. "Ya, dia memang bukan anakku, tapi aku telah menabraknya. Jadi, aku bertanggung jawab untuk mengurus seluruh administrasi Alana." Henry bisa menggunakan itu sebagai alasan untuk tetap bertemu dengan Alana dan mencari tahu kebenaran tentang gadis kecil yang ditabraknya. "Tidak perlu, aku bisa melakukannya sendiri. Lebih baik kamu pulang saja!" Amanda berkata sambil berjalan pergi. Namun, tangannya dihalangi oleh mantan suaminya. "Amanda, aku hanya punya niat baik untukmu. Maaf membuatmu tidak nyaman, tapi aku harus melakukan ini. Biaya rumah sakit sangat mahal, kamu-" "Apa kamu pikir aku tidak mampu? Kamu pikir aku masih miskin?" Amanda bertanya, memotong perkataan mantan suaminya sambil mengerutkan salah satu sudut bibirnya. "Jangan lupa! Aku sudah punya suami. Dia yang akan bertanggung jawab atas aku dan Alana." Kenangan kejadian beberapa tahun lalu masuk ke dalam otak Amanda saat mertuanya tidak menyukai keberadaannya karena dia adalah seorang gadis miskin. Sekarang Henry menghinanya, mengatakan seolah-olah dia tidak mampu membayar tagihan rumah sakit. "Amanda, bukan itu yang aku maksud. Aku hanya ...." Henry merasa bersalah karena ucapannya telah menyinggung Amanda. "Meskipun aku seorang wanita miskin, aku bisa bekerja keras untuk anakku. Aku juga punya suami, jadi kamu tidak perlu melakukannya," jelas Amanda, memotong perkataan Henry lagi. "Apa salahnya jika aku yang membayar? Jangan keras kepala, Amanda." Henry sedikit meninggikan suaranya. "Alana adalah putriku. Dia tanggung jawab aku," kata Amanda dengan penekanan. Dia menepis tangan mantan suaminya. Bukan berarti Amanda tidak ingin mantan suaminya bertanggung jawab. Hanya saja dia tidak ingin identitas putrinya terungkap. Ia tidak ingin Henry tahu bahwa Alana adalah anak kandungnya. Selama ini, Amanda membesarkan anaknya sendiri. Dalam keadaan apapun ia memperjuangkan kebahagiaan untuk Alana dan Alan. Kini Henry datang lagi saat Alana berusia lima tahun. Amanda tidak rela Henry mengambil anaknya. Amanda berlari ke pusat administrasi untuk membayar biaya pengobatan putrinya. Air mata wanita itu terpaksa keluar ketika melihat tagihan rumah sakit yang begitu besar. "Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini?"Nyonya Vena malah bersimpuh di hadapan Amanda. Ia berbicara dengan suara yang serak sambil menunduk. "Amanda, tolong maafkan aku. Aku menyesal telah berencana mengambil Alan dan Alana darimu. Aku menyadari betapa pentingnya hubunganmu dengan cucuku, yang tak pernah kurasakan sebelumnya."Amanda tercengang mendengar permintaan maaf dari Nyonya Vena. Ia tidak pernah menduga bahwa Nyonya Vena akan bersimpuh di hadapannya dan meminta maaf dengan begitu tulus. Hatinya dipenuhi oleh rasa haru dan mulai melunak."Aku telah melihat betapa besar pengaruhmu dalam hidup cucuku. Aku menyadari kesalahanku dan berjanji untuk tidak memisahkanmu dari mereka. Kamu adalah seorang ibu yang hebat dan cucuku membutuhkanmu. Aku minta agar kamu mengampuniku."Amanda merasa terharu dan ingin memberikan kesempatan kedua kepada Nyonya Vena. Ia dapat melihat perubahan yang tulus dalam hati wanita itu. "Nyonya Vena," ucap Amanda dengan penuh pengertian, "aku sangat menghargai permintaan maafmu. Aku juga berhara
Di sebuah ruang keluarga yang terasa sunyi, Pandu duduk di sofa dengan wajah tegang dan pandangan tajam yang menatap ibunya. Di sampingnya juga ada Amanda."Kenapa kalian tidak membawa cucu-cucuku?" tanya Nyonya Vena berpura-pura baik."Bu, kami memutuskan untuk kembali menikah." Amanda langsung berbicara pada intinya. "Aku harap Ibu merestui kami."Nyonya Vena hanya diam, ia tidak bisa berkata-kata. Walaupun Amanda sudah melahirkan dua orang cucu untuknya, tapi ia tidak mau Amanda menjadi menantunya untuk yang kedua kali karena ia tidak mau mempunyai menantu miskin.Pandu tersenyum sinis melihat ibunya hanya diam tanpa mengucapkan satu patah kata pun. "Sudah kuduga, Ibu baik kepada Amanda hanya ingin membuatnya sengsara.""Mas ...." Amanda menggenggam tangan Pandu supaya lelaki itu tidak melanjutkan ucapannya."Amanda, kita sudah dibodohi oleh wanita tua ini, apa kamu masih memercayainya?" Pandu memulai percakapan dengan nada tegas."Mas, aku yakin Ibu sudah berubah, apalagi saat ini
Pandu berdiri di hadapan Amanda. Tatapan penuh harap mengarah pada Amanda yang duduk di hadapannya. Suasana sunyi seketika menyelimuti ruangan, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar di telinga mereka bertiga."Sudah cukup lama kita hidup terpisah, Amanda," ucap Pandu dengan suara bergetar, mencoba menekan perasaan gugupnya. "Kita telah melewati banyak hal bersama, dan jujur, aku tak bisa hidup tanpamu."Walau merasa gugup, tapi Pandu memberanikan diri untuk kembali melamar mantan istrinya di hadapan asisten dan sekretarisnya."Sekian lama kita berpisah, tapi cintaku padamu tidak pernah berubah. Walaupun dulu aku sempat sakit hati padamu karena kesalahpahaman, tapi cinta di hatiku tidak pernah pudar."Amanda menatap Pandu dengan wajah yang penuh keraguan, pikiran dan hatinya berkecamuk. Mengingat alasan di balik keputusan mereka berpisah membuat hati Amanda tersayat seperti belati. Dia tahu, kesalahan dan kesalahpahaman telah merusak cinta yang pernah mereka miliki."Tapi, Ma
Tama sampai di rumahnya setelah Mahawira pulang. Ia berpapasan dengan Pandu yang akan pulang ke rumahnya."Bos, kapan kalian sampai?" tanya Tama."Kamu dari mana?" Bukannya menjawab, tapi Pandu malah balik bertanya kepada asistennya itu."Saya ...." Tama menghentikan ucapannya saat ponsel dalam sakunya berdering tanpa henti. Tama merogohnya dan melihat layar ponselnya. "Pak Jo. Sepertinya ada informasi penting," ucap Tama pada Pandu.Tama menjawab panggilan dari kepala pelayan di rumah sang bos."Tuan, ada informasi penting tentang Nyonya besar," ucap Pak Jo dari balik telepon."Kami akan ke sana sekarang. Kita bicarakan di rumah saja.""Apa Anda sudah kembali, Tuan?""Saya dan Bos sudah pulang," jawab Tama, "kami akan segera ke sana."Tama menutup teleponnya segera. "Bos, saya ganti pakaian dulu. Kita akan ke rumah Anda sekarang.""Baju kamu basah, memangnya kamu dari mana?" Pandu keheranan melihat baju asistennya basah."Tadi di sana hujan, saya kehujanan saat kembali ke mobil," jaw
"Terima kasih, Sayang." Tama mencium tangan Tiara berkali-kali."Sayang?" Tiara terkejut. "Kita belum menikah.""Kita bisa mulai membiasakan diri dari sekarang." Tama menatap Tiara sambil tersenyum. Ia tidak menyangka pilihan terakhir jatuh pada sekretaris sang bos. "Saya berjanji akan memperlakukanmu dengan baik."Tiara tersenyum sambil bergumam dalam hati. 'Semoga keputusan saya tidak salah.'Sementara di rumah Tama, Amanda dan anak-anaknya baru saja sampai di rumah setelah pulang dari luar negeri."Bu, kenapa Ayah baik tidak pulang bersama kita?" tanya Alana sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. "Ada pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh Ayah baik. Jadi, dia harus kembali lebih awal dari kita." Pandu mencoba memberi pengertian kepada anaknya. Padahal ia sendiri tidak tahu urusan penting apa yang membuat Tama begitu terburu-buru untuk segera kembali."Ayah baik itu banyak pekerjaan, lagi pula sekarang kita selalu ditemani Ayah Pandu. Jadi tidak kesepian lagi walaupun
"Saya ambilkan air minum dulu, pasti Bos haus." Tiara semakin gugup. "Silakan masuk!"Tiara membuka pintunya lebar-lebar dan bergegas ke ruang tamu. Tama mengikuti Tiara masuk ke dalam rumahnya.“Silakan duduk, Bos! Saya ambilkan minum dulu.”Tiara segera pergi ke dapur untuk mengambilkan air minum. Sesampainya di dapur, Tiara terkulai lemas dan duduk di lantai.“Ya Tuhan, apa yang harus saya lakukan?” Tiara memegangi dadanya sambil duduk berselonjor di lantai.Beberapa menit kemudian, ia bangun dan berdiri setelah lebih tenang. Kemudian, Tiara membawa segelas air putih untuk Tama.“Silakan di minum, Bos!”‘Dia berada di dapur selama sepuluh menit, tapi hanya membawakan air putih untuk saya. Aya yang dia lakukan di dapur selama itu?’ batin Tama.Tama mengambil gelas minum yang disediakan oleh Tiara. Ia meminum sampai habis air itu karena ia juga sedang gugup.“Airnya mau lagi, Bos?” tanya Tiara saat Tama menaruh gelas kosong di meja.“Boleh, tapi akan lebih bagus lagi kalau ada perasa