"Amanda, di mana Alan? Mengapa Alana pergi ke sekolah sendirian?" tanya William, mantan istri bosnya, yang tak mau lagi dipanggil nyonya karena ia bukan lagi istri Henry.
"Alan sedang demam. Jadi dia tidak masuk sekolah," jawab Amanda, "Willy, aku belum siap menceritakan semua ini pada Henry," ujar Amanda sambil menoleh ke arah gadis kecil yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit.
"Saya tidak akan mengatakan apapun kepada Bos sebelum mendapatkan persetujuanmu. Kamu tenang saja, saya akan mengurus semuanya. Kalian akan baik-baik saja."
William bersedia melakukan apa saja demi kebaikan orang yang dicintai bosnya. Meski kemudian dibenci oleh Henry, ia akan menerima semua resikonya.
"Tapi, aku bingung. Dari mana lagi aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu untuk membayar tagihan rumah sakit? Aku sudah menolak bantuan Henry karena takut dia tahu segalanya."
Amanda tertunduk lesu. Dia tidak punya pilihan selain menolak bantuan yang dia butuhkan agar Henry tidak mengetahui identitas Alana.
"Kamu tenang saja, Amanda, saya sudah mengurus administrasi Alana. Kamu hanya perlu menjaga Alana dan Alan dengan baik."
Amanda menegakkan kepalanya, lalu menoleh pada pria yang selalu menjaganya selama beberapa tahun terakhir. "Terima kasih banyak, Willy. Aku sudah merepotkanmu lagi."
"Bos Henry sudah membayar semuanya, tapi kamu tenang saja. Rahasiamu akan tetap terjaga. Tidak peduli bagaimana keadaan hubunganmu dengan Bos Henry di masa lalu, alangkah lebih baik, kamu berterima kasih padanya."
William ingin Amanda tetap bersikap baik kepada mantan suaminya. Dia tidak ingin Amanda memusuhi ayah dari anak-anaknya meskipun tidak dapat disangkal bahwa Henry telah menyakiti Amanda.
"Ya," jawab Amanda sambil mengangguk. Kemudian, segera mengirim pesan kepada mantan suaminya.
Sebuah notifikasi pesan muncul di ponsel Henry. Matanya membulat saat menerima pesan dari mantan istrinya. Setelah enam tahun, baru kali ini Amanda menghubunginya lagi.
"Terima kasih telah membantuku melunasi tagihan rumah sakit Alana. Pihak rumah sakit tidak mengatakan apa-apa, tapi aku yakin itu kamu." Henry membaca pesan dari mantan istrinya sambil tersenyum sendiri.
'Dia masih memiliki nomor ponselku,' kata Henry dalam hati.
Pria itu terlihat bahagia, seperti remaja yang sedang jatuh cinta. Dia mengenang masa-masa kebersamaannya dengan Amanda. Namun, sedetik kemudian, dia menyadari bahwa Sonya sedang menunggunya di kantor.
Henry bergegas ke kantor setelah mengganti pakaiannya yang berlumuran darah. Sesampainya di kantor, Henry langsung menuju ruangannya untuk menemui Sonya. Ia membuka pintu ruang kerjanya perlahan-lahan.
"Selamat siang, Sonya," sapa Henry kepada wanita yang duduk di sofa ruang kerjanya.
"Kenapa lama sekali?" protes Sonya ketika Henry datang setelah satu jam menelepon.
"Aku pulang dulu ke rumah untuk mandi karena bajuku penuh dengan darah gadis kecil yang aku tabrak," jawab Henry, dan Sonya mengangguk setuju.
Henry duduk di kursi kerjanya, sementara Sonya duduk di sofa dekat meja tunangannya.
Henry pura-pura sibuk dengan pekerjaannya karena dia tidak suka berbicara banyak dengan Sonya.
"Kenapa kamu sibuk sendiri?" Sonya kesal karena ia telah menunggu begitu lama agar Henry menceritakan apa yang telah terjadi, tapi Henry begitu dingin padanya. "Bagaimana kabar anak itu? Apakah orang tuanya menuntutmu?"
Sonya penasaran dengan apa yang terjadi pada tunangannya, tapi Henry terlihat santai meskipun baru saja mengalami kemalangan, yang membuat Sonya curiga.
"Dia selamat, tapi masih harus dirawat di rumah sakit," jawab Henry tanpa menatap Sonya.
"Kamu tidak berbohong, kan?" Sonya bangkit, menghampiri Henry, dan duduk di kursi di depan meja tunangannya. "Kamu tidak terlihat dalam keadaan yang buruk."
"William yang mengaku telah menabrak anak itu," jawab Henry dengan santai, "jika aku yang melakukannya dan orang tuanya tidak menerimanya dan melapor ke polisi, itu akan merusak perusahaan."
Henry menatap Sonya sebentar, lalu kembali ke berkas-berkas yang sedang ia pelajari.
Henry berbohong agar tunangannya tidak terlalu banyak bertanya tentang Alana. Apalagi jika dia tahu bahwa gadis yang ditabraknya itu adalah putri Amanda, mantan istrinya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada Amanda dan anaknya.
"Kamu pintar, sayang. Tangan seorang bos tidak boleh kotor. Biarkan saja William yang mengurus semuanya. Sebagai bawahan, dia harus menuruti apa pun yang kamu katakan." Sonya memuji Henry yang melimpahkan kesalahan pada asistennya.
"Katakan padaku, apa yang membawamu kemari?" tanya Henry, "aku sangat sibuk Sonya, aku tidak bisa menemanimu terlalu lama."
"Henry, kenapa kamu tidak pernah bersikap baik padaku?" Sonya cemberut. Dia telah bertunangan dengan Henry beberapa bulan yang lalu, tapi Henry tidak pernah bersikap layaknya seorang calon suami.
"Aku punya banyak pekerjaan," jawab Henry, "aku tidak punya banyak waktu karena ada proyek baru yang akan dimulai bulan depan dan aku pasti akan lebih sibuk."
Untungnya, ada proyek baru yang bisa dia gunakan sebagai alasan. Meskipun proyek tersebut sudah dimulai beberapa bulan yang lalu, setidaknya dia tidak berbohong.
"Baiklah, kamu bekerja saja. Aku hanya ingin bersama pacarku. Aku akan menunggumu sampai pekerjaanmu selesai." Sonya duduk sambil memperhatikan Henry yang sedang sibuk dengan berkas-berkasnya.
"Terserah kamu," kata Henry singkat.
Henry fokus pada pekerjaannya tanpa memedulikan keberadaan tunangannya. Namun, ketika telepon genggamnya berdering, Henry menatap layarnya sambil tersenyum, dan itu membuat Sonya kesal.
"Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" Sonya curiga pada Henry.
"Tidak apa-apa, aku hanya menertawakan William. Dia dimarahi orang tua gadis itu, tapi akhirnya si ibu minta maaf karena Willy memberinya banyak uang."
Henry harus berbohong. Tidak mungkin dia mengatakan bahwa mantan istrinya yang mengiriminya pesan.
"Dia bilang dia sedang sibuk. Dia bahkan tidak punya waktu untuk melihat calon istrinya, tetapi dia bisa membalas pesan tidak penting dari asistennya." Sonya terus menggerutu di depan tunangannya.
Henry menghembuskan napas perlahan. "Apa yang ingin kamu bicarakan?" Henry melihat jam di tangannya. "Aku akan meluangkan waktu untukmu."
Henry akhirnya mengalah. Dia tidak akan pernah bisa berdebat dengan wanita seperti Sonya. Ia berpura-pura bersikap baik agar Sonya tidak mencurigainya lagi.
Sonya menceritakan apa yang dialaminya dengan antusias. Ia berbicara panjang lebar, namun tidak ada tanggapan dari Henry. Hal itu membuat Sonya marah.
Henry sibuk dengan ponselnya, tersenyum setiap kali melihatnya. Namun, ketika Sonya bercerita tentang dirinya, Henry tidak peduli.
Wanita itu menjadi sangat kesal dan marah kepada Henry. Dia juga merebut ponsel dari tangan tunangannya. Dan itu membuat Henry sangat marah.
"Kamu sangat tidak sopan Sonya." Henry bangkit dan berdiri sambil menatap wanita seksi yang duduk di depannya. "Ingat Sonya! Aku menerima perjodohan ini bukan karena aku menyukaimu, tapi ini adalah kehendak orang tua kita."
'Lihat saja nanti, aku akan membuatmu bertekuk lutut di hadapanku,' pikir Sonya.
Nyonya Vena malah bersimpuh di hadapan Amanda. Ia berbicara dengan suara yang serak sambil menunduk. "Amanda, tolong maafkan aku. Aku menyesal telah berencana mengambil Alan dan Alana darimu. Aku menyadari betapa pentingnya hubunganmu dengan cucuku, yang tak pernah kurasakan sebelumnya."Amanda tercengang mendengar permintaan maaf dari Nyonya Vena. Ia tidak pernah menduga bahwa Nyonya Vena akan bersimpuh di hadapannya dan meminta maaf dengan begitu tulus. Hatinya dipenuhi oleh rasa haru dan mulai melunak."Aku telah melihat betapa besar pengaruhmu dalam hidup cucuku. Aku menyadari kesalahanku dan berjanji untuk tidak memisahkanmu dari mereka. Kamu adalah seorang ibu yang hebat dan cucuku membutuhkanmu. Aku minta agar kamu mengampuniku."Amanda merasa terharu dan ingin memberikan kesempatan kedua kepada Nyonya Vena. Ia dapat melihat perubahan yang tulus dalam hati wanita itu. "Nyonya Vena," ucap Amanda dengan penuh pengertian, "aku sangat menghargai permintaan maafmu. Aku juga berhara
Di sebuah ruang keluarga yang terasa sunyi, Pandu duduk di sofa dengan wajah tegang dan pandangan tajam yang menatap ibunya. Di sampingnya juga ada Amanda."Kenapa kalian tidak membawa cucu-cucuku?" tanya Nyonya Vena berpura-pura baik."Bu, kami memutuskan untuk kembali menikah." Amanda langsung berbicara pada intinya. "Aku harap Ibu merestui kami."Nyonya Vena hanya diam, ia tidak bisa berkata-kata. Walaupun Amanda sudah melahirkan dua orang cucu untuknya, tapi ia tidak mau Amanda menjadi menantunya untuk yang kedua kali karena ia tidak mau mempunyai menantu miskin.Pandu tersenyum sinis melihat ibunya hanya diam tanpa mengucapkan satu patah kata pun. "Sudah kuduga, Ibu baik kepada Amanda hanya ingin membuatnya sengsara.""Mas ...." Amanda menggenggam tangan Pandu supaya lelaki itu tidak melanjutkan ucapannya."Amanda, kita sudah dibodohi oleh wanita tua ini, apa kamu masih memercayainya?" Pandu memulai percakapan dengan nada tegas."Mas, aku yakin Ibu sudah berubah, apalagi saat ini
Pandu berdiri di hadapan Amanda. Tatapan penuh harap mengarah pada Amanda yang duduk di hadapannya. Suasana sunyi seketika menyelimuti ruangan, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar di telinga mereka bertiga."Sudah cukup lama kita hidup terpisah, Amanda," ucap Pandu dengan suara bergetar, mencoba menekan perasaan gugupnya. "Kita telah melewati banyak hal bersama, dan jujur, aku tak bisa hidup tanpamu."Walau merasa gugup, tapi Pandu memberanikan diri untuk kembali melamar mantan istrinya di hadapan asisten dan sekretarisnya."Sekian lama kita berpisah, tapi cintaku padamu tidak pernah berubah. Walaupun dulu aku sempat sakit hati padamu karena kesalahpahaman, tapi cinta di hatiku tidak pernah pudar."Amanda menatap Pandu dengan wajah yang penuh keraguan, pikiran dan hatinya berkecamuk. Mengingat alasan di balik keputusan mereka berpisah membuat hati Amanda tersayat seperti belati. Dia tahu, kesalahan dan kesalahpahaman telah merusak cinta yang pernah mereka miliki."Tapi, Ma
Tama sampai di rumahnya setelah Mahawira pulang. Ia berpapasan dengan Pandu yang akan pulang ke rumahnya."Bos, kapan kalian sampai?" tanya Tama."Kamu dari mana?" Bukannya menjawab, tapi Pandu malah balik bertanya kepada asistennya itu."Saya ...." Tama menghentikan ucapannya saat ponsel dalam sakunya berdering tanpa henti. Tama merogohnya dan melihat layar ponselnya. "Pak Jo. Sepertinya ada informasi penting," ucap Tama pada Pandu.Tama menjawab panggilan dari kepala pelayan di rumah sang bos."Tuan, ada informasi penting tentang Nyonya besar," ucap Pak Jo dari balik telepon."Kami akan ke sana sekarang. Kita bicarakan di rumah saja.""Apa Anda sudah kembali, Tuan?""Saya dan Bos sudah pulang," jawab Tama, "kami akan segera ke sana."Tama menutup teleponnya segera. "Bos, saya ganti pakaian dulu. Kita akan ke rumah Anda sekarang.""Baju kamu basah, memangnya kamu dari mana?" Pandu keheranan melihat baju asistennya basah."Tadi di sana hujan, saya kehujanan saat kembali ke mobil," jaw
"Terima kasih, Sayang." Tama mencium tangan Tiara berkali-kali."Sayang?" Tiara terkejut. "Kita belum menikah.""Kita bisa mulai membiasakan diri dari sekarang." Tama menatap Tiara sambil tersenyum. Ia tidak menyangka pilihan terakhir jatuh pada sekretaris sang bos. "Saya berjanji akan memperlakukanmu dengan baik."Tiara tersenyum sambil bergumam dalam hati. 'Semoga keputusan saya tidak salah.'Sementara di rumah Tama, Amanda dan anak-anaknya baru saja sampai di rumah setelah pulang dari luar negeri."Bu, kenapa Ayah baik tidak pulang bersama kita?" tanya Alana sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. "Ada pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh Ayah baik. Jadi, dia harus kembali lebih awal dari kita." Pandu mencoba memberi pengertian kepada anaknya. Padahal ia sendiri tidak tahu urusan penting apa yang membuat Tama begitu terburu-buru untuk segera kembali."Ayah baik itu banyak pekerjaan, lagi pula sekarang kita selalu ditemani Ayah Pandu. Jadi tidak kesepian lagi walaupun
"Saya ambilkan air minum dulu, pasti Bos haus." Tiara semakin gugup. "Silakan masuk!"Tiara membuka pintunya lebar-lebar dan bergegas ke ruang tamu. Tama mengikuti Tiara masuk ke dalam rumahnya.“Silakan duduk, Bos! Saya ambilkan minum dulu.”Tiara segera pergi ke dapur untuk mengambilkan air minum. Sesampainya di dapur, Tiara terkulai lemas dan duduk di lantai.“Ya Tuhan, apa yang harus saya lakukan?” Tiara memegangi dadanya sambil duduk berselonjor di lantai.Beberapa menit kemudian, ia bangun dan berdiri setelah lebih tenang. Kemudian, Tiara membawa segelas air putih untuk Tama.“Silakan di minum, Bos!”‘Dia berada di dapur selama sepuluh menit, tapi hanya membawakan air putih untuk saya. Aya yang dia lakukan di dapur selama itu?’ batin Tama.Tama mengambil gelas minum yang disediakan oleh Tiara. Ia meminum sampai habis air itu karena ia juga sedang gugup.“Airnya mau lagi, Bos?” tanya Tiara saat Tama menaruh gelas kosong di meja.“Boleh, tapi akan lebih bagus lagi kalau ada perasa