Pagi-pagi sekali, sebelum banyak orang beraktifitas, Alesha sudah meninggalkan rumahnya. Bukan untuk datang ke cafe, ini masih terlalu pagi, melainkan ia melarikan diri dari Jonas. Ia kabur ke luar kota.
Beruntung semalam ia bisa lolos dari Jonas dan para penjaga berkat pisau buah yang ia ambil secara diam-diam dan ia tempelkan di lehernya. Sebagai ancaman. Awalnya ia ragu jika akan berhasil, mengingat sifat Jonas yang tidak mau kalah. Namun melihat reaksi panik luar biasa pria itu, berhasil membuat Alesha keheranan. Alesha terpaksa nekat, sungguh ia muak berhadapan dengan pria pemaksa dan tidak punya hati seperti pria itu. Ia tak ingin mengorbankan hidupnya untuk menikah dengan seorang Jonas Pramudya. Persetan dengan ketampanan serta kekayaan melimpah ruah yang dimiliki, Alesha tak tertarik. Keluarganya juga kaya raya. Mobil yang dikendarai melaju cepat di jalan raya yang masih sangat lengang, karena masih pukul 4 pagi. Dingin, namun Alesha menyukai sejuk dan segarnya udara pagi yang belum banyak polusi. Anggap saja ini sekaligus jalan-jalan. Lagi pun, Alesha cukup jenuh dengan rutinitasnya tiap hari. Tak begitu jauh sebenarnya tempat yang dituju, jika dari kediamannya hanya perlu 2 jam saja. Dan beruntung ini bukan akhir pekan atau waktu liburan, jadi perjalanan Alesha cukup lancar. Alesha tiba di sebuah vila milik seorang teman. Jihan adalah teman yang paling dekat dan sudah seperti saudara bagi Alesha. Alesha merebahkan tubuhnya di sofa panjang yang ada di ruang tengah. Lumayan lelah setelah mengendarai sendiri mobilnya. Kehadiran Alesha disambut hangat oleh asisten rumah tangga yang bertugas mengurus vila milik keluarga Jihan. Namanya Bi Atin, wanita paruh baya yang sudah beberapa kali ditemui saat diajak Jihan berkunjung ke sini sebelumnya. Alesha dilayani dengan baik. Keperluannya disiapkan. Dari kamar yang akan ditempati selama menginap sudah dibersihkan dan siap digunakan. Urusan makanan pun Alesha tak perlu khawatir. Agaknya Jihan sudah memberikan tugas pada ART-nya tersebut jika dirinya datang. Alesha berjalan-jalan keliling kampung yang masih sangat asri tersebut. Ia juga melihat perkebunan teh yang membentang luas di sana. Sungguh menyegarkan mata. Dan bisa melepas penat dari rutinitas kerja yang melelahkan. Alesha berencana untuk tinggal beberapa hari di kampung ini sampai kondisi kondusif. Aman dari gangguan Jonas. Namun rencana menguap begitu saja. Alesha dikejutkan dengan kedatangan orang yang paling dihindarinya. Siapa lagi kalau bukan Jonas. Pria itu datang menyusulnya. Ingin kabur dan bersembunyi, namun keberadaan Alesha sudah terlihat oleh kedua anak buah Jonas yang menunggunya di pintu gerbang. "Mau apa sih kamu ke sini?" Alesha berkacak pinggang di depan Jonas yang berdiri menyambutnya. "Jemput kamu. Udah puas jalan-jalannya?" "Ck enggak!" Alesha menepis tangan Jonas sebelum berhasil meraih lengannya. "Ayo pulang, besok kita menikah." Kedua bola mata Alesha terbelalak lebar. "Apa?" "Iya, besok kita menikah, Alesha. Seharian ini aku udah urus surat-surat buat pernikahan kita." Alesha tercekat syok, sebelum kemudian berteriak lantang. "Enggak! Aku enggak mau nikah sama kamu, Jonas!" "Tapi mama dan keluarga kamu sudah setuju." Seketika tubuh Alesha melemah, tenaganya hilang. Beruntung Jonas cukup sigap menangkap tubuh Alesha. Tak membiarkan Alesha terluka. Alesha menyesali keputusannya lari ke luar kota, karena waktu kaburnya justru dimanfaatkan Jonas untuk menyiapkan pernikahan mereka. Bahkan sampai meminta restu pada kedua orang tuanya. Jonas membawa Alesha kembali ke kota. Mobil Alesha dikendarai salah seorang anak buah Jonas yang ikut. Alesha memilih diam sepanjang perjalanan. Percuma melayangkan protesnya pada Jonas, pria itu sangat keras kepala jika sudah punya keinginan. "Istirahat yang cukup, besok pagi aku dan keluarga besar aku akan datang melamar kamu...." Alesha memilih tak menanggapi kata-kata Jonas, ia memilih langsung masuk ke dalam kediaman sang mama. "Ma...." Alesha berhenti di depan ruang keluarga, ia melihat keberadaan sang mama yang tengah sibuk memberi instruksi pada beberapa orang yang Alesha tak kenal. "Eh Sayang, sudah pulang? Ayo-ayo sini, Mama mau ngomong sama kamu!" Alesha menurut saja ketika dibawa sang mama duduk. "Sayang, kok enggak pernah bilang kalau kamu ada hubungan sama Pak Jonas eh em Nak Jonas maksud mama?" Alesha menghela napas panjang, sebelum kemudian menjawab pertanyaan mamanya. "Sebenarnya enggak seperti yang mama pikir, Ma. Aku enggak ada hubungan apa-apa sama dia!" Dahi wanita cantik di depan Alesha ini mengernyit dalam. "Enggak ada hubungan apa-apa? Tapi Nak Jonas bilang--" "Ma, please jangan percaya sama apa yang dia bilang. Dia itu orang jahat, Ma!" Alih-alih langsung percaya, sang mama justru memukul pelan punggung tangan Alesha. "Ish kamu ini! Jangan bicara sembarangan. Mama sudah kenal lama sama dia, Sayang. Dia orang yang sangat sopan dan baik." "Ck itu palsu, Ma! Dia itu orang yang sangat jahat. Dia yang sudah menghancurkan kebahagiaan aku!" "Apa maksud kamu, Sayang?" Alesha menarik napas dalam-dalam. Ini saatnya ia menjelaskan kejadian yang pernah menimpanya pada sang mama. Ini kesempatan terakhirnya, agar bisa lepas dari Jonas. "Ya Tuhan! Kenapa kamu baru cerita ke Mama, Sayang?" Ibu Alesha tampak syok begitu selesai mendengar pengakuan putrinya. "Maafin aku, Ma...." "Enggak-enggak, ini bukan salah kamu, Sayang. Mama yang harusnya minta maaf, karena kurang perhatian ke kamu. Mama sampai tidak peka dengan perubahan kamu. Maafkan Mama, Sayang!" Ibu dan anak itu saling berpelukan. Saling meminta maaf. "Ma, tolong batalkan acara besok. Aku enggak mau menikah sama manusia jahat itu!" pinta Alesha sungguh-sungguh. Tampak ragu-ragu, mama Alesha itu menggeleng pelan. "Mama tidak bisa berbuat banyak, Sayang." "Mama enggak mau bantu aku?" Alesha berdecak protes. "Mama sudah terlanjur mengiyakan permintaan Tuan dan Nyonya Pramudya. Mereka orang yang sudah menyelamatkan nyawa kita." "Apa?" Kedua mata Alesha terbelalak kaget. "M-Maksud Mama apa?" Sama seperti yang Alesha lakukan tadi, sang mama pun menarik napas dalam-dalam sebelum menjelaskan semuanya. "Tuan dan Nyonya Pramudya yang dulu membawa Mama ke rumah sakit saat kecelakaan terjadi, yang mengharuskan kamu dilahirkan lebih cepat karena benturan yang mengenai perut mama, Nak. Berkat kebaikan mereka kamu bisa dilahirkan dengan selamat...." Tubuh Alesha melemah seketika. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk membatalkan acara sepihak yang disiapkan Jonas. Kehancurannya tinggal menunggu waktu. Cepat atau lambat, pasti akan terjadi. "Ya Tuhan, kesalahan apa yang aku lakukan ke kamu, Jonas ... sampai kamu ingin menghancurkan aku seperti ini?" Alesha meracau lemah setelah lelah menangis di kamarnya menjelang dini hari ini, beberapa jam sebelum acara pernikahan dilakukan. "Tuhan, tolong...." Suara Alesha semakin melemah dan pada akhirnya jatuh pingsan.Jonas dibuat hampir frustasi dengan syarat-syarat yang diajukan Alesha. Semuanya ia keberatan. Syarat pertama yang dikatakan Alesha sudah membuatnya tak berdaya. "Tidur di kamar berbeda", sungguh itu hal yang sangat tidak ingin Jonas penuhi. Bukan ingin berniat macam-macam dengan istrinya saat tidur, namun Jonas ingin orang terakhir yang ia pandang sebelum dan sesudah bangun tidur adalah Alesha. "Ale, syarat kedua, ketiga, keempat dan kelima yang kamu minta masih bisa aku kabulkan. Tapi yang pertama...?" "Emang kenapa dengan syarat yang pertama?" protes Alesha memotong. Jonas mengusap kasar wajahnya. Tampak frustasi. Susah menjelaskan dengan kata-kata. "Enggak bisa penuhi syarat yang pertama, ya udah enggak usah ada aturan menikah kontrak. Kita cerai saja!" "No!" "Ya tapi syarat pertama saja kamu enggak mau!" Alesha merengut sebal. "Bukan enggak mau, Ale. Tapi di rumah aku banyak ART, kalau mereka tahu kita tidur di kamar berbeda, nanti mereka bisa laporan sama orang tua
Alesha mencerna apa yang Jonas tawarkan, memikirkan baik dan buruk untuknya jika ia setuju, hingga ia lengah dan Jonas berhasil merebut pisau yang terulur di depan lehernya. Belum sadar dari terkejutnya, pisau sudah terlempar ke lantai yang jaraknya agak jauh darinya. Alesha berdecak, "pisauku!" Jonas melotot garang, kemudian mendesis penuh peringatan. "Jangan main-main lagi dengan benda berbahaya itu, Alesha!" Bibir Alesha mengerucut sebal. Tak suka teguran dari pria itu. Jonas berjalan mendekat, sementara Alesha mundur sesuai langkah suaminya. "M-Mau apa kamu?" Jonas menjeda langkahnya, menghela napas panjangnya. "Kamu pikir aku mau berbuat apa disaat leher kamu terluka gara-gara pisau sialan itu?" Alesha tersadar. Lehernya terasa sedikit perih. Tangannya terulur untuk mengecek sendiri lukanya, namun Jonas menghentikannya. "Stop! Jangan sembarangan disentuh. Tangan kamu tidak steril, bisa infeksi!" "Ck apa sih, lebay!" Alesha mencibir tak suka. Tak ingin buang-buang
Alesha masih berharap jika acara pernikahan yang baru terjadi beberapa saat lalu hanya mimpi buruk, nyatanya cubitan di lengannya sendiri masih terasa sakit. Alesha meringis kesakitan sekaligus ingin menangis untuk kehidupannya setelah ini. Ya, Alesha dan Jonas baru saja menyelesaikan prosesi akad nikah di hadapan penghulu, kedua orang tua, saksi dan beberapa kerabat yang hadir di kediaman sang mama. Acara berlangsung sederhana, mengingat dilakukan mendadak sehingga persiapan waktu satu hari tak cukup untuk menggelar pesta meriah. Perihal tak ada pesta meriah, Alesha sama sekali tak masalah. Ia justru senang karena tak perlu memberikan senyum palsu di depan para tamu undangan, keluarga besarnya maupun keluarga Jonas. Ia ingin segera semuanya berakhir. Ia lelah. "Mulai sekarang, kamu tinggal di sini sama aku," kata Jonas setelah memasuki rumah pribadinya. Alesha tak menyahut. Ia malas berbicara pada pria yang sudah resmi menjadi suaminya itu. "Ayo, aku tunjukkan kamar kita." Jo
Pagi-pagi sekali, sebelum banyak orang beraktifitas, Alesha sudah meninggalkan rumahnya. Bukan untuk datang ke cafe, ini masih terlalu pagi, melainkan ia melarikan diri dari Jonas. Ia kabur ke luar kota. Beruntung semalam ia bisa lolos dari Jonas dan para penjaga berkat pisau buah yang ia ambil secara diam-diam dan ia tempelkan di lehernya. Sebagai ancaman. Awalnya ia ragu jika akan berhasil, mengingat sifat Jonas yang tidak mau kalah. Namun melihat reaksi panik luar biasa pria itu, berhasil membuat Alesha keheranan. Alesha terpaksa nekat, sungguh ia muak berhadapan dengan pria pemaksa dan tidak punya hati seperti pria itu. Ia tak ingin mengorbankan hidupnya untuk menikah dengan seorang Jonas Pramudya. Persetan dengan ketampanan serta kekayaan melimpah ruah yang dimiliki, Alesha tak tertarik. Keluarganya juga kaya raya. Mobil yang dikendarai melaju cepat di jalan raya yang masih sangat lengang, karena masih pukul 4 pagi. Dingin, namun Alesha menyukai sejuk dan segarnya udara p
"Apa? Gila! Gila kamu, Jonas Pramudya!" Suara nyaring Alesha menggema di lantai dua cafe miliknya. Yang seketika menarik perhatian pengunjung dan juga beberapa pelayan yang sedang mengantar pesanan. Wajar jika Alesha bereaksi keras seperti itu. Sungguh Alesha sangat membenci sosok yang sekarang tengah berdiri di depannya dan yang baru saja mengajaknya menikah itu. Enteng sekali mulutnya! Sementara reaksi pria berbadan tegap itu tak tampak terkejut dengan umpatan Alesha. Pergerakan pria itu selanjutnya adalah mengeluarkan kotak kecil berisi cincin berlian bermata satu di depan Alesha. Mulut Alesha ternganga lebar. Ingin tak percaya tapi ini nyata. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba saja ia dilamar seseorang. Apalagi oleh orang yang sangat dibenci mati-matian. "Alesha ayo kita menikah!" Ajakan ini meluncur dengan mulus sekali lagi dan terdengar sangat memaksa di telinga Alesha, jujur ia jijik mendengarnya. Tak peduli sekarang ia jadi bahan tontonan beberapa pengunjung dan
Ada untungnya juga Alesha mengenakan masker kesehatan, hingga ia yakin tak akan dikenali oleh orang yang dipanggil "tuan" tersebut. Sungguh ia tak ingin lagi berjumpa dengan orang ini."Ya Tuhan, kenapa dia...?" Alesha berbisik pelan seraya menatap punggung lebar kedua pria berbadan tegap yang sedang berjalan ke arah dalam untuk memilih kursi yang akan ditempati.Seketika ingatan Alesha kembali pada mimpi buruk yang mengusik tidurnya pagi tadi. Pria itu pria yang sama yang ada di mimpinya. Jonas Pramudya. "Enggak. Dia enggak boleh tau kalau aku ada di sini. Aku enggak mau berurusan lagi sama manusia jahat itu!"Buru-buru Alesha meninggalkan meja kasir dan menyuruh karyawan yang lain untuk bertugas menggantikannya. Alesha bergegas pergi."Huh Jonas Pramudya, mau apa kamu datang ke cafe aku? Belum puas kamu bikin hidup aku menderita selama ini?" Alesha mengomel sendiri setelah duduk di belakang kemudi mobilnya.Satu tangannya ia letakkan di atas dada, merasakan degup jantungnya yang be