Share

Rahasia Cinta
Rahasia Cinta
Author: Sachie

Bab 1

Suara gamelan mengalun memenuhi setiap pelosok auditorium. Dari barisan kursi penonton, Tari tampak tidak dapat berhenti menggoyang-goyangkan tubuhnya. Gadis mungil berusia tujuh tahun tersebut terlihat berusaha mengikuti gerakan para penari yang bergerak dengan sangat lincah di atas pentas. Tidak ketinggalan, di sebelahnya kedua orang tuanya juga terlihat sibuk mengabadikan aksi para penari tersebut. Sang ayah sibuk merekam dan sang ibu membantu mengarahkan. Mereka seolah-olah tidak ingin sedikit pun melewatkan aksi dari sang penari.

“Ayah, lebih ke kanan sedikit,” seru sang ibu.

Sang ayah kemudian mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. “Seandainya kita ada di barisan paling depan, kita pasti bisa mengambil gambar yang lebih bagus,” gerutu sang ayah ketika beberapa kali menangkap kepala orang di depan yang menghalanginya mengambil video sang penari.

“Maaf, permisi. Bisa tolong Anda menggeser badan sedikit?” pinta sang ibu dengan sopan saat penonton di depannya tiba-tiba berdiri untuk mengambil gambar.

Tari seolah tidak peduli dengan kedua orang tuanya yang sangat sibuk tersebut. Ketika satu per satu penari menghilang dari atas panggung diiringi dengan tepuk tangan para penonton, Tari seketika berdiri di atas bangkunya sambil berjingkat-jingkat senang.

Tidak lama berselang, orang tuanya pun mengajaknya untuk bergegas menuju belakang panggung. Mencari sosok penari yang sejak awal pertunjukan tadi sibuk direkamnya.

“Kerja bagus, sayang,” sang ibu langsung memeluk salah seorang penari tanpa ragu.

“Ini baru anak kesayangan ayah,” ucap sang ayah.

Tari mendekati sang penari tersebut lalu menyerahkan sebuket bunga yang sejak tadi dipegangnya.

“Ini untuk Kakak.”

“Terima kasih…” kata sang penari sambil menggendong adik kesayangannya tersebut.

“Kamu pasti lelah. Ayo cepat bersihkan riasanmu. Ibu bantu membawakan barang-barangmu ke mobil.”

“Baik, Bu.”

***

Suara ribut di dapur diikuti dengan aroma masakan yang menggiurkan membangunkan Tari dari tidur lelapnya. Ia pun bergegas meninggalkan kamarnya yang masih berantakan.

“Hai, cantik. Tumben sudah bangun,” sapa kakaknya seraya mengacak-acak rambut Tari yang masih berantakan karena baru bangun. Tari hanya diam saja diperlakukan seperti itu oleh kakaknya.

”Wah, bau harum nasi goreng ayam buatan ibu!” seru Tari mengabaikan kakaknya dan langsung berlari ke arah meja makan.

Mereka sekeluarga pun duduk melingkar di meja makan sembari menyantap makanan yang telah tersedia.

Keluarga Tari memang tidak bisa disebut sebagai keluarga berada, namun mereka tidak pernah melewatkan sarapan bersama di meja makan. Mereka termasuk keluarga sederhana yang setiap harinya diselimuti dengan kehangatan. Sang ayah mewarisi jiwa seni yang diturunkan oleh kakeknya, ia pandai mengukir dan memiliki sebuah galeri seni yang terletak tidak jauh dari rumah. Sang ibu merupakan guru musik yang saat ini mengajar di salah satu sekolah menengah pertama di lingkungannya. Sang kakak yang sejak lahir telah dikarunia oleh bakat seni, sangat piawai menari. Di usianya yang masih belia, ia telah menunjukkan kepiawaiannya dalam menari di hadapan walikota serta mendapat sanjungan dari gubernur. Ia selalu ikut serta dalam perlombaan tari. Tampak puluhan piala menghiasi ruang tamu mereka. Tak dapat dimungkiri bahwa ia adalah sosok membanggakan bagi keluarganya.

“Tari, pelan-pelan saja makannya. Ayam tetangga tidak akan merebut makananmu, kok,” komentar ibunya ketika melihat Tari tergesa-gesa menghabiskan makanannya.

“Aakkuu.. nggggakk maaaau…. ditingggall.. kaakaaakkk..” sahut Tari masih sambil berusaha menghabiskan makanan di mulutnya.

Kakaknya tersenyum melihat tingkah laku sang adik. “Sudah, pelan-pelan saja. Aku tunggu, kok.”

Masih dengan tergesa-gesa, Tari lantas menghabiskan suap demi suap makanannya. “Tunggu aku, ya….” teriaknya seraya bergegas menuju kamar mandi.

Lima belas menit kemudian Tari keluar dari kamarnya. Ia berlari mendekati sang kakak, lengkap dengan seragam merah putihnya.

“Ayo berangkat,” kata kakaknya setelah selesai membenarkan dasi Tari yang sedikit miring.

Tari langsung duduk di boncengan sepeda kakaknya. Sepeda itu pun melaju menyusuri hamparan sawah yang menghijau, melewati beberapa tanjakan, hingga akhirnya sampai di gerbang sebuah sekolah dasar tempat Tari mengenyam ilmu.

Begitu Tari turun dari sepeda dan melambaikan tangan pada kakaknya, terlihat beberapa murid perempuan saling berbisik. “Keren sekali…” “Beruntung sekali dia!” “Aku juga mau dong dibonceng ke sekolah tiap hari.” Begitulah kata puluhan pasang mata tersebut. Hal itu tentunya sudah biasa bagi Tari. Ia sudah terbiasa dengan tatapan iri kakak kelas dan teman-teman di sekolahnya. Bagaimana tidak, siapa pun pastinya akan merasa sangat beruntung memiliki sosok Bayu yang sangat tampan, sopan, baik hati, dan terkenal jago menari sebagai seorang kakak. Berkat karisma yang terpancar dari kakaknya tersebut, Tari pun menjadi dikenal di sekolahnya. Banyak yang ingin berteman dengannya walaupun Tari tahu bahwa kebanyakan dari temannya itu hanyalah ingin bertegur sapa dengan kakaknya saat sang kakak mengantar atau pun menjemputnya di sekolah. Setidaknya, aku punya hal yang patut dibanggakan. Kak Bayu.

***

Bayu duduk seorang diri di bangku taman sekolahnya sambil sibuk membaca buku yang ada dalam genggamannya. Sebenarnya, ia bukanlah seorang kutu buku yang setiap saat selalu terlihat sibuk berkutat dengan tumpukan buku-buku dengan kadar kesulitan setingkat bacaan Albert Einstein. Bayu hanya ingin menikmati waktu istirahatnya dengan tenang.

Bayu merupakan salah satu siswa yang termasuk dalam daftar siswa populer di sekolahnya. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di sekolah menengah pertama ini hingga hampir setahun berlalu, banyak teman maupun kakak kelas yang menaruh perhatian terhadapnya. Meskipun begitu, kehidupannya di sekolah tidak dapat dikatakan berjalan dengan baik. Karena banyak siswi yang tertarik padanya, tak heran jika ia tidak mendapat sambutan positif dari para siswa di sekolahnya itu. Bisa dikatakan bahwa semakin banyak siswi yang memujanya, semakin banyak pula siswa yang ingin menikamnya dari belakang.

“Hai, Bayu. Sendirian aja, nih,” sapa Shinta, teman seangkatan yang berbeda kelas dengannya.

Bayu masih tak bergeming.

Seolah tidak ingin menyerah begitu saja, gadis itu pun terus mengutarakan ocehannya, mulai dari guru matematika yang tadi marah-marah di kelasnya karena banyak yang tidak mengerjakan tugas, pelajaran olahraga yang menurutnya terlalu berat, hingga kekagumannya pada pelajaran kesenian.

“Pulang sekolah nanti kamu ada acara, nggak?” tanya Shinta sambil mendekatkan wajahnya ke Bayu.

Merasa terkejut dengan tindakan Shinta yang sangat tiba-tiba, Bayu perlahan berusaha menjauh dari gadis itu.

“Bagaimana? Ada waktu? Aku ingin mengajakmu nonton…”

“Maaf, aku nggak bisa,” potong Bayu cepat.

“Hmmm… Bagaimana kalau Jumat depan, setelah pulang sekolah…”

“Maaf, sepertinya aku nggak bisa,” ucap Bayu lagi. “Aku harus menjemput adikku sepulang sekolah,” ujar Bayu tegas.

TEETTTT. TEETTTTT.

Bel masuk berbunyi.

Bayu pun meninggalkan Shinta yang terbengong-bengong sendirian.

***

Seperti biasa, siang itu Bayu bergegas mengayuh sepedanya menuju sekolah Tari. Bayu memerlukan waktu sekitar sepuluh menit bersepeda dari sekolahnya untuk sampai di sekolah Tari. Namun, karena jam pulang sekolah mereka berbeda, Tari harus menunggu selama setengah jam sebelum akhirnya Bayu datang menjemput. Hal itu bukan masalah bagi Tari karena tanpa diminta, banyak teman yang rela menemaninya untuk menunggu kemunculan Bayu.

Kriingg. Kriingg.

Bayu membunyikan bel sepedanya, memanggil Tari yang masih sibuk bercanda dengan teman-teman sebayanya.

“Sudah lama menunggu?” tanya Bayu ketika Tari mendekat.

Tari mengangguk. “Hari ini aku pulang cepat karena bu guru lagi sibuk. Lihat yang sudah aku buat sambil menunggumu,” ujar Tari seraya menunjukkan hasil prakaryanya pada Bayu dengan sangat antusias. Rupanya, sambil menunggu kedatangan Bayu, Tari dan teman-temannya sibuk mencorat-coret di buku gambar. “Ini Kak Bayu,” ucap Tari sambil menunjuk gambarnya. Terlihat gambar sosok orang yang mengenakan pakaian tari, mirip dengan penampilan Bayu saat terakhir kali menarikan tari tradisional.

“Lala dan Nisa juga menggambar Kak Bayu,” ujar Tari lagi. Ia pun meminta temannya untuk menunjukkan gambar mereka masing-masing. Bocah-bocah itu pun memperlihatkan gambar Bayu yang menaiki sepeda dan gambar Bayu yang sedang melambaikan tangan di depan gerbang sekolah.

“Wah, bagus sekali. Gambar kalian sangat mirip denganku,” puji Bayu pada Tari dan kedua temannya.

Bayu mengayuh sepedanya menjauh setelah mengucapkan salam perpisahan pada teman-teman Tari.

Tari duduk di belakang Bayu sambil berdendang gembira. Ia tak henti-hentinya menatap gambar yang tadi dibuatnya.

Sesampainya di rumah, Tari langsung berlari menuju ruang keluarga.

Lima menit kemudian…

“Lagi ngapain?” tanya Bayu ketika melihat adiknya sibuk sendiri.

“Majang gambarmu, Kak,” sahutnya sambil meletakkan gambar yang telah dibuatnya di samping foto Bayu yang diambil orang tuanya saat pementasan Bayu terakhir kali.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status