Terdengar umpatan berkali-kali dari mobil hitam yang berjalan kencang keluar dari kota. Dua orang yang tadi dan kemarin hampir menemukan Anya. Sebenarnya mereka juga tidak tau, kenapa bosnya meminta perempuan seperti Anya untuk dijadikan wanita bayaran.
Dari apa yang mereka lihat, Anya bukanlah tipe perempuan yang menjual tubuhnya hanya demi uang. Bahkan Anya menolak untuk disentuh oleh mereka.
Pasti ada hal lain di diri Anya sampai bosnya meminta pada mereka untuk tetap mencari Anya apapun yang terjadi, sangat rumit, apalagi Anya selalu lari dan terus-terusan kabur dari mereka.
Menyusahkan!
***
Sampai di rumah Harshad, Anya langsung ke kamar mandi. Sedangkan Harshad mendaratkan bokongnya pada sofa melingkar di ruang tamu. Dua orang pelayan menghampirinya dan melepaskan satu persatu sepatu Harshad.
Anya muntah-muntah di kamar mandi, kecepatan gila. Iya, Harshad mengendarai mobil dengan kecepatan di luar batas kebiasaan orang-orang kelas atas. Mayoritas orang akan mengendarai dengan kecepatan sedang sambil memikirkan proyek atau dokumen.
Sangat berlawanan seratus delapan puluh derajat dengan Harshad. Laki-laki berperawakan tinggi tersebut menginjak pedal gas, rem dan memutar setir seperti bermain pen spinning di jarinya.
Membuat perempuan yang sudah lama tak mengendarai mobil tersebut sedikit kualahan. Dia berpegangan erat pada safety belt yang melingkar di tubuhnya.
“Ini gila,” ucap Anya melihat pantulan wajahnya sendiri di cermin kamar mandi. Dan yang membuat Anya gemas adalah tampang tidak merasa bersalahnya Harshad, dengan santainya dia menghentikan mobilnya tanpa parkir yang benar, dia hanya melemparkan kunci mobil pada seseorang lalu berjalan masuk apartemen.
Bahkan, sampai Anya meninggalkan semua tas belanjaannya dan mengekor pada Harshad masuk rumah. Perutnya mual dan ingin segera mengunjungi kamar mandi.
“Nona, air panas sudah saya siapkan,” ucap seorang pelayan. Dia terkejut tapi berusaha tenang. Alisnya bertaut, melihat sekeliling.
"Air panas untuk apa ya?”
“Tuan muda mengatakan kalau nona mungkin lelah. Jadi tuan muda meminta kita untuk menyiapkan air panas untuk anda,” jawab pelayan tersebut.
Anya tersenyum, “Ah begitu ya? Terima kasih, aku akan segera mandi,” balas Anya.
“Baiklah, nona. Jika butuh apa-apa silahkan panggil kami.”
“Iya, terima kasih,” ucap Anya sekali lagi. Dia juga ikut menundukkan kepalanya saat dua orang pelayan tersebut menunduk memberi hormat. “Semoga ini bukan mimpi,” gumam Anya.
Dia masuk kamar mandi dan menyelesaikan ritualnya. Seluruh peralatan mandinya sama dengan Harshad, hanya saja milik Anya yang beraroma lebih feminim dan khusus untuk perempuan. Letak perlengkapan tersebut juga berdampingan, ada yang aneh.
Doa di hati Anya masih sama, semoga saja bukan karena Harshad ingin memanfaatkan dia dan bukan karena ingin melindungi Anya untuk nanti Harshad menjual organ dalam Anya.
Itu sangat mengerikan!
Anya memakai baju handuk lagi, dia tersenyum saat membenarkan tali baju tersebut, baju handuk yang dia pakai sore tadi pasti sudah hilang di mall. Karena memang dia tinggal di sana.
Keluar dari kamar mandi, Anya melihat pakaian yang tadi dia beli di mall ada di ruang ganti Harshad. Berada di kursi berwarna biru dengan kombinasi warna gold. Gadis itu baru menyadari cantiknya ruangan tersebut, mulutnya tersenyum.
Selera Harshad memang tinggi, bahkan dalam dunia seni sepertinya. “Eh, by the way, kemana ya itu orang?” tanya Anya dalam hatinya. Dia segera mengganti pakaiannya dan berniat keluar. Lagipula sudah waktunya makan malam, begitu pikir Anya.
Anya mengenakan pakaian berwarna biru elektrik, warna yang sangat dia sukai. Dia membiarkan wajahnya tanpa polesan make up, hanya mengenakan lipbalm untuk melembabkan bibir merahnya.
Dia keluar dari kamar utama, begitu pelayan di sana memanggil kamar tersebut. Anya melangkah perlahan, mendekati sofa di depan televisi karena melihat kaki seseorang menggantung di sana.
“Astaga, ngapain juga dia tidur di sini?” gumam Anya. Anya diam menatap intens wajah yang dari tadi pagi mengganggu otaknya. Tanpa ada yang meminta, ujung bibir Anya tertarik.
Menarik juga melakukan hal semacam ini, biasanya dia mengetahui hal seperti ini dari membaca novel atau menonton film. Tapi sekarang dia benar-benar melakukannya, walaupun dengan orang yang menjengkelkan baginya.
Mata Anya membulat terkejut, mulutnya di bungkam oleh tangan seseorang. Dia ditarik paksa menjauhi sofa tempat tidur Harshad. Anya tidak tau siapa yang menariknya dengan berani seperti itu, padahal di sini semua pelayan memperlakukan dia seperti halnya mereka memperlakukan Harshad.
“Gila siapa sih ni orang? jauh banget bawa guenya,” batin Anya berbicara. Dia melihat kolam renang di samping kakinya.
“Heh,” kata orang yang menariknya. “Sedang apa anda di sana?”
Anya menoleh, alisnya bertaut, “Nggak ngapa-ngapain,” jawab Anya. Memang dia tidak melakukan apapun kan?
“Jangan pernah melakukan hal seperti itu lagi Nona tidak diundang,” ucap laki-laki di depannya, laki-laki tersebut berlalu di iringi dengan tatapan bingung dan garukan kepala Anya.
"Apa salah gue ya?” gumam Anya.
***
Anya dan laki-laki yang tadi menjambak rambutnya makan malam di tempat yang sama, berkali-kali Anya menoleh ke sofa tempat Harshad tidur, mendecak sebal karena Harshad tidak bangun-bangun. Dia malas berhadapan dengan laki-laki ini, Anya tidak tau namanya, tapi songongnya minta ampun.
Tatapannya dari tadi seolah menginterogasi Anya, dia merasa tidak nyaman. Tebak Anya, pasti laki-laki ini punya kuasa di sini, makanya bisa seenaknya sendiri. Anya terus menunduk sejak tadi, bahkan dia tidak berani mengambil udang di atas piring saji. Dia hanya memakan sesuatu yang dekat dengan tangannya dan bisa dia lihat sejauh matanya.
“Sekretaris Bryan, dokumen yang Anda minta sudah saya siapkan di ruang kerja tuan muda,” ucap seorang laki-laki berpakaian resmi. Anya ikut mendongak, hatinya sangat berharap semoga saja Bryan pergi untuk melihat dokumen tersebut.
“Baiklah, tunggu aku di sana,” jawab Bryan. Dan benar saja, dia meletakkan garpu dan pisaunya, mengelap tangan dengan tisu dan mengambil minum.
“Baik, tuan,” jawab laki-laki tersebut dan langsung pergi dari ruang makan. Senyum Anya terbit, walaupun sangat kecil, tapi dapat Bryan lihat ada senyuman di bibir Anya.
"Habiskan makan anda, dan satu lagi, jangan ganggu tuan muda selama dia tertidur,” ucap Bryan mengingatkan. Anya mengangguk dengan senyuman tipis, melihat kepergian Bryan ke ruang kerja Harshad.
“Nah, gini kek dari tadi,” kata Anya. Tangannya mulai aktif memilih dan memakan hidangan yang ada di sana. Semua makanan di sana adalah makanan yang dia hindari selama ini, karena harus menghemat pengeluaran.
Senyum Anya terkembang, nalurinya mengatakan, “Makan Anya, lanjutkan, mumpung gratis, ye kan?” suara setan itu membuat Anya benar-benar terkikik sendiri.
Tiba-tiba dia teringat dengan Harshad, dia belum makan, bahkan setelan kerjanya masih menempel lengkap di tubuhnya. Spontan Anya menghentikan makannya dan mengambilkan nasi untuk Harshad. Menyiapkan makan malam Harshad.
Anya meninggalkan makan malamnya, dia sedikit tertarik melihat Harshad saat sedang tidur. Wajahnya terlihat tenang dan tak menunjukkan kesusahan sama sekali.
“Ternyata beneran menarik melihat orang lagi tidur,” gumam Anya pelan. Dia berjongkok di samping Harshad sambil tersenyum memperhatikan wajah tuan muda itu.
Dia teringat pesan sekretaris Bryan tadi, dia langsung berdiri setelah meletakkan makan malam Harshad di meja dekat dia tidur. Sangat pelan-pelan Anya meletakkan sumpit di atas mangkok agar suara sumpit tersebut tidak berdenting dan mengganggu tidur Harshad.
“Good bye, tukang marah,” kata Anya masih berbisik, dia menyatukan tangannya di belakang punggung dan masih tersenyum.
Kembali ke ruang makan adalah tujuannya, tetapi tak sengaja kakinya malah menendang meja kaca dan menjatuhkan vas bunga berisi air.
Praaaaank.
Harshad terbangun dan langsung berdiri menodongkan pistol pada Anya, matanya masih merah karena belum sepenuhnya sadar, dia menekan pelatuk pistol tersebut.
Dooooor.
***
DooorrrHarshad menurunkan pistolnya, matanya membulat, dia langsung membuang pistolnya setelah menyadari apa yang baru saja dia perbuat. “Anya?” panggil Harshad.Perempuan yang mengenakan hiasan rambut berbentuk hati tersebut tersenyum. Tangan kanannya berada di perutnya dan satu lagi seolah ingin meraih Harshad untuk dia jadikan tumpuan, tapi gagal.Anya terjerembab, duduk sambil masih tersenyum. Harshad mendekat, menyangga kepala Anya dengan pahanya, dia tak bisa berkata apa-apa.“Bryan! Danu!” teriak Harshad, memanggil orang-orang yang pasti saat ini ada di rumahnya. Dia panik, khawatir juga. “Anya, kamu baik-baik saja? Maafkan aku?” ucap Harshad.“Aku baik-baik saja, aku tidak apa-apa,” jawab Anya. Dia tersenyum sekali lagi dan kemudian menutup matanya.“Anya!” teriak Harshad menggoyangkan lengan Anya.“Nona Anya,” panggil seorang pelayan menyadarkan Anya dar
Harshad sampai di depan kamarnya, pintu itu tertutup. Anya mengunci pintu dari dalam, beruntung pintu tersebut tidak hanya menggunakan kunci manual, tetapi juga sensor suara.Hanya suara Harshad dan Bryan yang bisa membuka kamar itu, Bryan segera kembali ke ruang kerja tuan mudanya untuk melihat kerja Danu. Sedangkan Harshad, dia punya perasaan was-was, karena ada hal yang membuatnya trauma jika ada orang lain yang menodongkan pistol.“Anya,” panggil Harshad. Dapat dia lihat Anya terlelap di atas ranjang, selimut sudah menutupi sebagian tubuh Anya. Lampu utama juga sudah mati, hanya lampu tidur di samping Anya yang menyala.Harshad tersenyum, satu sama. Dia juga memiliki kesempatan memandang wajah Anya saat tidur. Harshad mendekat, menyalakan lampu tidur di seberang Anya. Melihat Anya tidur, mengingatkan Harshad pada seseorang yang sangat dia rindukan.Dia tidak bisa lama-lama berada di kamar itu, tujuannya kesini hanya mengambil pistol yang d
Pintu balkon tertutup beserta dengan gordennya. Sama sekali tak dapat dilihat dari dalam rumah. Anya sedikit kesusahan membuka pintu kaca itu, sangat berat, ditambah lagi dia membawa nampan berisi makanan.PraaangggggAnya terkejut, dia cepat-cepat mendekati Harshad yang memeluk diri sambil berteriak-teriak. Walaupun Harshad menahan teriakannya, Anya bisa tau karena berada di tempat yang sama.Tapi masih ada kemungkinan tuan Danu tidak bisa mendengarnya karena di dalam ruangan memang kedap suara. Anya meletakkan nampan di atas meja.“Harshad,” panggil Anya sedikit ragu. Dia memungut pecahan-pecahan gelas di bawah Harshad. Karena Harshad tak memakai alas kaki apapun, takutnya nanti dia tiba-tiba berdiri dan menginjak pecahan tersebut.“Aaaaaakhhhhh, pergi!” Harshad menahan suaranya. Dia menutup telinga dan matanya. Membuat yang melihatnya ikut sedih. Anya mempercepat kerjanya.“Harshad kamu kenapa?” tanya A
Anya beranjak naik ranjang, di atasnya sudah ada Harshad yang terlelap dengan selimut menutup hampir seluruh tubuhnya. Dia menyeka badan Harshad, pasti tidak nyaman karena belum mengganti bajunya.Pelayan datang membawa ultrasonik aromatherapi kesukaan Harshad, Anya yang terkejut membau aroma lavender ini, bunga kesukaannya juga.“Mbak, tolong airnya diganti ya, udah dingin soalnya,” kata Anya pada pelayan yang ditugaskan menemani dirinya.“Baik, nona.” Anya mengangguk, kembali menempelkan handuk kecil di kening Harshad, air hangat di handuk sedikit demi sedikit dingin.Anya menyadari kalau tubuh Harshad menggigil, dia mencari remote AC, sepertinya dia harus mematikan AC tersebut. Kenapa dia merasa seperti menjadi ibu Harshad?Ah, tapi ya sudahlah. Dia diberi kepercayaan ini oleh sekretaris Bryan dan kepala keamanan itu, dia harus bertanggung jawab. Anya melepaskan jas Harshad, masih ada ponsel di saku kanannya.Dia l
Matahari menyapa mata Anya yang masih terpejam. Sekuat tenaga dia berusaha membukanya. Tak berselang lama dari bangunnya, alarm di kamar itu berbunyi. Ini hari ketiga Harshad sakit. Dia melirik bagian bawah tubuhnya karena merasa ada yang membebani perutnya. Dia selalu menemani tuan muda tersebut, sampai tidur dengan Harshad juga. Posisi Harshad tak berpindah sama sekali. Masih dengan posisi dia memeluk Anya tadi malam, hanya saja selimut yang mereka gunakan sudah menutupi tubuh Harshad sampai lehernya. “Jam lima,” gumam Anya. Dia bangkit dari berbaring setelah berusaha memindahkan tangan Harshad pelan-pelan. Anya bangun, dia menyentuh kening Harshad. Hangat, jadi panasnya sedikit menurun. Tidak masalah yang penting tidak sepanas kemarin. Dia takut kalau Harshad seperti kemarin lagi. Dia beranjak turun dari ranjang. Dia menutup kembali gorden yang terbuka meloloskan cahaya surya. Agar Harshad tidak terganggu tidurnya. Pintu kamar utama
Malam selalu punya rahasia tersendiri, dengan menampilkan keelokan sang kartika dan juga bermacam-macam bentuk bintang. Dunia bukan hanya tentang kebaikan, ada kejahatan dan kelicikan juga di dalamnya. Bryan duduk sembari membuka satu-persatu map di depannya. Berkali-kali alisnya bertaut karena menemukan sesuatu yang tidak beres dalam dokumen tersebut. Ruangan di depan Bryan kosong, dia ingat kalau Tuan Mudanya belum datang bekerja. “Selamat malam, tuan,” sapa Danu yang baru tiba. Bryan hanya mengangguk, memberi isyarat pada Danu untuk duduk di depannya. “Aku minta data perusahaan Bantara, Dan,” ucap Bryan. Danu sedikit bingung tapi tetap beranjak mengambil apa yang diminta Sekretaris Bryan tersebut. “Waaaah, ada yang nggak beres,” gumam Bryan. “Ini, tuan,” ucap Danu menyodorkan dokumen. “Coba kamu cek lagi, ada yang janggal nggak?” pinta Bryan. Dia meraih ponselnya sambil berdiri dari kursi kebesarannya. “Aku ke tuan muda dulu,” pamit Bryan.
Anya membereskan barang yang memang miliknya, dia diam-diam mengambil satu parfum yang biasanya dipakai Harshad kalau di rumah. Sepertinya untuk pakaian yang dibelikan Harshad tidak akan dia bawa keluar rumah ini.“Gue gak punya apa-apa deh keknya, cuma ini doang,” gumam Anya, tangannya meraih jaket yang dia pakai saat kabur dari orang suruhan ayahnya. Kemudian memasukkan parfum Harshad tadi ke dalam sakunya.“Ngapain pake baju itu?” tanya Harshad tiba-tiba. Anya menoleh terkejut, Harshad sudah berdiri di belakangnya dengan setelan jas kerjanya.“Astaga, kebiasaan banget dehh. Kalo jantung gue loncat dari tempatnya lu mau tanggung jawab?” tanya Anya.“Gue tanya, mau kemana lu? Jangan ngubah topik,” balas Harshad. Dia menangkap maksud Anya, mengajaknya bertempur seperti biasa agar mengalihkan perhatiannya.“Ehm, gue mau pulang, Shad. Kaga mungkinlah gue di sini terus-terusan.” Anya mendekat
Anya sudah menjalani aktivitas seperti biasa, dia membuka jendela kamarnya agar bisa menghirup udara pagi yang memenangkan. Dia selalu berhasil bangun pagi kalau di rumahnya sendiri. Karena tidak ada siapapun yang akan membangunkannya kalau kesiangan. Lima hari berlalu tanpa ada beban apapun, Anya berangkat ke restoran tempat kerjanya setelah menghabiskan sarapan. Seperti biasa, dia menguncir rambutnya agak tinggi agar tidak menghalangi penglihatannya. Perjalanan dari rumahnya menuju restoran sedikit melelahkan. Namun setelah di sana nanti semua akan terbayarkan karena melihat tamu-tamu restoran yang terus bertambah setiap harinya. “Mampus, gue bakalan telat nih, kena marah dah,” gerutunya. Dia baru naik taksi dan jalanan di depannya sudah macet tak karuan. Akhirnya Anya memilih turun dari taksi dan lari ke tempat kerjanya. Beruntung dia tidak perlu jauh larinya. Walaupun sampai di pintu belakang restoran dia harus mengambil nafas sepanjang panjangnya