“Ke…kenapa?” Aku salah tingkah sambil mengerjakan apa saja yang ada di depan agar tak terlihat gugup. Ah, sialnya justru kegugupanku terlihat semakin jelas.
“Kenapa kau gugup sekali?” Jisung bertanya penuh curiga. Dia memutar badan menghadapku sambil melipat tangan di dada.
“Gugup? Siapa? Aku?” Aku melambaikan tangan kemudian tertawa hambar. Aku memutar otak dengan cepat. Tak sengaja sudut mataku menangkap seorang pelanggan yang baru tiba mendekati meja bar.
“Ada pelanggan.” Telunjukku terangkat yang membuat Jisung menoleh ke belakang. Spontan aku langsung berlari hendak meninggalkan Jisung. Namun langkahku berhenti bergerak ketika mendengar suara itu.
&nbs
Hwan segera berlari keluar, berharap bisa menemukanku yang dipenuhi rasa marah saat berpapasan dengannya tadi. Dia memperhatikan daerah di sekitaran depan bar, tapi tak menemukan jejakku. Hwan juga menyusuri beberapa jalan di sekitar yang ramai, siapa tahu bisa menemukanku di sana. Namun semua itu sia-sia. Dia tak akan bisa menemukanku di sana. “Astaga, kemana dia pergi?” Hwan mengusap belakang kepalanya karena tak kunjung menemukanku setelah mencari selama lebih dari tiga puluh menit. Tepat saat ia memutuskan untuk kembali ke bar dan menyerah, suara dering ponsel terdengar. “Halo?” Dia mengangkat telepon dengan pasrah. Setelah mendengar penjelasan dari seberang sana, matanya langsung membesar dan berkata, “baiklah, saya akan segera ke
Langit – langit kamarku lengang. Semua orang sudah lama tertidur, tapi mataku tak bisa diajak kerja sama. Sedari tadi aku memainkan lampu tidur. Hidup, mati, hidup, mati dan kubiarkan hidup hingga kini. Perkataan Hwan tadi masih terngiang-ngiang di kepala. Astaga, apa lagi ini? Belum cukup perjanjian dengan Kakek Chu, taruhan dengan Hwan juga ikut membuatku gila. Aaaarrrghh! Aku terteriak dalam diam. Aku tidak mau semua penjaga yang berjaga di luar tiba-tiba masuk kamar setelah mendengar suara teriakan seperti terakhir kali. Aku menggeliat di balik selimut kemudian bangkit dan duduk. Aku menghela nafas kasar. “Perjanjianmu dengan kakek,” Hwan menatapku dengan serius, “aku bisa membuatmu lepas dari perjanjian gila itu dengan syarat
Hari yang cerah tapi tidak dengan suasana yang sedang kualami. Kini aku sedang bersembunyi di balik tembok di bawah anak tangga, menunggu seseorang. Aku menyumpahi Hwan dalam hati, bagaimana mungkin aku bisa melakukannya? Astaga, aku menjadi geram sendiri. Pertama, aku harus memasang muka tembok dan kebal terhadap semua perkataan Sam nanti. Kedua, aku harus bisa berangkat bersamanya keluar dari rumah ini meskipun aku tak punya tujuan. Hwan bilang dia akan menjemputku nanti jika sudah sampai tujuan. Haha. Aku bahkan tak tahu apa yang sedang kulakukan sekarang. Aku melirik jam tangan di lengan kanan, seharusnya Sam sudah turun karena harus segera berangkat ke kantor. Dia sekarang bekerja di sebuah perusahaan arsitektur dan juga seorang designer interior. Dia bekerja di sana murni karena kemampuannya bukan karena dia adalah tuan muda keluar
Aku tercengang ketika sebuah kertas terkambang di depanku. Sebuah surat perjanjian tentang taruhan antara kami berdua. “Kau bisa menandatanganinya jika setuju,” kata Hwan santai. Dia menyesap kopinya perlahan. Hwan membawaku ke sebuah café tak jauh dari rumah. Suara music indie bergema di seluruh langit langit café. Banyak yang datang meskipun baru pukul sembilan pagi. Ada yang mampir karena hendak berangkat bekerja, atau anak sekolah yang mungkin saja membolos atau masuk siang? Pokoknya banyak orang yang datang dan café pagi itu tak sepi. Seorang waiters baru saja menyajikan sepotong kue sesuai pesananku sebelumnya. Lebih tepatnya Hwan yang memesan. “In
“Bagaimana dengan Jinnie?” Kakek Chu bertanya pelan. Dia tengah menatap jauh sebuah pemandangan dari ruang kerjanya – taman belakang di kediamannya kini. Kini Kakek Chu banyak duduk di kursi roda. Beberapa hari terakhir juga sakit jantungnya sering kambuh. Dia sering kali berpikir kalau waktunya mungkin tak banyak lagi. “Seperti biasanya Kakek Chu, dia banyak menghabiskan waktu di rumah membantu Madam Bong di siang hari dan bekerja di bar Hwan pada malam hari.” Kakek Chu tersenyum tipis setelah mendengar penjelasan Em. “Dia masih bekerja?” “Iya Kakek Chu, sebelumnya saya sudah pernah melarangnya untuk bekerja tapi dia tetap bersikukuh, jadi saya
Tiba-tiba saja suasana canggung memenuhi mobil. Aku tak banyak berbicara semenjak Hwan memelukku erat beberapa menit yang lalu. Aku tak membalas pelukan Hwan, hanya bersikap seperti patung di dalam dekapannya. “Aku tak tahu kau benar-benar melakukannya? Bagaimana bisa?” Hwan melonggarkan dekapannya, kini kedua tangannya berada di atas bahuku. Dia masih tak menyangka kalau aku berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya. “Tidak bisa begini, aku harus memberimu hadiah.” Hwan terus saja menyentuh tanganku lantas menarikku ke dalam mobil. Dia bahkan membukakan pintu mobil, menjaga kepalaku agar tak terbentur atap mobil. Melihat perhatiannya yang tulus dan detail, hampir saja aku jatuh hati padanya.&nbs
Pertemuan yang tak pernah di atur mungkin bisa dianggap sebagai sebuah kebetulan. Namun pernahkah kalian berpikir kalau justru itu semua sudah ada yang mengatur? Sebuah suratan alam, misalnya. Ya. Beberapa orang percaya pada takdir, namun tak sedikit juga yang menentang takdir. Jika berbicara tentang perjalanan hidupku, apakah pertemuanku dengan Kakek Chu adalah sebuah kebetulan yang sudah direncanakan? Sungguh aku belum pernah memikirkannya sampai ke titik itu. Sejauh ini aku masih berpikir kalau semuanya terjadi secara kebetulan dan keberuntungan bagiku yang bisa bertemu dengan orang sebaik Kakek Chu. Tapi bagaimana menjelaskan pertemuanku dengan Hwan dan Sam? Aku bahkan tak pernah membayangkan bisa bertemu, berteman bahkan tinggal serumah dengan mereka. Guratan jingga di langit semakin terlihat jelas. Tampak kontras dengan kesibukan kota yang tiada habisnya. Kehidupan malam akan segera dimulai. Bar, diskoti
Di antara banyak bar dan club, Channel A termasuk salah satu bar kelas atas. Lihatlah antrian panjang sudah mengular di luar gedung bar Channel A. Tak perlu berebut pelanggan dengan pesaing lain, siapapun yang punya selera bagus dan rasa gengsi yang tinggi dapat dipastikan memilih Channel A sebagai bar top nomor satu. Tak heran juga Hwan menamakan barnya dengan Channel A. Begitu klasik dan berkelas. Sopir mengantarku ke sana dan menurunkanku tepat di pintu masuk. Aku menghela nafas pelan. Tiba-tiba saja aku berpikiran untuk berhenti kerja saja dari tempat Hwan ketika menatap lama gedung yang berdiri gagah di depanku ini. Aku merasa tak enak dengan Jisung, Haeri dan karyawan lain. Mereka mungkin saja menganggapku bekerja seenaknya saja hanya karena dekat dengan pemiliknya. Terlepas dari Jisung yang tahu situasi yang tengah kualami. Tetap saja sebuah etika dalam bekerja diperlukan. Sebaiknya aku mengatakan