Sebuah ruangan sempit berukuran dua kali tiga menjadi tempat pilihan kami untuk berbincang lebih jauh. Tidak jauh berbeda dengan di luar, ruangan kecil ini juga dipenuhi oleh komputer, hanya saja di sini lebih berantakan. Pencahayaan yang kurang juga membuat suasana kamar menjadi suram. Hanya ada sebuah jendela kecil di dinding bagian atas, tapi tetap saja tak membuatnya lebih terang. Gadis itu memelukku sekali. “Hei! Sudah lama sekali kita tak bertemu, padahal aku pikir kau sudah lupa denganku,” bual seorang perempuan dengan dandanan tomboy. Dia memasang piercing di bagian sudut alis sebelah kanan. Dia menguncir tinggi rambut panjangnya dan mengenakan hoody kebesaran warna hitam. Sangat kontras dengan kulitnya yang seputih susu. “Hei! Tidak mungkin aku lupa denganmu,” balasku sambil tersenyum malu. Ya. Dia teman lama yang paling dekat denganku. “Bagaimana keadaanmu sekarang? Baik?” Dia bertanya sambil memasang wajah khawatir. Aku tersen
Tengah malam, aku berjalan lemas memasuki rumah. Seluruh lampu rumah sudah padam. Seperti biasa hanya menyisakan satu lampu di dekat dapur yang membuat setiap pijakanku terlihat remang-remang. “Kau baru pulang?” Aku tak lagi terkejut mendengar suara Sam yang tiba-tiba. Aku sudah melihatnya duduk di salah satu kursi mini bar dekat dapur. “Aku sedang tak ingin berdebat denganmu,” balasku terdengar lesu sambil terus berjalan ke arah tangga. Tak menunjukkan ketertarikan untuk mendengarkan cerita membosankannya malam itu. Sam pun bangkit dan berjalan mendekatiku yang sudah menaiki setengah anak tangga. Dia menahan lenganku. “Kau…..” Aku menoleh, tidak ada perlawanan untuk melepaskan tangannya. “Terlihat capek sekali,” katanya terdengar agak canggung. Anehnya dia juga terdengar sedikit mengkhawatirkanku. “Hm. Jadi kita bicara besok saja,” lanjutku lagi yang membuat Sam langsung melepaskan tangannya dari lenganku. Barangkali dia men
Aku juga memberikan tisu kering pada Hwan. Dia tampak kesulitan bernafas karena makanan yang masuk ke hidung. “Hei! Kau tak apa? wajahmu merah sekali, seperti kepiting rebus,” kataku sambil menahan tawa. “Kau masih bisa bercanda?” Hwan melirikku tak suka. Sesekali dia terbatuk. Aku juga mengisi kembali gelasnya yang sudah kosong. “Wah, indah sekali pemandangan di depanku ini,” sela Sam menyindir. Aku sampai lupa kalau dia masih duduk di sana. Hwan berhenti batuk. Begitu pula denganku yang berhenti sejenak. Satu detik kemudian barulah kami sama-sama menatap Sam. Dia melipat tangan di dada sambil memasang ekspresi tak suka. Huft! Aku mengehela nafas. Ini bukan pertama kalinya dia bersikap seperti itu. Selalu saja bersikap bossy jika aku sudah bercanda dengan Hwan. Tapi apa mungkin ini pertanda lain? Cemburu misalnya? Ah, tidak mungkin Sam menyimpan perasaan padaku. Setidaknya itulah yang kupikirkan saat itu. “Apa urusannya denganmu?” Aku m
“Baiklah, kalau memang itu yang kau mau. Permintaanmu tidaklah sulit.” Sam memperbaiki posisi duduk, menjadi lebih nyaman dengan menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Kami masih duduk di meja makan dengan sarapan yang masih terkambang di atas meja. Waktu terus bergulir. Aku melirik jam dinding. Tepat satu jam lagi Madam Bong akan kembali ke sini untuk membereskan meja makan. “Kau boleh percaya atau tidak dengan apa yang akan kukatakan nanti. Tapi aku hanya berharap kau tak terlalu kecewa pada orang yang khawatirkan itu.” Bisa-bisanya Sam menyindirku dan Hwan. Kita lihat saja nanti, apakah ceritanya sama dengan cerita yang kudapat dari Jisung atau tidak. Satu hal yang harus kuakui darinya adalah kemauannya untuk membuka mulut, berbicara lebih lama denganku. Padahal kami belum sedekat itu. Atau Sam punya pemikiran lain? Sungguh aku tak punya ide. Sam orang yang sangat sulit untuk ditebak. “Ayah dan ibuku mungkin memang mening….”
Aku berdiam diri di kamar. Percakapanku dengan Sam di meja makan terhenti begitu saja karena kedatangan Madam Bong. Berulang kami aku memeriksa ponsel, tetap saja tidak ada pesan masuk apalagi sebuah panggilan masuk. Aku mendesah. Kemudian membuang ponsel ke sembarang tempat di samping. Matahari sudah naik segalah. Tidak ada kegiatan berarti yang harus dilakukan hari itu kecuali pertemuan dengan Kakek Chu malamnya saat makan malam. Tapi sekarang baru pukul sepuluh pagi. Hwan pergi ke bar sementara aku tidak perlu lagi bertemu dengan Sam atau terus menempelinya. Aku menghela nafas untuk kesekian kalinya lantas bangun dari tempat tidur. Menapakkan kaki di lantai dan berjalan menuju balkon. Tak sengaja aku melihat Sam bersiap akan pergi di bawah sana. Sudah ada mobilnya di sana. Tiba-tiba saja aku menjadi penasaran. Bukan tentang kemana dia akan pergi, tapi kelanjutan ceritanya yang terpotong. Saat ini aku benar-benar membutuhkan sebuah potongan puzzle
Nafasku tercekat. Mataku masih terpejam rapat, tak bisa mengenali situasi kini. Yang pasti sekarang adalah seseorang tengah mencoba untuk menculikku. Hanya itu yang bisa terpikirkan olehku. Aku bahkan tak tahu posisi kami sekarang. Semuanya gelap. Aku menggelengkan kepala, membuat perlawanan. Berusaha melepaskan tangan seseorang yang masih mendekap mulutku dengan erat. Sial, tangannya tak melonggar sedikit pun. Justru dia ikut menahan lenganku kemudian berbisik di telingaku. “Diamlah!” bisiknya pelan. Sontak aku membuka mata. Aku mengenali suaranya. Tepat saat itu beberapa langkah kaki terdengar menuruni anak tangga dengan cepat. Salah satu dari mereka berkata tidak menemukan sesuatu di sini. Kembali ke markas. Disusul sahutan nyaring dari beberapa orang pria lainnya. Setelahnya aku mendengar suara desing mobil menjauh menyisakan keheningan di antara kami.Tanpa pikir panjang, aku menyikut perut orang di belakangku hingga tangannya terlepas dari mulutku. Aku te
Aku tersedak hingga terbatuk-batuk. Hei! Baru saja Kakek tua yang tengah tersenyum itu mengatakan kalau dia akan menikahkanku dengan Hwan. Begitu mudahnya? Seperti barang bawaan yang bisa dipindah kemana saja. Aku sungguh tak habis pikir. Sekilas aku mengingat balik tujuan awal kedatanganku ke rumah ini. Semata-mata sebagai ucapan terima kasih. Aku juga tak pernah lupa dengan mengabulkan satu keinginan terakhir Kakek Chu tentang menikahi salah satu cucunya nanti. Tapi semuanya berubah setelah aku menatap di rumah itu. Pernikahan yang aku iyakan dulu juga tak semudah itu rupanya. Terlebih lagi, aku tak habis pikir kenapa Kakek Chu memilih Hwan. Walau sejujurnya aku pernah berpikiran bahwa Sam lah orangnya. Tapi kenapa? Semua dugaanku salah. Tapi siapa yang berani menentangnya? Seluruh ruangan terasa lengang. Waktu terasa seolah berhenti berputar. Hingga Jay bertepuk tangan canggung, memecah sunyi. “Bukankah ini kabar bahagia?” katanya dengan wajah po
Sontak Hwan langsung berdiri. Sekilas aku melihatnya mengusap pipi dengan punggung tangan. Tunggu, apa dia sedang menangis? Pikirku sejenak. Kemudian aku beralih menatap Kakek Chu yang duduk di balik meja kerja dan Em yang berdiri tepat di sampingnya. Situasi apa ini? Hwan mengalihkan pandangan, menghindari berkontak mata denganku. Perlahan aku berjalan mendekat. “Apa yang membawamu ke sini sayang?” tanya Kakek Chu sambil tersenyum manis. Aku menarik nafas dalam, masih terasa agak sesak setelah berlari menaiki anak tangga. “Aku…ingin..bertanya.. sesuatu padamu,” kataku sambil melirik Hwan di samping. Kini kami berdiri sejajar tepat di hadapan Kakek Chu. Hanya dipisahkan sebuah meja kerja yang lebarnya mungkin satu meter. Kakek Chu mengangguk pelan, mempersilakan. “Tapi sebelum itu aku ingin bicara berdua dengan Hwan lebih dahulu,” lanjutku lagi sambil meraih lengan Hwan. Dia tak melawan. “Maafkan aku kek, aku akan kembali lai