Belum genap empat jam mataku terpejam. Jam weker usang di atas meja nakas yang tak kalah usang berbunyi. Sudah jam sembilan pagi. Aku mengerjap sambil meraih jam weker yang masih berbunyi, lalu dengan cepat memutar tombol mati. Badanku terasa pegal. Aku merutuki Jisung yang tega menyuruhku menggendong Sam keluar untuk naik taksi semalam. Ingin rasanya menolak, tapi aku juga tak bisa meninggalkannya di meja begitu saja.
Jisung menunjuk Sam yang sudah tergeletak di lantai. Ya. Di lantai. Sebelumnya dia masih di meja hingga beberapa menit ketika aku membersihkan bar karena sudah waktunya untuk tutup, entah kapan dia terjatuh ke lantai.
“Kau bawa dia keluar,” kata Jisung sambil menutup pintu lokernya di belakang.
“Apa? Kenapa aku?” Aku tak habis pikir kenapa Jisung menyuruhku. Padahal dia bisa sendiri dan dia lebih mengenal Sam dibandingkan diriku. Setidaknya itu kesimpulanku setelah melihat adu mulut Sam dan Hwan malam tadi.
“Karena kau mempunyai banyak waktu luang di mataku,” balas Jisung lagi sudah berada di pintu keluar.
“Hei!” teriakku mencoba menghentikan Jisung. Sia-sia sudah. Aku tak lagi mendengar suara Jisung melainkan suara pintu yang ditutup dari luar.
Beberapa hati terakhir adalah hari yang sangat melelahkan bagiku. Badan dan pikiran. Dimulai dari aku yang bertemu dengan Kakek Chu dengan permintaan yang aneh. Kemudian memecahkan gelas bar. Lalu sepulang dari kerja aku harus menggendong orang asing untuk naik taksi. Huft! Lengkap sudah kesialanku.
“Kau harus membayarku karena sudah menggendongmu sampai ke sini,” gumamku dengan menggertakkan gigi. Badannya begitu berat. Aku terhuyung-huyung kesana-kemari ketika menyeretnya keluar dari bar.
Aku mengalungkan lengannya ke bahu, lalu tanganku memegangi pinggangnya agar aku tak ikut terjatuh. “Ayolah! Setidaknya gunakan kaki panjangmu itu,” gumamku lagi dengan mengatupkan kedua mulut.
Akhirnya kami sampai di pinggir jalan. Karena sudah tak kuat, aku menyandarkannya di salah satu pohon rindang di pinggir jalan. Menunggu taksi berikutnya datang. Aku menghela nafas. Mengibaskan kedua tangan mengipasi area wajah karena terasa panas.
Aku menunduk menatap Sam yang terduduk di bawah. Wajahnya merah karena pengaruh alkohol. Kemudian aku berjongkok di hadapannya. Menepuk pelan pundaknya.
“Alamatmu dimana? Aku akan mengirimmu pulang.” Kali ini aku menepuk pipinya agar ia tersadar walaupun sebentar. Bodohnya aku yang mengharapkan jawaban dari orang mabuk dan tak sadarkan diri ini. Akhinya aku menggeledah saku baju dan celananya. “Maaf ya, aku tak punya pilihan lain,” kataku.
Sebuah dompet kulit hitam, persis seperti yang kulihat di bar kemarin, kutemukan dalam saku jaketnya sebelah kanan. Tidak bermaksud apapun. Aku hanya ingin tahu alamatnya dimana agar bisa mengirimnya pulang dengan selamat.
Tepat saat itu, sebuah taksi sudah berhenti di dekat kami. Aku kembali memapahnya masuk mobil.
“Tolong antar ke alamat ini, ya pak.” Aku menunjukkan kartu tanda pengenal milik Sam pada sopir taksi. Setelah memberi cukup waktu bagi sopir itu, aku kembali memasukkan kartunya ke dalam dompet dan menyimpannya lagi di tempat semula.
“Antarkan dengan selamat ya pak,” pesanku.
***
Aku berjalan ke kamar mandi dengan malas. Menggosok gigi lalu mandi. Sudah waktunya untuk berangkat kerja. Aku melewatkan sarapan karena memang tak ada yang bisa dimakan sebab tak sempat berbelanja karena kejadian semalam. Ah, sudahlah.
Kenop pintu diputar. Aku terlonjak kaget ketika melihat seseorang yang sudah berdiri tegap di balik pintu. Mataku berkedip tak terhitung jumlahnya. Dia membungkuk empat puluh lima derajat padaku.
Aku balik membungkuk, “Em?” Aku menatapnya dengan penuh tanda tanya. Dia tak sendiri, melainkan ada lima orang lainnya yang berdiri di belakangnya.
“Selamat pagi nona,” sapanya ramah. “Akhirnya kau bangun juga,” ledek Em dengan lantang. Aku menatapnya semakin heran. Apa yang dilakukannya di sini? Di tempat sempit ini. Tidak. Bukan itu yang terpenting. Tapi, bagaimana dia bisa tahu alamatku?
“Kakek Chu ingin bertemu denganmu,” Em menyampaikan pesan yang dibawanya. “Akan lebih bagus lagi jika kau membawa bajumu sekaligus,” tambahnya.
“Apa?” keningku berkerut. “Kenapa aku harus bawa baju?” Em tersenyum tipis. “Karena mulai hari ini kau akan tinggal di rumah utama keluarga besar DN Group.”
“Apa katamu? Aku kenapa? Apa? D-DN Group?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirku saking bingungnya. Mataku membesar tak percaya dengan pendengaranku. “Kakek Chu adalah pimpinan besar DN Group, sesuai janjimu dengannya, aku datang untuk menjemputmu. Kau tak perlu datang untuk bekerja lagi,” lanjut Em memberi penjelasan. Dia mengangkat tangan mempersilahkanku jalan lebih dulu.
“Tapi…A-aku…” Aku tak tahu harus berkata apa. Otakku selalu bekerja dengan lambat setiap kali merasa kebingungan. Semuanya terjadi terlalu tiba-tiba. Tak memberiku sedikit waktu untuk mencerna apa yang tengah terjadi. “Tidak!” tolakku sambil mengangkat tangan dan mata terpejam. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. “Baiklah. Berikan nomor telfon kakek, biarkan aku menelfonnya dulu,” pintaku.
Em tersenyum lebar. “Kakek Chu sudah menunggumu di rumah, sebaiknya kita langsung berangkat,”
“Setidaknya biarkan aku menelfonnya sekali, kalau tidak, aku tak mau ikut denganmu,” ancamku tak mau kalah. Akhirnya Em mengalah dan memberikan ponsel yang sudah tersambung dengan Kakek Chu di seberang sana.
Belum sampai aku bersuara, Kakek Chu sudah memotongku. Dia bilang akan menunggu di rumah lalu menutup panggilan sepihak. Aku mengembalikan ponsel dengan raut wajah pasrah. Mengalah.
“Mari,” ulang Em. Dia memiringkan sedikit kepalanya mempersilahkanku berjalan lebih dulu. Bahkan lima orang yang berbaris di belakangnya menyibak ke tepi dan membiarkanku berjalan di tengah. Dua orang di depan, tiga orang di belakang. Sedangkan Em berjalan beriringan denganku.
“Tapi Em,” kataku hati-hati sambil melirik Em. “Ya?” Dia balas menoleh padaku.
“Sejujurnya aku masih bingung dengan semua ini. Sebenarnya kakek Chu itu orang yang seperti apa?”
“Kau akan tahu begitu sampai di rumah,” jawabnya. Kami sudah sampai di ujung jalan sempit yang terhubung ke rumahku. Pria berdasi di depan tadi membukakan pintu mobil lalu mempersilahkanku masuk.
***
Mobil memasuki sebuah gerbang besi besar. Setelahnya masih ada jalan lagi yang akan menghubungkan gerbang dengan rumah utama. Aku tak begitu terkejut dengan pemandangan yang kulihat. Karena aku pernah merasakannya dulu. Sepanjang jalan dihiasi pohon yang berdampingan dengan lampu jalan. Tak lama, mobil menepi tepat di depan lobi utama rumah setelah mengitari bundaran air mancur mini. Rumah utama yang dibicarakan Em bergaya minimalis perpaduan warna hitam putih dan abu-abu. Sangat kontras dengan warna hijau rerumputan yang menghiasi taman mini di sampingnya.
Pintu mobil dibuka. Aku keluar lalu menatap jauh pemandangan di depanku. Rumah ini berada di atas bukit. Aku bisa merasakan perjalanan yang menanjak saat di dalam mobil yang melaju tadi. Tapi ini memang jauh dari ekspektasiku ketika mengingat penampilan Kakek Chu yang sangat sederhana. Tak menunjukkan sedikitpun kalau ia berasal dari keluarga kalangan atas dan berpengaruh di kotaku.
“Mari,” Em memimpin jalan. Aku mengikutinya di belakang. Begitu pintu utama dibuka, Kakek Chu langsung menyambutku dari balik pintu. Dua orang pelayan di balik pintu juga ikut menyambutku. Dia membawaku menuju sebuah ruangan dengan banyak kaca besar. Hampir setengah dindingnya terbuat dari kaca.
“Duduklah!” Kakek Chu duduk disofa empuk yang juga berwarna hitam. Sedangkan Em berdiri di sampingnya. Aku menurut, duduk di sofa yang bersebrangan dengannya. Sebuah layar otomatis turun dari atap. Sepertinya dia ingin menunjukkan sesuatu padaku.
“Kek,” aku menyela. “Aku memang bilang akan memenuhi keinginanmu, tapi….” Aku terhenti sejenak menelan saliva. “Aku benar-benar minta maaf. Aku bisa memenuhi permintaanmu yang lain, asalkan jangan yang satu ini,” pintaku memelas. Mencoba mengubah pikiran Kakek Chu sekali lagi. Sejujurnya, siapa yang tak terkejut ketika akan dijodohkan dengan orang yang tak dikenal? Terlebih lagi mereka bukanlah keluarga biasa, sedangkan aku hanya orang biasa, bahkan jauh di bawah biasa.
Kakek Chu tersenyum manis. Ada semacam kehangatan yang terpancar di raut wajahnya. Sudah menduga apa yang akan keluar dari mulutku.
“Jinnie,” panggilnya lembut. “Waktuku tak banyak lagi, aku takut tak bisa berbuat sesuatu untukmu. Aku akan mengembalikan kehidupanmu yang dulu,”
Sorot mataku langsung berubah setelah mendengar perkataan Kakek Chu barusan. Aku menatap tajam pada Kakek Chu, memasang wajah serius. “Kakek memeriksa latar belakangku?” Sungguh aku tak berharap ada orang lain yang mengetahui masa laluku yang begitu menyakitkan untuk diingat apalagi dikenang.
“Tentu aku harus melakukannya,” balas Kakek Chu singkat. Tapi jawabannya sama sekali tak memuaskanku.
“Kenapa kakek harus melakukannya? Apa kakek sudah tau sedari awal dan sengaja mendekatiku? Atau mungkin sengaja menikahkanku dengan cucumu karena aku tak punya apa-apa sehingga mudah diatur?” aku menyeringai. “Jangan bilang setelah ini kakek akan memberiku uang. Baiklah. Kakek akan memberiku berapa?” tanyaku menaruh curiga padanya.
“Jinnie, dengarkan aku!”
“Maaf kek,” potongku sambil bangkit dari kursi. “Aku tak bisa memenuhi keinginanmu,” tutupku. Aku berbalik tanpa mendengarkan penjelasan dari Kakek Chu.
Hatiku terasa begitu kesal, marah dan juga kecewa dengan Kakek Chu. Baru saja aku menemukan seseorang yang sudah aku anggap sebagai keluarga. Tapi hari ini, aku kembali merasakan kecewa karenanya.
Ketika hendak keluar menuju pintu utama, aku tak sengaja berpapasan dengan pria yang kukirim pulang semalam dengan taksi. Tapi aku tak terlalu menghiraukannya karena hatiku terlalu kalut hingga mengabaikan apa saja yang aku lewati.
Tak aku sangka, ternyata dia malah menahan lengan dan menarikku ke arahnya.
****
Sesuai intruksi dari Eliyah, aku tiba di stasiun kereta bawah tanah tepat pukul sebelas siang. Suasana stasiun ramai namun masih terkendali. Kakiku lincah bergerak memotong beberapa orang yang berjalan cepat di depan. Aku merapatkan topi kemudian berjalan ke arah pintu keluar sebelas. Tempat dimana loker yang harus kubuka. Sebuah mesin penjual minum otomatis di sebelah loker menarik perhatianku. Sebelah tanganku mengeluarkan dua buah koin lalu memasukkannya ke dalam mesin. Tidak lama keluar sebuah minuman kaleng rasa jeruk dari kotak hitam di bagian bawah mesin. Tapi bukan minuman itu yang kucari melainkan sebuah kunci yang terletak pada lantai tempat minuman itu keluar. Ah, dapat! Eliyah memang jenius. Bisa-bisanya dia kepikiran untuk meletakkan kunci di sana. Tidak akan ada yang tau. Angka sebelas tertulis pada mainan kunci. Aku berjalan mendekati loker nomor sebelas. Memutar kunci dan kenop pintu kecil itu terbuka. Ada sebuah map dan
“Hm? Hanya kita berdua?” Jay bertanya santai saat Madam Bong ikut bergabung di meja makan pagi itu. Dia melihat seluruh kursi dibalik meja kosong lantas mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan hingga mendongak ke arah lantai dua. “Yang lain pada kemana?” “Aku juga tidak tau, mereka semua tidak ada di rumah saat aku ke kamar mereka pagi tadi?” “Benarkah?” Raut wajah Jay berubah kecewa. “Padahal aku bela belain untuk pulang, tapi ternyata mereka tidak ada di rumah. Keterlaluan sekali. Jinnie juga nginap di luar?” Madam Bong mengangguk. “Sepertinya dia pergi dengan Hwan ke suatu tempat. Aku melihat mereka keluar bersama kemarin siang,” tambah Madam Bong. Jay mengangguk pelan. Dia tidak heran karena semua orang di rumah juga tahu jika aku lebih sering pergi keluar dengan Hwan ketimbang Sam. Jadi tidak ada yang perlu di pertanyakan. “Bagaimana dengan Sam?” Madam Bong mengangkat bahu bersamaan dengan helaan nafas panjang. “Rum
Kami mampir di salah satu kedai tepi pantai terdekat. Kerang bakar sudah tercium dimana-mana. Katanya itu menu andalan mereka. Bahkan suasana kedai masih sangat ramai meski hari sudah mendekati tengah malam. Aku menatap jauh ke arah pantai yang gelap. Hanya menyisakan desiran ombak yang menggulung dalam malam pekat. “Ayahku..” kataku pelan dengan suara yang agak bergetar. Ini pertama kalinya aku membahas tentang keluargaku dalam tiga tahun terakhir. Hwan melipat tangan di meja. Dia menatapku dengan saksama. Mendengarkan dengan setia. “Aku punya banyak penyesalan terhadapnya. Mengapa begitu tega meninggalkanku seorang diri di sini. Jahat sekali,” desisku lagi. Kali ini mengambil seteguk soju yang baru saja dihidangkan oleh pelayan kedai. Aku sempat memberikan seulas senyum sebagai ucapan terima kasih tepat sebelum dia meninggalkan meja kami. “Apa sekarang kita bukan lagi orang asing? Karena kau mulai menceritakan tentan
Hwan berjalan mantap mendekati meja makan. “Sekali lagi kau bicara kasar padanya, aku tidak akan tinggal diam.” “Ho..hoo.hoo,” balas Sam menyeringai sambil mengangkat kedua tangan. “Aku lupa. Sekarang kau sudah berlagak menjadi pahlawan untuknya karena sudah berstatus tunangan? Sorry aku lupa padahal baru kemarin.” Sam menurunkan kedua tangan. Dia melanjutkan menyusun sendok di atas meja. “Mari kita lihat berapa lama sandiwaramu itu akan bertahan,” gumam Sam pelan. “Kau tidak bisa menutup mulutmu itu, huh?” Hwan semakin naik pitam. Sam mengedikkan bahunya tak peduli. Dia terus sibuk menyusun sendok di atas meja. “Awas, awas, panas.” Madam Bong bergerak cepat membawa satu mangkuk besar sup panas ke atas meja makan. Memecah suasana tegang di langit-langit meja makan. “Ayo semuanya duduk. Kita makan bersama.” “Selera makanku sudah hilang. Kalian makan saja tanpaku.” Sam meninggalkan meja makan dengan wajah sombongnya itu. Dia ma
Pagi itu Sam berlari menuruni anak tangga. Melewati dapur dan menyempatkan diri menyapa Madam Bong yang sudah sibuk di dapur. Ya. Pagi itu Madam Bong juga seorang diri. Tak seperti biasanya yang selalu bersamaku saat menyiapkan sarapan. Madam Bong hanya bisa berteriak mengatakan hati-hati pada Sam yang sudah tiba di ujung pintu. Entah apa yang membuatnya sangat terburu-buru pagi itu. Begitu pula dengan mobil Sam yang melaju kencang meninggalkan kepul asap di belakang. Tangannya lincah memutar stir mobil, berbelok menuju sebuah rumah yang sudah menjadi tujuannya setelah terbangun dari kamarku. “Aku mau bertemu dengan Kakek,” kata Sam pada Em dengan memasang wajah sangar. Merah padam. Saking tidak sabarnya, Sam langsung mendorong pintu kamar Kakek Chu hingga pintu terhempas keras. Kakek Chu yang tengah menyesap kopinya tampak agak terkejut karena cangkir di tangannya agak bergetar. Bahkan kini Sam sudah berdiri tepat di hadapannya. Em hany
“Ini tidak seperti yang kau lihat,” jelasku mengikuti Hwan hingga ke dalam kamar. Sementara kami mengabaikan Sam yang sudah lebih dulu berjalan acuh tak acuh menuju kamarnya sendiri. “Aku tahu,” balas Hwan santai sambil berjalan mendekati tempat tidur lantas melemparkan ponsel sembarangan di atasnya. “Lalu?” “Apanya yang lalu?” Hwan beranjak duduk dan mulai melonggarkan kancing lengan bajunya. “Tidak, aku hanya takut kau berpikiran yang tidak-tidak,” kataku salah tingkah dengan sebelah tangan terangkat memegang belakang kepala. Hwan menyeringai. “Kau khawatir aku salah paham?” “Aku? Padamu? Oh, tentu tidak.. jangan kepedean dulu,” sahutku lagi sambil melambaikan kedua tangan. Berusaha membantah. Untunglah Hwan terus sibuk dengan lengan bajunya sehingga tak melihat ke arahku. Karena kini aku bisa merasakan getaran panas yang menjalar di kedua pipi dan telinga. Astaga, apa ini yang di namakan salah tingkah?