Markus tersenyum puas dan mengikuti langkah pria yang kini berjalan menuju ruang pertemuan bukan lagi sebagai Nio Alenka, pria yang penuh luka dan cinta… tapi sebagai Ethan, bayangan masa lalu yang kini kembali hidup.
***Langkah-langkah tegas Nio memasuki pusat kota siang itu menarik perhatian banyak pasang mata. Restoran kelas atas yang terletak di sudut jalan utama tampak elegan dengan fasad kaca dan ornamen marmer, namun kehadiran rombongan pria berbadan tegap yang mengiringi satu sosok utama membuat suasana menjadi lebih mencolok dari biasanya.Pintu restoran terbuka otomatis, membiarkan Nio dengan jas hitam ramping dan kemeja merah menyala melangkah masuk dengan tenang. Sorot mata beberapa pengunjung langsung tertuju padanya, terkejut sekaligus penasaran dengan kemunculan yang tidak biasa itu. Para pengawal berpakaian gelap mengatur perimeter dengan sikap waspada, membentuk formasi tanpa mengganggu para tamu lainnya.Nio menoleh sedikit keSunyi mengisi ruang di antara mereka selama beberapa detik.“Dan sekarang?” tanya Ruby lirih.“Sekarang aku tak mau sembunyi lagi. Tapi aku juga tidak bisa langsung kembali. Ada hal-hal yang harus selesai. Termasuk urusan dengan Sarah.”Ruby memandangi wajah Nio yang diterangi lampu dasbor. Dia ingin percaya. Dia ingin semuanya bisa kembali seperti dulu, tapi dia tahu segalanya telah berubah.Akan tetapi, untuk malam ini, berada di samping Nio saja sudah cukup.Dia bersandar pada kursi, menatap jalan yang terus melaju ke depan.“Kalau begitu,” katanya lembut, “antar aku ke rumahmu.”*** Mobil berhenti perlahan di depan sebuah rumah bergaya Jepang modern yang berdiri tenang di balik deretan pohon kamper yang rapi. Rumah itu tidak terlalu besar, tetapi tampak kokoh dan terjaga. Taman mungil dengan batu dan pohon bonsai menyambut mereka dengan kesunyian yang elegan.Ruby turun lebih dulu, memandang sekeli
Gerry menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil melirik jam tangannya. Sudah hampir lima belas menit sejak Ruby dan Nio keluar dari meja makan dengan alasan menuju toilet. Hidangan penutup sudah disajikan, tetapi tak seorang pun menyentuhnya.Sarah mengerucutkan bibirnya, memainkan sendok pencuci mulut dengan gelisah. “Lama sekali mereka,” gumamnya.Tepat saat itu, ponsel Gerry bergetar. Dia mengambilnya dengan malas, lalu tertawa kecil begitu membaca pesan yang baru saja masuk.“Apa?” tanya Sarah cepat, menoleh penuh curiga.Gerry mengangkat ponselnya, menunjukkan layarnya ke arah Sarah. “Ruby. Dia bilang, [Maaf, aku harus pulang lebih dulu. Tidak sempat pamit. Terima kasih untuk malam ini.]”Tawanya makin menjadi, seperti menyaksikan lelucon yang hanya dia sendiri yang mengerti.Sarah memandang layar itu dengan ekspresi tak percaya. Alisnya menegang, garis rahangnya mengeras. “Dia pulang?” ulangnya, suaranya penuh nada din
Lorong menuju toilet cukup sepi, dengan cahaya lampu redup dan aroma bunga kering dari vas di sudutnya. Ruby baru saja hendak menyentuh gagang pintu saat suara langkah cepat terdengar di belakangnya.Nio tiba-tiba meraih pergelangan tangannya dan menariknya menjauh dari pintu toilet, ke sudut dinding yang lebih tersembunyi.“Hei, apa yang kau—” Suara Ruby tertahan ketika Nio menatapnya tajam, jarak mereka kini terlalu dekat.“Apa yang sedang kau lakukan, Ruby?” bisik Nio, suaranya rendah, tetapi menekan, nyaris seperti desakan yang menyimpan amarah.Ruby menepis tangannya, tetapi tak langsung menjauh. “Aku sedang makan malam. Menjaga hubungan baik untuk masa depan bisnis. Atau kau punya definisi lain tentang itu?”“Menerima penawaran Sarah bukan bagian dari itu,” ujar Nio dengan rahang mengeras. “Kau tahu siapa dia. Kenapa kau melibatkan dirimu?”Ruby menatapnya, tak kalah tajam. “Dan kau pikir aku akan diam saja melihatmu berjal
Ruby tidak menjawab. Matanya justru menatap ke arah Nio yang masih diam, seperti patung yang disengaja diletakkan di sana. Seolah tak satu pun percakapan itu menyentuhnya. Sarah menyadari arah tatapan Ruby, lalu tersenyum manis. “Ethan memang begitu kalau sedang lapar. Nggak akan buka suara sebelum makanan datang.” Ia menoleh ke Nio dan menepuk bahunya pelan. “Sayang, kamu belum bilang apa pun sejak duduk. Semua baik-baik saja?”Nio mendongak, hanya sebentar. “Ya. Aku cuma lapar.” Gerry ikut tertawa kecil. “Aku jadi penasaran, Sarah. Bagaimana awalnya kamu bisa ketemu Ethan? Kalian terlihat sangat dekat.” Ruby meremas garpu di tangannya tanpa sadar. Sarah tak melewatkan itu. “Kami bertemu di sebuah gala investasi di Berlin. Awalnya aku tidak mengenali dia, karena dia cukup misterius. Tapi setelah bicara sebentar, aku tahu dia bukan pria biasa.” “Wah.” Gerry mengangguk. “Ethan memang bukan pria b
Ruby menatap Gerry, matanya bergetar. “Ini bukan soal siapa yang ada, Gerry. Ini tentang siapa yang benar-benar kumau.” “Dan kau masih mau pria yang bahkan tak cukup mencintaimu untuk mengucapkan selamat tinggal?” sindir Gerry. Ruby mengalihkan pandangan, menatap ke luar jendela, ke arah kota yang mulai gemerlap. Hatinya terasa sesak. Ia tahu kata-kata Gerry menyakitkan, tapi sebagian darinya juga tahu itu benar. Namun, bagian terdalam dalam dirinya tetap yakin, Nio tidak pergi begitu saja. Nio pasti punya alasan. “Apa yang akan kau lakukan jika dia kembali?” tanya Gerry setelah keheningan panjang. Ruby menoleh. Matanya tajam, menyala. “Aku akan memeluknya. Memaafkannya. Dan memberinya alasan untuk tetap tinggal.” Gerry menahan napas. “Dan bagaimana kalau dia tidak pernah kembali?” Ruby bangkit dari duduknya. “Kalau dia tidak kembali, maka aku akan menunggu sampai aku benar-benar
Pintu kayu tua itu terbuka perlahan. Di baliknya, ruangan kecil yang dipenuhi rak buku dan peta-peta tua menyambut kedatangan Nio. Aroma kopi hangat dan debu memenuhi udara. Markus duduk di kursi rotan dekat jendela, meminum secangkir teh dengan tenang. Ia menoleh, tatapannya tajam dan penuh tanya.“Kau akhirnya kembali,” ucap Markus tanpa basa-basi, meletakkan cangkirnya di meja.Nio melempar jasnya ke sandaran sofa dan duduk di hadapan Markus. Ia menghembuskan napas panjang, menyandarkan tubuh ke kursi. Sekilas, wajahnya terlihat lelah. Bekas pertemuan dengan Ruby masih membekas jelas di pikirannya. Pelukannya. Isaknya. Tatapannya. Semuanya menusuk seperti belati.Markus menatapnya tajam. “Apa yang akan kau lakukan sekarang?”Butuh beberapa detik sebelum Ethan menjawab. “Belum saatnya.”Markus mengernyit. “Kau yakin? Waktumu tidak banyak. Sarah sudah menyusup terlalu dalam, dan—”“Aku tahu.” Ethan memotong, suaranya tenang tapi tegas. “Tapi kalau aku bergerak sekarang, semuanya bisa