Markus menunduk kembali, menahan komentar yang tak perlu. Nio tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, dan ada nada kekaguman dalam suaranya barusan.
“Dia selalu bisa diandalkan. Bahkan saat aku menghilang dan menghancurkan semuanya… dia masih bisa menyelamatkan apa yang aku tinggalkan.”Markus menatap sosok di hadapannya dengan penuh hormat, namun juga khawatir. Ia tahu, hati tuannya kini terbelah dua antara masa lalu yang kembali hidup… dan masa kini yang perlahan menjauh.Langkah kaki seseorang terdengar mendekat ke ruang kerja. Seorang pria muda berpakaian hitam, salah satu asisten pribadi Markus, membungkuk hormat lalu berbisik pelan ke telinga Markus. Ekspresi Markus berubah serius. Ia segera mengangguk, lalu menoleh ke arah Nio yang masih berdiri di dekat jendela dengan mata menerawang.“Tuan Ethan…” panggil Markus dengan nada pelan namun tegas.Nio menoleh perlahan. Sebelum Markus sempat menjelaskan, ponsel milik Nio yang tergelRuby tidak menjawab. Matanya justru menatap ke arah Nio yang masih diam, seperti patung yang disengaja diletakkan di sana. Seolah tak satu pun percakapan itu menyentuhnya. Sarah menyadari arah tatapan Ruby, lalu tersenyum manis. “Ethan memang begitu kalau sedang lapar. Nggak akan buka suara sebelum makanan datang.” Ia menoleh ke Nio dan menepuk bahunya pelan. “Sayang, kamu belum bilang apa pun sejak duduk. Semua baik-baik saja?”Nio mendongak, hanya sebentar. “Ya. Aku cuma lapar.” Gerry ikut tertawa kecil. “Aku jadi penasaran, Sarah. Bagaimana awalnya kamu bisa ketemu Ethan? Kalian terlihat sangat dekat.” Ruby meremas garpu di tangannya tanpa sadar. Sarah tak melewatkan itu. “Kami bertemu di sebuah gala investasi di Berlin. Awalnya aku tidak mengenali dia, karena dia cukup misterius. Tapi setelah bicara sebentar, aku tahu dia bukan pria biasa.” “Wah.” Gerry mengangguk. “Ethan memang bukan pria b
Ruby menatap Gerry, matanya bergetar. “Ini bukan soal siapa yang ada, Gerry. Ini tentang siapa yang benar-benar kumau.” “Dan kau masih mau pria yang bahkan tak cukup mencintaimu untuk mengucapkan selamat tinggal?” sindir Gerry. Ruby mengalihkan pandangan, menatap ke luar jendela, ke arah kota yang mulai gemerlap. Hatinya terasa sesak. Ia tahu kata-kata Gerry menyakitkan, tapi sebagian darinya juga tahu itu benar. Namun, bagian terdalam dalam dirinya tetap yakin, Nio tidak pergi begitu saja. Nio pasti punya alasan. “Apa yang akan kau lakukan jika dia kembali?” tanya Gerry setelah keheningan panjang. Ruby menoleh. Matanya tajam, menyala. “Aku akan memeluknya. Memaafkannya. Dan memberinya alasan untuk tetap tinggal.” Gerry menahan napas. “Dan bagaimana kalau dia tidak pernah kembali?” Ruby bangkit dari duduknya. “Kalau dia tidak kembali, maka aku akan menunggu sampai aku benar-benar
Pintu kayu tua itu terbuka perlahan. Di baliknya, ruangan kecil yang dipenuhi rak buku dan peta-peta tua menyambut kedatangan Nio. Aroma kopi hangat dan debu memenuhi udara. Markus duduk di kursi rotan dekat jendela, meminum secangkir teh dengan tenang. Ia menoleh, tatapannya tajam dan penuh tanya.“Kau akhirnya kembali,” ucap Markus tanpa basa-basi, meletakkan cangkirnya di meja.Nio melempar jasnya ke sandaran sofa dan duduk di hadapan Markus. Ia menghembuskan napas panjang, menyandarkan tubuh ke kursi. Sekilas, wajahnya terlihat lelah. Bekas pertemuan dengan Ruby masih membekas jelas di pikirannya. Pelukannya. Isaknya. Tatapannya. Semuanya menusuk seperti belati.Markus menatapnya tajam. “Apa yang akan kau lakukan sekarang?”Butuh beberapa detik sebelum Ethan menjawab. “Belum saatnya.”Markus mengernyit. “Kau yakin? Waktumu tidak banyak. Sarah sudah menyusup terlalu dalam, dan—”“Aku tahu.” Ethan memotong, suaranya tenang tapi tegas. “Tapi kalau aku bergerak sekarang, semuanya bisa
Namun, tak ada jawaban langsung. Hanya keheningan sebentar, lalu suara ayahnya terdengar lagi, kali ini lebih dingin. “Pulanglah, Ruby. Kita perlu bicara.”Sambungan pun terputus tanpa penjelasan lebih lanjut. Ruby menatap ponselnya beberapa saat, dadanya terasa semakin berat. Jika ayahnya sampai menghubungi langsung, itu berarti serius. Dan Ruby tahu, penundaan tak akan bisa menjadi alasan kali ini.Dengan napas berat, ia bangkit dari kursi, matanya masih menyiratkan kebingungan dan kegelisahan yang baru.Ada sesuatu yang menunggunya di rumah. Dan ia hanya bisa berharap… itu bukan sesuatu yang akan membuat segalanya lebih rumit dari yang sudah ada.*** Malam itu langit terlihat kelabu, seakan-akan meramalkan badai yang akan datang. Ruby membuka gerbang rumah besarnya dengan perasaan tak tenang. Lampu-lampu taman menyala redup, tapi suasana di dalam rumah tampak lebih muram dari biasanya.Begitu Ruby membuka pintu utama, aroma obat d
“Suaminya Bu Ruby? Itu…Tuan Nio Alenka?” sahut temannya, suara bergetar karena tak percaya.Mereka hanya bisa saling pandang. Tak lama, seorang staf senior yang mengenali wajah Nio dari foto-foto masa lalu juga ikut terdiam, matanya menyipit tajam. Di pikirannya, satu pertanyaan langsung membara, “Apakah Tuan Nio kembali? Tapi… siapa wanita itu?”Gosip mulai merambat seperti api kecil yang menyentuh kayu kering. Di antara para pegawai, bisik-bisik mulai terdengar.“Jangan-jangan… dia kembali diam-diam dan selingkuh?”“Kalau benar itu Tuan Nio… kenapa Nona Ruby tidak bilang apa-apa?”“Dia gandengan tangan dengan perempuan lain.”Di tengah desas-desus itu, Nio dan Sarah tetap melangkah keluar tanpa sadar telah menyalakan percikan kecil yang bisa berubah menjadi kobaran besar. Nio hanya ingin cepat keluar dari gedung itu. Namun langkahnya terasa berat, karena ia tahu… kebohongan ini hanya akan bertambah dalam.Dan ia juga t
Langkah mereka cepat dan diam. Ketika pintu ruangan terbuka kembali, Ruby sedang berdiri membelakangi jendela, cahaya matahari menyinari sebagian wajahnya yang tampak tenang tapi juga menyimpan banyak gejolak. Punggungnya tegak, namun tangannya mengepal erat.Saat pintu menutup kembali, hanya ada mereka berdua di ruangan itu dan udara yang mendadak terasa berat.Nio berdiri mematung beberapa langkah dari meja, lalu berkata pelan, “Kau memanggilku?”Ruby berbalik perlahan, menatapnya penuh. “Aku cuma ingin tahu,” suaranya lirih tapi menusuk, “kebenaran apa yang kau sembunyikan di balik nama Ethan Zaferino.”Nio mengerutkan alis, berpura-pura tak paham. “Maksud Anda apa, Nona Ruby? Saya hanya ingin tahu… barang apa yang tertinggal?”Ruby menatapnya dengan luka yang dalam, lalu membuka laci meja di sampingnya. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berbalut kertas biru laut, dengan pita yang sedikit lusuh seolah telah lama disimpan tanpa pernah