Sarah membalas dengan senyum manis yang menyimpan ribuan lapisan makna. “Aku tidak sabar untuk bertemu partner baruku dalam proyek besar ini.”Nio duduk di samping Ruby, bukan Sarah, membuat wanita itu sempat menahan geram sejenak. Ruby memperhatikan gerakan itu, lalu menoleh ke arah Nio, matanya sejenak melunak.“Minum dulu,” ujar Ruby sambil menyodorkan teh.Nio menerima cangkir itu dan mengangguk. “Terima kasih.”Sarah duduk di sisi seberang, menyilangkan kaki dengan elegan. “Baiklah, sebelum kita membicarakan detail proyek, aku ingin tahu bagaimana sistem kerja yang Ruby bayangkan. Aku tidak ingin menaruh uang di tempat yang tidak stabil.”Ruby mengangguk, membalik beberapa lembar dokumen. “Tentu. Tapi aku juga tidak akan membiarkan siapapun mencampuri struktur perusahaan ini sesuka hatinya. Kalau kau berinvestasi, kau hanya akan duduk sebagai pendukung, bukan pemegang kendali.”Suara Ruby tenang, tapi tegas. Aura kepemimpina
Sarah menatap balik. “Dan kau tahu betul maksudku, Ethan. Aku ingin Ruby dalam jangkauan. Aku tidak suka kehilangan kendali. Kau tahu betapa aku membenci kejutan.”Nio mengepal tangannya, tapi tak berkata apa-apa. Ia tahu, apapun yang akan terjadi, Sarah tidak akan mundur.“Kau akan ikut denganku,” ucap Sarah mantap, seolah memberi perintah. “Sekarang kita temui Ruby. Dan kita pastikan semuanya berjalan... sesuai rencanaku.”Nio menatap wanita itu dalam-dalam, menimbang sesuatu di pikirannya. Tapi satu hal pasti ia harus melindungi Ruby, bahkan jika itu berarti harus berjalan beriringan dengan musuhnya.***Mobil hitam dengan kaca gelap meluncur mulus di jalanan kota pagi itu. Di dalamnya, suasana terasa lebih dingin dibandingkan udara luar yang disinari mentari. Sarah duduk di kursi belakang dengan anggun, mengenakan setelan hitam elegan dan kacamata hitam yang menutupi separuh wajahnya. Di sampingnya, Nio duduk diam, pandangannya lurus
Kantor itu tampak sepi saat Nio masuk. Langkah kakinya bergema di lantai marmer yang mengkilap. Lampu-lampu gantung bergaya minimalis menggantung di langit-langit tinggi, menciptakan suasana yang dingin dan steril. Di tengah ruangan luas itu, pintu kaca buram tampak setengah terbuka. Nio mendorongnya perlahan dan melangkah masuk.“Sarah?” panggilnya, matanya menyapu ruangan yang tertata rapi tapi kosong.Tiba-tiba, dari balik tirai, Sarah muncul dengan kilat tajam di matanya dan di tangannya, sebuah pisau berkilat meluncur cepat ke arah Nio. Refleks, Nio menangkis dengan lengannya, tapi serangan lanjutan datang tanpa jeda. Sarah menyerang dengan kecepatan dan presisi seperti seorang pemburu yang sangat mengenal mangsanya.Nio mundur selangkah, mencoba menghindar, tapi Sarah berhasil menyudutkannya ke tembok. Pisau dingin kini menempel di lehernya, nyaris menggores kulit.“Masih bisa bertarung rupanya,” bisik Sarah dengan senyum miring. Napasnya pendek tapi terkendali. “Kau belum kehil
Ruby tertawa, dan meski ia tahu hari itu mungkin akan kembali membawa mereka pada rencana, bahaya, dan keputusan penting pagi ini milik mereka.Nio masih memeluk Ruby erat ketika suara getaran ponsel di atas nakas mengusik ketenangan pagi mereka. Getaran itu pelan, tapi cukup mengganggu keheningan yang damai. Ruby memejamkan mata lebih erat, berharap suara itu hanya bayangan. Tapi detik berikutnya, bunyi itu terdengar lagi. Lebih keras.Nio mendesah, kepalanya masih terbenam di lekuk leher Ruby. “Jangan sekarang.”Ruby membuka matanya perlahan. “Angkat saja,” ujarnya lembut. “Mungkin penting.”Nio mengangkat wajahnya sedikit, menatap Ruby seolah berharap ia akan berubah pikiran. Tapi Ruby hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan. Dengan enggan, Nio bangkit, duduk di tepi ranjang, dan mengambil ponselnya.Nama yang tertera di layar membuat rahangnya mengencang, Sarah.Ia sempat ragu. Jari-jarinya melayang di atas layar ponsel ta
Ruby tertawa pelan, napasnya berembun. Tapi tawa itu segera lenyap saat Nio membungkuk dan mengangkat tubuhnya perlahan, membawanya ke arah ranjang. Ia meletakkan Ruby dengan hati-hati, seolah wanita itu adalah sesuatu yang terlalu berharga untuk dijatuhkan begitu saja.Cahaya lampu redup menyelimuti mereka, menciptakan bayangan hangat di dinding ruangan. Nio menyusul Ruby di atas ranjang, dan mereka saling menatap dalam diam yang penuh makna. Tangan mereka saling menggenggam, seolah tak ingin melepaskan lagi. Tak ada lagi jarak. Tak ada lagi keraguan.Nio kembali mencium Ruby lebih panas dari sebelumnya, tangan Ruby memeluk punggung lebar Nio yang mulai melepaskan pakaiannya. Tangan besar itu bahkan dengan berani melepaskan kancing-kancing blouse yang Ruby kenakan.Mata mereka bertemu dalam kerinduan yang dalam, Nio kembali mencium bibir Ruby dalam penyatuan yang hangat dan penuh dengan perasaan. Ruby membiarkan Nio menguasai tubuhnya. Kerinduan yang suda
Ruby hanya bisa menatap Nio dengan campuran marah, sedih, dan ngeri. “Kau seharusnya memberitahuku.”“Aku tidak bisa,” Nio menatapnya. “Jika Sarah tahu siapa orang terdekatku, dia akan menggunakan mereka untuk menyakitiku. Dan kau… adalah kelemahanku yang paling nyata.”Air mata mengalir di pipi Ruby, tak tertahankan. “Dan sekarang? Dia kembali. Duduk di sebelahmu, tertawa seperti tak pernah terjadi apa-apa.”Nio mengepalkan tangannya. “Aku membiarkannya dekat hanya untuk mengetahui rencananya. Tapi aku tak sanggup melihatnya bersamamu dalam satu ruangan. Aku… takut kau akan menjadi target selanjutnya.”Ruby menggeleng, air matanya semakin deras. “Lalu kenapa malam ini? Kenapa kau kembali sekarang?”“Karena aku tak bisa lagi menjauh darimu,” bisik Nio. “Dan aku janji, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu. Termasuk Sarah.”Ruby menatap Nio, matanya bergetar. Ada ketakutan, tapi juga kepercayaan yang perlahan kembali tum