Home / Romansa / Rahasia Hati Mafia Dingin / RHMD 2 Kehidupan Baru

Share

RHMD 2 Kehidupan Baru

Author: Ziya_Khan21
last update Last Updated: 2025-05-03 00:12:44

Kini Ruby mengikuti pria asing itu menuruni jalanan gelap menuju bangunan tua yang belum selesai dibangun. Di pojok bangunan, ada ruangan kecil beratap seng, disulap menjadi tempat tinggal sementara. Penerangannya hanya satu lampu bohlam kuning yang tergantung di tengah ruangan, menggantung miring.

Nio membuka pintu kayu lapuk itu tanpa berkata apa-apa. Ruby ragu beberapa detik sebelum akhirnya masuk. Udara dingin langsung menyambutnya. Di dalam, hanya ada satu kasur tipis di atas lantai semen, satu meja kecil, dan termos tua di pojok ruangan.

"Maaf, cuma ini yang kupunya," gumam Nio singkat sambil berjalan ke termos. Dia menuangkan air panas ke dua cangkir kaleng penyok, lalu mengambil kantung teh dari dalam kotak sepatu bekas.

Ruby duduk di pojok kasur, memeluk lututnya. “Kasurnya tipis ya,” ucapnya pelan, mencoba mencairkan suasana.

Nio hanya mengangguk, lalu menyodorkan satu cangkir teh ke arah Ruby. "Hangatkan badanmu."

Ruby menerimanya dengan tangan gemetar, bukan karena takut, tetapi karena semua terasa terlalu cepat. Malam ini terlalu aneh. Dia menatap cangkir di tangannya, menghirup aroma teh yang sederhana, tetapi menenangkan.

"Terima kasih," katanya lirih.

Nio duduk di lantai, bersandar ke tembok. Matanya menatap lurus ke arah pintu, berjaga seolah-olah bahaya masih mengintai di luar sana. Dia tidak bicara. Hanya diam. Dingin, seperti bayangan yang berjalan di malam hari.

Ruby menatapnya dari atas cangkir. "Aku ... Ruby. Zhen Ruby Ashaki."

Tak ada respons.

"Aku pulang agak larut, dan lewat jalan pintas ... lalu dua orang itu—"

Dia berhenti. Pandangannya menunduk. Suaranya turun, lebih pelan. "Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana kalau Kau tidak datang."

Masih tidak ada jawaban dari Nio.

Ruby tertawa kecil, kaku. “Kau selalu sesenyap ini, ya?”

Nio mengalihkan pandangannya ke jendela kecil di pojok ruangan. Hujan masih belum berhenti.

Begitu Ruby selesai menyesap tegukan terakhir tehnya, Nio berdiri.

“Kau boleh tidur di kasurku malam ini,” katanya datar. “Aku akan keluar sebentar.”

Ruby memandangnya dengan bingung. “Kau mau ke mana?”

Nio tidak menjawab. Dia hanya membuka pintu, membiarkan suara hujan menyusup ke dalam ruangan.

Sebelum melangkah keluar, dia berkata tanpa menoleh, “Tidurlah. Kau aman di sini.”

Lalu pintu tertutup kembali, menyisakan aroma teh, kasur tipis, dan bayangan seorang pria asing yang semakin membingungkan.

***

Fajar baru saja mengusir gelap malam, sinar lembut matahari menyusup masuk melalui celah-celah dinding kayu lapuk. Ruby terbangun dengan tubuh kaku dan kepala berat. Kasur tipis itu tidak menawarkan kenyamanan, tetapi malam itu, dia terlalu lelah untuk peduli. Dia duduk perlahan, membiarkan matanya menyesuaikan diri dengan cahaya yang mulai mengisi ruangan kecil itu.

Suasana di dalam tempat itu masih sama sunyinya seperti semalam. Hujan sudah reda, meninggalkan aroma tanah basah yang memenuhi udara. Ruby mengedarkan pandangannya, mencari sosok Nio. Namun ruangan itu kosong. Hanya meja kecil dengan cangkir-cangkir teh bekas semalam dan termos yang kini dingin tanpa isi.

Ruby berdiri, membenahi rambut kusutnya dengan jari-jari, lalu melangkah ke luar. Dia memandang ke sekitar, berharap menemukan pria itu di dekat bangunan, mungkin di sudut lain tempat ini. akan tetapi, tidak ada siapa-siapa. Bangunan tua itu hanya dipenuhi dengan tiang-tiang beton dan suara angin yang berhembus pelan.

Dia berjalan menyusuri jalan tanah becek di sekitar bangunan, memanggil dengan suara pelan, "Nio ...." Namun, hanya gema suaranya sendiri yang menjawab.

Setelah beberapa lama mencari dan tidak menemukan siapa pun, Ruby akhirnya menyerah. Dia sadar bahwa dia tidak bisa berlama-lama di sini. Hidupnya tetap harus berjalan, dan dunia di luar sana menunggunya. Dengan langkah berat, dia meninggalkan bangunan tua itu, sesekali menoleh ke belakang, seolah-olah berharap melihat sosok tinggi dengan jaket lusuh itu muncul dari balik bayang-bayang.

Lima menit kemudian, langkah kaki pelan terdengar menapaki lantai kayu tua bangunan proyek. Nio berjalan tenang, satu tangan menggenggam kantong plastik berisi dua bungkus roti kukus dan sebotol kecil susu kedelai. Sederhana, tetapi cukup untuk mengawali hari.

Dia mendorong pintu tempat tinggal sementaranya, dan begitu masuk, kosong.

Kasur tipisnya masih tergulung rapi. Selimut yang semalam dipakai Ruby telah dilipat dan diletakkan di pojok. Cangkir teh kosong sudah dibersihkan dan diletakkan kembali ke meja kecil. Tidak ada jejak Ruby, tidak ada secarik pesan. Hanya keheningan yang menyambutnya.

Nio berdiri diam sejenak. Tatapannya mengamati ruangan. Tidak ada ekspresi kecewa. Tidak ada pertanyaan. Dia hanya menarik napas dalam dan meletakkan sarapan di meja. Lalu melihat secarik kartu nama milik Ruby. Nio hanya menatapnya dengan datar. Entah apa yang dia pikirkan.

***

Langkah Ruby terasa berat saat memasuki rumah mewahnya. Udara pagi masih dingin, tetapi pikirannya jauh lebih kacau dari kabut yang menyelimuti Macau. Semalaman dia tidur di ruangan asing, diselamatkan oleh pria yang tidak dia kenal dan kini, saat semua terasa terlalu rumit, satu-satunya tempat yang terlintas di pikirannya adalah rumah.

Akan tetapi begitu pintu rumah terbuka, dia langsung tahu ada yang tidak biasa.

Sepatu kulit mahal berjajar di depan pintu. Suara ayahnya terdengar dari ruang tamu, bercampur dengan tawa basa-basi yang aneh. Ruby melangkah pelan, meletakkan tasnya di meja dekat pintu dan menoleh ke dalam.

Di sana, duduklah seorang pria muda, rapi, dengan setelan biru tua dan jam tangan mengilap di pergelangan tangan kiri. Dia tersenyum sopan, duduk tegak di sofa favorit ayah Ruby. Ibunya duduk di sisi lain, tersenyum canggung, sementara sang ayah berdiri dengan tangan disilangkan di dada.

Begitu melihat Ruby, wajah ayahnya langsung berubah.

"Ruby! Dari mana saja Kau semalam?" suara ayahnya berat, penuh tuntutan.

Ruby membuka mulut, masih bingung harus mulai dari mana.

"Aku—"

“Tak penting,” potong ayahnya sebelum Ruby sempat menjelaskan. “Kita punya tamu penting pagi ini.”

Ruby menoleh pada pria asing itu. Pria itu berdiri, membungkuk sopan ke arahnya.

“Aku Gerry. Senang akhirnya bisa bertemu langsung,” ucapnya.

Ruby menatap ayahnya. “Ini ... siapa?”

Ayahnya menghela napas, seolah-olah penjelasan ini sudah seharusnya disambut bahagia. “Ini calon suamimu, Ruby. Gerry, anak dari sahabat lama Ayah. Kami sudah lama membicarakan ini. Dia pemuda terhormat, pekerja keras, punya masa depan. Tidak seperti laki-laki lain yang tidak jelas asal-usulnya.”

Ruby terdiam. Dadanya terasa sesak. Suara ibunya terdengar menenangkan, mencoba meredakan ketegangan, “Ayahmu hanya ingin yang terbaik. Kau sudah terlalu lama menunda-nunda ....”

Ruby menarik napas dalam-dalam. Dia ingin berteriak. Ingin bilang kalau semalam dia hampir mati. Ingin bilang bahwa ia diselamatkan oleh pria yang bahkan tidak tahu siapa dirinya, tetapi justru menyelamatkannya.

Namun, yang keluar dari mulutnya hanya suara pelan, hampir tak terdengar: “Ayah ... aku belum siap.”

“Siap atau tidak, perkenalan ini harus terjadi. Dan Ayah harap Kau bersikap dewasa.” Tatapan ayahnya tajam, tegas. Tidak memberi ruang untuk pembangkangan.

Ruby menatap pria di depannya. Gerry masih tersenyum, sopan, tapi dingin. Seolah pernikahan ini hanya proyek investasi.

Bersambung ..

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia Hati Mafia Dingin   RHMD 5 Pernikahan

    Suara mesin detak jantung terdengar stabil, ritmenya jauh lebih tenang daripada hari-hari sebelumnya. Nio duduk di sisi ranjang, memegang tangan keriput yang terasa hangat di genggamannya. Nenek Lina masih tampak lemah, namun matanya yang kini terbuka menyiratkan ketenangan."Kau sadar, Nek..." bisik Nio pelan, senyumnya muncul perlahan.Nenek Lina mengangguk lemah. Nio menggenggam tangan nenek itu lebih erat. "Terima kasih... karena tidak menyerah padaku." Suaranya serak, menahan emosi yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun sebelumnya.Beberapa menit kemudian, ia keluar dari kamar rumah sakit, menghela napas lega. Cahaya senja menyusup dari jendela lorong, dan di ujung sana, Ruby berdiri menunggu dengan tangan dilipat di depan dada."Siapa dia?" tanya Ruby pelan, nadanya datar tapi matanya lembut.Ruby mendekat, lalu bersandar ke dinding di samping Nio. "Kau bilang tidak punya keluarga? Dengar, meski pun Kau bersedia menikah denganku untuk biaya operasi itu... Tapi aku juga buk

  • Rahasia Hati Mafia Dingin   RHMD 4 Dilema

    Garpu di tangan Nio berhenti di udara. Ia menoleh cepat, menatap Ruby seperti baru saja mendengar hal paling tidak masuk akal di dunia ini.“Apa?” Nio tersedak, buru-buru meneguk air.Ruby menatapnya serius. “Menikahlah denganku.”“Jangan bercanda.” Suara Nio terdengar berat, sedikit gugup, sedikit takut.“Aku tidak bercanda,” jawab Ruby datar, tak menurunkan tatapannya sedikit pun.Nio meletakkan garpunya, memandang Ruby lebih dalam. “Kau serius?”“Serius.”Hening sesaat.Ruby menarik napas. “Aku tanya satu hal. Apa Kau punya keluarga?”Nio menggeleng. “Tidak.”“Tinggal dengan siapa?”“Sendiri.”“Kau punya kekasih?”“Tidak.”“Punya istri?”“Tidak.”“Wanita yang Kau sukai?”Nio terdiam sejenak. Lalu, lagi-lagi, pelan, “Tidak.”Ruby tersenyum tipis. “Kalau begitu, bukankah bagus kalau kita menikah saja?”Nio terdiam. Tatapannya berpindah ke jendela, lalu ke piring, lalu kembali ke wajah Ruby yang menatapnya dengan campuran keberanian dan ketakutan. Tapi bukan takut ditolak lebih sepert

  • Rahasia Hati Mafia Dingin   RHMD 3 Menikahlah denganku

    Suasana kafe di pusat kota Macau seharusnya terasa hangat. Aroma kopi, suara alat penggiling biji yang berputar, dan obrolan pelan di tiap sudut ruangan membuat suasana ideal untuk dua orang yang sedang menjalin sesuatu.Tapi tidak untuk Ruby.Ia duduk di kursi kayu keras, kedua tangannya saling menggenggam di atas meja. Matanya mengarah ke luar jendela, menyaksikan orang-orang berlalu-lalang semua tampak bebas, semua kecuali dirinya.Gerry duduk di seberangnya, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung dan jam tangan mahal yang tak pernah lepas dari pergelangan tangannya. Di depannya, secangkir espresso yang nyaris tak disentuh.“Aku tahu Kau tidak suka ini,” ujar Gerry akhirnya, suaranya datar tapi tidak bermusuhan. “Dan jujur saja, aku juga tidak menginginkannya.”Ruby menoleh cepat. “Lalu kenapa Kau tetap di sini?”Gerry mengangkat bahu. “Karena aku tidak punya pilihan. Ini tentang keluarga. Tentang bisnis. Kau tahu sendiri bagaimana orang tua kita.”Ruby menghela napas, mem

  • Rahasia Hati Mafia Dingin   RHMD 2 Kehidupan Baru

    Kini Ruby mengikuti pria asing itu menuruni jalanan gelap menuju bangunan tua yang belum selesai dibangun. Di pojok bangunan, ada ruangan kecil beratap seng, disulap menjadi tempat tinggal sementara. Penerangannya hanya satu lampu bohlam kuning yang tergantung di tengah ruangan, menggantung miring. Nio membuka pintu kayu lapuk itu tanpa berkata apa-apa. Ruby ragu beberapa detik sebelum akhirnya masuk. Udara dingin langsung menyambutnya. Di dalam, hanya ada satu kasur tipis di atas lantai semen, satu meja kecil, dan termos tua di pojok ruangan. "Maaf, cuma ini yang kupunya," gumam Nio singkat sambil berjalan ke termos. Dia menuangkan air panas ke dua cangkir kaleng penyok, lalu mengambil kantung teh dari dalam kotak sepatu bekas. Ruby duduk di pojok kasur, memeluk lututnya. “Kasurnya tipis ya,” ucapnya pelan, mencoba mencairkan suasana. Nio hanya mengangguk, lalu menyodorkan satu cangkir teh ke arah Ruby. "Hangatkan badanmu." Ruby menerimanya dengan tangan gemetar, bukan karena ta

  • Rahasia Hati Mafia Dingin   RHMD 1 Siapa Aku?

    Di kota Macau, pada malam yang basah dan bergelombang oleh cahaya neon, seorang pria ditemukan terkapar di bawah teriknya lampu jalan dan hujan yang mengguyur dengan garang. Tubuhnya dipenuhi luka, darah mengalir dari pelipis, pergelangan tangan terkilir, dan tulang rusuk yang kemungkinan retak. Pria itu adalah Ethan Ellias Zaferino, nama yang bergema bagai lonceng kematian di dunia kriminal Asia. dia adalah pewaris keluarga mafia paling ditakuti, seseorang yang ditakdirkan untuk memegang kekuasaan lebih besar dari yang pernah dibayangkan. Namun malam itu, semua tentang dirinya, semua kejayaan dan kebengisan, terhapus begitu saja. Kecelakaan misterius atau mungkin pengkhianatan yang sudah lama disusun menghancurkan segalanya. Ketika matanya terbuka kembali dua minggu kemudian, dunia yang dikenalnya telah lenyap. Dia terbangun di sebuah kamar kecil dengan aroma kayu lapuk dan suara angin yang menggoyangkan jendela. Tidak ada nama yang terlintas di kepalanya. Tidak ada wajah yang t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status