Share

Rahasia Hati Mafia Dingin
Rahasia Hati Mafia Dingin
Author: Ziya_Khan21

RHMD 1 Siapa Aku?

Author: Ziya_Khan21
last update Last Updated: 2025-05-03 00:05:24

Di kota Macau, pada malam yang basah dan bergelombang oleh cahaya neon, seorang pria ditemukan terkapar di bawah teriknya lampu jalan dan hujan yang mengguyur dengan garang. Tubuhnya dipenuhi luka, darah mengalir dari pelipis, pergelangan tangan terkilir, dan tulang rusuk yang kemungkinan retak.

Pria itu adalah Ethan Ellias Zaferino, nama yang bergema bagai lonceng kematian di dunia kriminal Asia. dia adalah pewaris keluarga mafia paling ditakuti, seseorang yang ditakdirkan untuk memegang kekuasaan lebih besar dari yang pernah dibayangkan. Namun malam itu, semua tentang dirinya, semua kejayaan dan kebengisan, terhapus begitu saja.

Kecelakaan misterius atau mungkin pengkhianatan yang sudah lama disusun menghancurkan segalanya. Ketika matanya terbuka kembali dua minggu kemudian, dunia yang dikenalnya telah lenyap. Dia terbangun di sebuah kamar kecil dengan aroma kayu lapuk dan suara angin yang menggoyangkan jendela. Tidak ada nama yang terlintas di kepalanya. Tidak ada wajah yang teringat. Tidak ada tempat yang terasa seperti rumah. Dia bangkit dari koma tanpa identitas, tanpa masa lalu, hanya dengan kemampuan bertarung yang seolah tertanam dalam daging dan tulangnya, naluri yang tak bisa dijelaskan, bagaikan binatang liar yang tahu cara bertahan hidup bahkan tanpa ingatan.

Seorang wanita tua duduk di samping ranjang, menggenggam tangannya dengan penuh perhatian.

"Oh Tuhan, syukurlah," desah wanita itu lega, matanya berkaca-kaca. "Kau akhirnya sadar, Nak."

Pria itu mengerjap, mencoba berbicara, namun hanya suara serak yang keluar. Nenek itu buru-buru menuangkan air ke dalam gelas kecil dan menyentuh bibirnya perlahan.

"Pelan-pelan ... kau sudah tidur sangat lama."

Beberapa teguk kemudian, suara seraknya berubah menjadi bisikan.

"Di-di mana ... aku?"

"Kau di rumahku," jawab Nenek Lina lembut. "Aku menemukanmu di jalanan, malam saat hujan deras. Luka-lukamu parah sekali, Nak. Siapa namamu?"

Pria itu terdiam. Dia mencoba mencari dalam pikirannya, tetapi hanya kehampaan yang menjawab. Tidak ada nama. Tidak ada bayangan. Hanya gelap.

"Aku ... aku tidak tahu," katanya lemah, kebingungan merayapi wajahnya.

Nenek Lina menghela napas panjang, membelai rambut basah di dahinya. "Tidak apa-apa, Nak. Kadang, trauma membuat seseorang melupakan. Kau butuh waktu."

Wanita itu tersenyum tipis, berusaha menenangkannya.

"Kalau begitu," lanjutnya pelan, "dari mana asalmu? Siapa keluargamu? Mungkin kau ingat sesuatu?"

Pria itu menutup matanya sejenak, mengerutkan kening dalam usaha keras untuk mengingat. akan tetapi, yang ada hanya kekosongan. Tidak ada rumah, tidak ada suara orang tua, tidak ada satu pun potongan kenangan.

"Aku ... aku tidak ingat," bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada pada wanita itu.

Nenek Lina mengangguk, memahami.

"Kalau begitu," katanya sambil tersenyum hangat, "untuk sementara waktu, kau di sini saja. Kau butuh tempat untuk pulih. Dan butuh nama untuk dipanggil."

Nenek Lina menatap pria itu dengan penuh sayang, lalu mengangguk seolah membuat keputusan besar.

"Aku akan memanggilmu ... Nio, Nio Alenka," katanya sambil tertawa kecil.

Pria itu yang kini menjadi Nio hanya mengangguk lemah. Dalam hatinya, nama itu terasa asing. Nio memandang Nenek Lina di depannya dengan kebingungan dan rasa bersalah samar yang dia sendiri tidak mengerti. Tubuhnya masih terasa berat, tetapi dia berusaha duduk bersandar di ranjang tua itu.

Nenek Lina tersenyum kecil melihat usahanya.

"Aduh, pelan-pelan saja, Nak. Lukamu belum benar-benar sembuh," katanya lembut sambil membenarkan bantal di belakang punggungnya.

Nio menatap wajah keriput itu, begitu penuh kasih dan ketulusan, sesuatu yang anehnya membuat dadanya hangat.

"Aku ... aku merepotkanmu," bisiknya serak.

Nenek Lina menggeleng cepat, matanya penuh ketegasan.

"Jangan berkata begitu. Saat aku menemukamu, aku tahu kau butuh pertolongan. Tapi, maafkan aku, Nak..." Ia menarik napas panjang, seolah merasa sedikit bersalah. "Aku tidak punya cukup uang untuk membawamu ke rumah sakit."

Nio hanya diam, tidak tahu harus berkata apa.

"Tapi aku bersyukur," lanjutnya dengan suara pelan, tetapi penuh rasa syukur, "luka-lukamu tidak terlalu parah. Luka luar saja, memar dan beberapa sobekan. Aku bisa merawatmu di sin i... dengan obat seadanya."

Nenek Lina tersenyum, memperlihatkan giginya yang sudah mulai menipis.

"Kadang, Tuhan tidak membiarkan kita sendirian saat benar-benar butuh bantuan," kata Nenek Lina lagi sambil mengelus punggung tangan Nio dengan lembut.

Nio menatapnya. Ada sesuatu dalam cara wanita tua itu berbicara, kehangatan, ketulusan, dan kekuatan dalam kesederhanaan. Dia tidak tahu siapa dirinya, dari mana dia berasal, tapi saat itu, dia tahu satu hal kalau dia berutang nyawa kepada wanita ini.

Dengan sisa tenaga, Nio berbisik pelan.

"Terima kasih, Nenek ...."

Nenek Lina tertawa kecil, senang mendengar panggilan itu.

"Lina. Panggil Nenek Lina ya ... Kau istirahat saja dulu, Nak. Nenek akan membuatkan bubur lagi untukmu. Kau butuh banyak makan supaya cepat pulih," katanya sambil bangkit perlahan dari kursinya.

***

Enam bulan telah berlalu sejak hari itu. Tubuh Nio kini telah sepenuhnya pulih berkat perawatan penuh kasih dari Nenek Lina. Setiap harinya, dia bekerja sebagai buruh di sebuah proyek konstruksi di pinggiran kota Macau, menjalani kehidupan sederhana dan jujur, jauh dari ingatan masa lalunya yang masih terkubur dalam kabut tebal.

Suatu malam, saat sedang menyelesaikan pekerjaan lembur, Nio mendengar teriakan dari gang dekat lokasi pembangunan. Dia segera berlari ke sumber suara dan melihat seorang wanita muda dirampok oleh dua pria bertopeng.

"Rampok! Tolong! Tas saya!"

Nio menangkap pemandangan seorang wanita yang berusaha mengejar dua pria bertopeng yang membawa lari tasnya. Tanpa berpikir panjang, tubuh Nio bergerak, seolah-olah naluri lamanya yang tertidur kini terbangun dengan kekuatan penuh.

Nio berlari, menyusul para perampok dengan kecepatan mengejutkan untuk seorang buruh biasa. Ketika salah satu perampok menoleh dan mencoba mengayunkan pisau ke arahnya, Nio bergerak dengan kelincahan yang tak lazim. Dengan satu gerakan terlatih, dia menahan lengan penyerangnya, memelintirnya hingga terdengar suara retakan, membuat pisau itu terjatuh ke tanah.

Perampok kedua mencoba menyerangnya dari belakang, tetapi Nio seolah-olah sudah mengantisipasi. Dia berputar, menggunakan berat tubuhnya untuk menjatuhkan pria itu dengan teknik cekatan yang bahkan petarung profesional pun akan kagumi. Dalam hitungan detik, kedua perampok itu tergeletak di tanah, mengerang kesakitan.

Nio mengatur napasnya, menatap kedua pria itu dengan sorot mata dingin yang bahkan membuat mereka terlalu takut untuk bangkit kembali. Namun, mereka tetap memilih kabur.

Wanita itu, Ruby terengah, syok, tetapi tidak terluka. Dia menatap pria asing yang menyelamatkannya. “Siapa Kau? Bagaimana bisa Kau bertarung seperti itu?”

Nio hanya diam beberapa detik sebelum menjawab pelan, “Aku ... Nio. Hanya itu yang kutahu.”

“Ah begitu rupanya, tapi apa Kau baik-baik saja?” tanya Ruby khawatir. Nio hanya mengangguk dan berjalan meninggalkan tempat itu.

“Tunggu!” tiba-tiba Ruby berteriak menghentikan Nio.

“Kau mau ke mana? Apa Kau akan membiarkan aku berdiri di sini seorang diri? Bagaimana jika orang-orang itu kembali dan menyakitiku?” tanya Ruby panjang tanpa koma.

Nio berbalik dan berpikir sejenak. Lalu dia pun menjawab, “Hanya satu tempat yang aku tahu.”

Bersambung ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (27)
goodnovel comment avatar
Noviani Siregar
meski hilang ingatan sbg Ethan, tp jiwa Ethan di dlm Nio tetap ada.... naluri bertarung muncul secara otomatis....
goodnovel comment avatar
Ristiana Cakrawangsa
tetep jiwa mafianya keluarr yaaaa... semogaa tetep sama rubii yaaa
goodnovel comment avatar
Indri Irmayanti
ceriwisnya si Ruby wkwkwk, makasih dulu kek setidaknya. dasar women
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Rahasia Hati Mafia Dingin   RHMD 132

    Kantor itu tampak sepi saat Nio masuk. Langkah kakinya bergema di lantai marmer yang mengkilap. Lampu-lampu gantung bergaya minimalis menggantung di langit-langit tinggi, menciptakan suasana yang dingin dan steril. Di tengah ruangan luas itu, pintu kaca buram tampak setengah terbuka. Nio mendorongnya perlahan dan melangkah masuk.“Sarah?” panggilnya, matanya menyapu ruangan yang tertata rapi tapi kosong.Tiba-tiba, dari balik tirai, Sarah muncul dengan kilat tajam di matanya dan di tangannya, sebuah pisau berkilat meluncur cepat ke arah Nio. Refleks, Nio menangkis dengan lengannya, tapi serangan lanjutan datang tanpa jeda. Sarah menyerang dengan kecepatan dan presisi seperti seorang pemburu yang sangat mengenal mangsanya.Nio mundur selangkah, mencoba menghindar, tapi Sarah berhasil menyudutkannya ke tembok. Pisau dingin kini menempel di lehernya, nyaris menggores kulit.“Masih bisa bertarung rupanya,” bisik Sarah dengan senyum miring. Napasnya pendek tapi terkendali. “Kau belum kehil

  • Rahasia Hati Mafia Dingin   RHMD 131

    Ruby tertawa, dan meski ia tahu hari itu mungkin akan kembali membawa mereka pada rencana, bahaya, dan keputusan penting pagi ini milik mereka.Nio masih memeluk Ruby erat ketika suara getaran ponsel di atas nakas mengusik ketenangan pagi mereka. Getaran itu pelan, tapi cukup mengganggu keheningan yang damai. Ruby memejamkan mata lebih erat, berharap suara itu hanya bayangan. Tapi detik berikutnya, bunyi itu terdengar lagi. Lebih keras.Nio mendesah, kepalanya masih terbenam di lekuk leher Ruby. “Jangan sekarang.”Ruby membuka matanya perlahan. “Angkat saja,” ujarnya lembut. “Mungkin penting.”Nio mengangkat wajahnya sedikit, menatap Ruby seolah berharap ia akan berubah pikiran. Tapi Ruby hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan. Dengan enggan, Nio bangkit, duduk di tepi ranjang, dan mengambil ponselnya.Nama yang tertera di layar membuat rahangnya mengencang, Sarah.Ia sempat ragu. Jari-jarinya melayang di atas layar ponsel ta

  • Rahasia Hati Mafia Dingin   RHMD 130

    Ruby tertawa pelan, napasnya berembun. Tapi tawa itu segera lenyap saat Nio membungkuk dan mengangkat tubuhnya perlahan, membawanya ke arah ranjang. Ia meletakkan Ruby dengan hati-hati, seolah wanita itu adalah sesuatu yang terlalu berharga untuk dijatuhkan begitu saja.Cahaya lampu redup menyelimuti mereka, menciptakan bayangan hangat di dinding ruangan. Nio menyusul Ruby di atas ranjang, dan mereka saling menatap dalam diam yang penuh makna. Tangan mereka saling menggenggam, seolah tak ingin melepaskan lagi. Tak ada lagi jarak. Tak ada lagi keraguan.Nio kembali mencium Ruby lebih panas dari sebelumnya, tangan Ruby memeluk punggung lebar Nio yang mulai melepaskan pakaiannya. Tangan besar itu bahkan dengan berani melepaskan kancing-kancing blouse yang Ruby kenakan.Mata mereka bertemu dalam kerinduan yang dalam, Nio kembali mencium bibir Ruby dalam penyatuan yang hangat dan penuh dengan perasaan. Ruby membiarkan Nio menguasai tubuhnya. Kerinduan yang suda

  • Rahasia Hati Mafia Dingin   RHMD 129

    Ruby hanya bisa menatap Nio dengan campuran marah, sedih, dan ngeri. “Kau seharusnya memberitahuku.”“Aku tidak bisa,” Nio menatapnya. “Jika Sarah tahu siapa orang terdekatku, dia akan menggunakan mereka untuk menyakitiku. Dan kau… adalah kelemahanku yang paling nyata.”Air mata mengalir di pipi Ruby, tak tertahankan. “Dan sekarang? Dia kembali. Duduk di sebelahmu, tertawa seperti tak pernah terjadi apa-apa.”Nio mengepalkan tangannya. “Aku membiarkannya dekat hanya untuk mengetahui rencananya. Tapi aku tak sanggup melihatnya bersamamu dalam satu ruangan. Aku… takut kau akan menjadi target selanjutnya.”Ruby menggeleng, air matanya semakin deras. “Lalu kenapa malam ini? Kenapa kau kembali sekarang?”“Karena aku tak bisa lagi menjauh darimu,” bisik Nio. “Dan aku janji, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu. Termasuk Sarah.”Ruby menatap Nio, matanya bergetar. Ada ketakutan, tapi juga kepercayaan yang perlahan kembali tum

  • Rahasia Hati Mafia Dingin   RHMD 128

    Sunyi mengisi ruang di antara mereka selama beberapa detik.“Dan sekarang?” tanya Ruby lirih.“Sekarang aku tak mau sembunyi lagi. Tapi aku juga tidak bisa langsung kembali. Ada hal-hal yang harus selesai. Termasuk urusan dengan Sarah.”Ruby memandangi wajah Nio yang diterangi lampu dasbor. Dia ingin percaya. Dia ingin semuanya bisa kembali seperti dulu, tapi dia tahu segalanya telah berubah.Akan tetapi, untuk malam ini, berada di samping Nio saja sudah cukup.Dia bersandar pada kursi, menatap jalan yang terus melaju ke depan.“Kalau begitu,” katanya lembut, “antar aku ke rumahmu.”*** Mobil berhenti perlahan di depan sebuah rumah bergaya Jepang modern yang berdiri tenang di balik deretan pohon kamper yang rapi. Rumah itu tidak terlalu besar, tetapi tampak kokoh dan terjaga. Taman mungil dengan batu dan pohon bonsai menyambut mereka dengan kesunyian yang elegan.Ruby turun lebih dulu, memandang sekeli

  • Rahasia Hati Mafia Dingin   RHMD 127

    Gerry menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil melirik jam tangannya. Sudah hampir lima belas menit sejak Ruby dan Nio keluar dari meja makan dengan alasan menuju toilet. Hidangan penutup sudah disajikan, tetapi tak seorang pun menyentuhnya.Sarah mengerucutkan bibirnya, memainkan sendok pencuci mulut dengan gelisah. “Lama sekali mereka,” gumamnya.Tepat saat itu, ponsel Gerry bergetar. Dia mengambilnya dengan malas, lalu tertawa kecil begitu membaca pesan yang baru saja masuk.“Apa?” tanya Sarah cepat, menoleh penuh curiga.Gerry mengangkat ponselnya, menunjukkan layarnya ke arah Sarah. “Ruby. Dia bilang, [Maaf, aku harus pulang lebih dulu. Tidak sempat pamit. Terima kasih untuk malam ini.]”Tawanya makin menjadi, seperti menyaksikan lelucon yang hanya dia sendiri yang mengerti.Sarah memandang layar itu dengan ekspresi tak percaya. Alisnya menegang, garis rahangnya mengeras. “Dia pulang?” ulangnya, suaranya penuh nada din

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status