Di kota Macau, pada malam yang basah dan bergelombang oleh cahaya neon, seorang pria ditemukan terkapar di bawah teriknya lampu jalan dan hujan yang mengguyur dengan garang. Tubuhnya dipenuhi luka, darah mengalir dari pelipis, pergelangan tangan terkilir, dan tulang rusuk yang kemungkinan retak.
Pria itu adalah Ethan Ellias Zaferino, nama yang bergema bagai lonceng kematian di dunia kriminal Asia. dia adalah pewaris keluarga mafia paling ditakuti, seseorang yang ditakdirkan untuk memegang kekuasaan lebih besar dari yang pernah dibayangkan. Namun malam itu, semua tentang dirinya, semua kejayaan dan kebengisan, terhapus begitu saja. Kecelakaan misterius atau mungkin pengkhianatan yang sudah lama disusun menghancurkan segalanya. Ketika matanya terbuka kembali dua minggu kemudian, dunia yang dikenalnya telah lenyap. Dia terbangun di sebuah kamar kecil dengan aroma kayu lapuk dan suara angin yang menggoyangkan jendela. Tidak ada nama yang terlintas di kepalanya. Tidak ada wajah yang teringat. Tidak ada tempat yang terasa seperti rumah. Dia bangkit dari koma tanpa identitas, tanpa masa lalu, hanya dengan kemampuan bertarung yang seolah tertanam dalam daging dan tulangnya, naluri yang tak bisa dijelaskan, bagaikan binatang liar yang tahu cara bertahan hidup bahkan tanpa ingatan. Seorang wanita tua duduk di samping ranjang, menggenggam tangannya dengan penuh perhatian. "Oh Tuhan, syukurlah," desah wanita itu lega, matanya berkaca-kaca. "Kau akhirnya sadar, Nak." Pria itu mengerjap, mencoba berbicara, namun hanya suara serak yang keluar. Nenek itu buru-buru menuangkan air ke dalam gelas kecil dan menyentuh bibirnya perlahan. "Pelan-pelan ... kau sudah tidur sangat lama." Beberapa teguk kemudian, suara seraknya berubah menjadi bisikan. "Di-di mana ... aku?" "Kau di rumahku," jawab Nenek Lina lembut. "Aku menemukanmu di jalanan, malam saat hujan deras. Luka-lukamu parah sekali, Nak. Siapa namamu?" Pria itu terdiam. Dia mencoba mencari dalam pikirannya, tetapi hanya kehampaan yang menjawab. Tidak ada nama. Tidak ada bayangan. Hanya gelap. "Aku ... aku tidak tahu," katanya lemah, kebingungan merayapi wajahnya. Nenek Lina menghela napas panjang, membelai rambut basah di dahinya. "Tidak apa-apa, Nak. Kadang, trauma membuat seseorang melupakan. Kau butuh waktu." Wanita itu tersenyum tipis, berusaha menenangkannya. "Kalau begitu," lanjutnya pelan, "dari mana asalmu? Siapa keluargamu? Mungkin kau ingat sesuatu?" Pria itu menutup matanya sejenak, mengerutkan kening dalam usaha keras untuk mengingat. akan tetapi, yang ada hanya kekosongan. Tidak ada rumah, tidak ada suara orang tua, tidak ada satu pun potongan kenangan. "Aku ... aku tidak ingat," bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada pada wanita itu. Nenek Lina mengangguk, memahami. "Kalau begitu," katanya sambil tersenyum hangat, "untuk sementara waktu, kau di sini saja. Kau butuh tempat untuk pulih. Dan butuh nama untuk dipanggil." Nenek Lina menatap pria itu dengan penuh sayang, lalu mengangguk seolah membuat keputusan besar. "Aku akan memanggilmu ... Nio, Nio Alenka," katanya sambil tertawa kecil. Pria itu yang kini menjadi Nio hanya mengangguk lemah. Dalam hatinya, nama itu terasa asing. Nio memandang Nenek Lina di depannya dengan kebingungan dan rasa bersalah samar yang dia sendiri tidak mengerti. Tubuhnya masih terasa berat, tetapi dia berusaha duduk bersandar di ranjang tua itu. Nenek Lina tersenyum kecil melihat usahanya. "Aduh, pelan-pelan saja, Nak. Lukamu belum benar-benar sembuh," katanya lembut sambil membenarkan bantal di belakang punggungnya. Nio menatap wajah keriput itu, begitu penuh kasih dan ketulusan, sesuatu yang anehnya membuat dadanya hangat. "Aku ... aku merepotkanmu," bisiknya serak. Nenek Lina menggeleng cepat, matanya penuh ketegasan. "Jangan berkata begitu. Saat aku menemukamu, aku tahu kau butuh pertolongan. Tapi, maafkan aku, Nak..." Ia menarik napas panjang, seolah merasa sedikit bersalah. "Aku tidak punya cukup uang untuk membawamu ke rumah sakit." Nio hanya diam, tidak tahu harus berkata apa. "Tapi aku bersyukur," lanjutnya dengan suara pelan, tetapi penuh rasa syukur, "luka-lukamu tidak terlalu parah. Luka luar saja, memar dan beberapa sobekan. Aku bisa merawatmu di sin i... dengan obat seadanya." Nenek Lina tersenyum, memperlihatkan giginya yang sudah mulai menipis. "Kadang, Tuhan tidak membiarkan kita sendirian saat benar-benar butuh bantuan," kata Nenek Lina lagi sambil mengelus punggung tangan Nio dengan lembut. Nio menatapnya. Ada sesuatu dalam cara wanita tua itu berbicara, kehangatan, ketulusan, dan kekuatan dalam kesederhanaan. Dia tidak tahu siapa dirinya, dari mana dia berasal, tapi saat itu, dia tahu satu hal kalau dia berutang nyawa kepada wanita ini. Dengan sisa tenaga, Nio berbisik pelan. "Terima kasih, Nenek ...." Nenek Lina tertawa kecil, senang mendengar panggilan itu. "Lina. Panggil Nenek Lina ya ... Kau istirahat saja dulu, Nak. Nenek akan membuatkan bubur lagi untukmu. Kau butuh banyak makan supaya cepat pulih," katanya sambil bangkit perlahan dari kursinya. *** Enam bulan telah berlalu sejak hari itu. Tubuh Nio kini telah sepenuhnya pulih berkat perawatan penuh kasih dari Nenek Lina. Setiap harinya, dia bekerja sebagai buruh di sebuah proyek konstruksi di pinggiran kota Macau, menjalani kehidupan sederhana dan jujur, jauh dari ingatan masa lalunya yang masih terkubur dalam kabut tebal. Suatu malam, saat sedang menyelesaikan pekerjaan lembur, Nio mendengar teriakan dari gang dekat lokasi pembangunan. Dia segera berlari ke sumber suara dan melihat seorang wanita muda dirampok oleh dua pria bertopeng. "Rampok! Tolong! Tas saya!" Nio menangkap pemandangan seorang wanita yang berusaha mengejar dua pria bertopeng yang membawa lari tasnya. Tanpa berpikir panjang, tubuh Nio bergerak, seolah-olah naluri lamanya yang tertidur kini terbangun dengan kekuatan penuh. Nio berlari, menyusul para perampok dengan kecepatan mengejutkan untuk seorang buruh biasa. Ketika salah satu perampok menoleh dan mencoba mengayunkan pisau ke arahnya, Nio bergerak dengan kelincahan yang tak lazim. Dengan satu gerakan terlatih, dia menahan lengan penyerangnya, memelintirnya hingga terdengar suara retakan, membuat pisau itu terjatuh ke tanah. Perampok kedua mencoba menyerangnya dari belakang, tetapi Nio seolah-olah sudah mengantisipasi. Dia berputar, menggunakan berat tubuhnya untuk menjatuhkan pria itu dengan teknik cekatan yang bahkan petarung profesional pun akan kagumi. Dalam hitungan detik, kedua perampok itu tergeletak di tanah, mengerang kesakitan. Nio mengatur napasnya, menatap kedua pria itu dengan sorot mata dingin yang bahkan membuat mereka terlalu takut untuk bangkit kembali. Namun, mereka tetap memilih kabur. Wanita itu, Ruby terengah, syok, tetapi tidak terluka. Dia menatap pria asing yang menyelamatkannya. “Siapa Kau? Bagaimana bisa Kau bertarung seperti itu?” Nio hanya diam beberapa detik sebelum menjawab pelan, “Aku ... Nio. Hanya itu yang kutahu.” “Ah begitu rupanya, tapi apa Kau baik-baik saja?” tanya Ruby khawatir. Nio hanya mengangguk dan berjalan meninggalkan tempat itu. “Tunggu!” tiba-tiba Ruby berteriak menghentikan Nio. “Kau mau ke mana? Apa Kau akan membiarkan aku berdiri di sini seorang diri? Bagaimana jika orang-orang itu kembali dan menyakitiku?” tanya Ruby panjang tanpa koma. Nio berbalik dan berpikir sejenak. Lalu dia pun menjawab, “Hanya satu tempat yang aku tahu.” Bersambung ...Suara mesin detak jantung terdengar stabil, ritmenya jauh lebih tenang daripada hari-hari sebelumnya. Nio duduk di sisi ranjang, memegang tangan keriput yang terasa hangat di genggamannya. Nenek Lina masih tampak lemah, namun matanya yang kini terbuka menyiratkan ketenangan."Kau sadar, Nek..." bisik Nio pelan, senyumnya muncul perlahan.Nenek Lina mengangguk lemah. Nio menggenggam tangan nenek itu lebih erat. "Terima kasih... karena tidak menyerah padaku." Suaranya serak, menahan emosi yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun sebelumnya.Beberapa menit kemudian, ia keluar dari kamar rumah sakit, menghela napas lega. Cahaya senja menyusup dari jendela lorong, dan di ujung sana, Ruby berdiri menunggu dengan tangan dilipat di depan dada."Siapa dia?" tanya Ruby pelan, nadanya datar tapi matanya lembut.Ruby mendekat, lalu bersandar ke dinding di samping Nio. "Kau bilang tidak punya keluarga? Dengar, meski pun Kau bersedia menikah denganku untuk biaya operasi itu... Tapi aku juga buk
Garpu di tangan Nio berhenti di udara. Ia menoleh cepat, menatap Ruby seperti baru saja mendengar hal paling tidak masuk akal di dunia ini.“Apa?” Nio tersedak, buru-buru meneguk air.Ruby menatapnya serius. “Menikahlah denganku.”“Jangan bercanda.” Suara Nio terdengar berat, sedikit gugup, sedikit takut.“Aku tidak bercanda,” jawab Ruby datar, tak menurunkan tatapannya sedikit pun.Nio meletakkan garpunya, memandang Ruby lebih dalam. “Kau serius?”“Serius.”Hening sesaat.Ruby menarik napas. “Aku tanya satu hal. Apa Kau punya keluarga?”Nio menggeleng. “Tidak.”“Tinggal dengan siapa?”“Sendiri.”“Kau punya kekasih?”“Tidak.”“Punya istri?”“Tidak.”“Wanita yang Kau sukai?”Nio terdiam sejenak. Lalu, lagi-lagi, pelan, “Tidak.”Ruby tersenyum tipis. “Kalau begitu, bukankah bagus kalau kita menikah saja?”Nio terdiam. Tatapannya berpindah ke jendela, lalu ke piring, lalu kembali ke wajah Ruby yang menatapnya dengan campuran keberanian dan ketakutan. Tapi bukan takut ditolak lebih sepert
Suasana kafe di pusat kota Macau seharusnya terasa hangat. Aroma kopi, suara alat penggiling biji yang berputar, dan obrolan pelan di tiap sudut ruangan membuat suasana ideal untuk dua orang yang sedang menjalin sesuatu.Tapi tidak untuk Ruby.Ia duduk di kursi kayu keras, kedua tangannya saling menggenggam di atas meja. Matanya mengarah ke luar jendela, menyaksikan orang-orang berlalu-lalang semua tampak bebas, semua kecuali dirinya.Gerry duduk di seberangnya, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung dan jam tangan mahal yang tak pernah lepas dari pergelangan tangannya. Di depannya, secangkir espresso yang nyaris tak disentuh.“Aku tahu Kau tidak suka ini,” ujar Gerry akhirnya, suaranya datar tapi tidak bermusuhan. “Dan jujur saja, aku juga tidak menginginkannya.”Ruby menoleh cepat. “Lalu kenapa Kau tetap di sini?”Gerry mengangkat bahu. “Karena aku tidak punya pilihan. Ini tentang keluarga. Tentang bisnis. Kau tahu sendiri bagaimana orang tua kita.”Ruby menghela napas, mem
Kini Ruby mengikuti pria asing itu menuruni jalanan gelap menuju bangunan tua yang belum selesai dibangun. Di pojok bangunan, ada ruangan kecil beratap seng, disulap menjadi tempat tinggal sementara. Penerangannya hanya satu lampu bohlam kuning yang tergantung di tengah ruangan, menggantung miring. Nio membuka pintu kayu lapuk itu tanpa berkata apa-apa. Ruby ragu beberapa detik sebelum akhirnya masuk. Udara dingin langsung menyambutnya. Di dalam, hanya ada satu kasur tipis di atas lantai semen, satu meja kecil, dan termos tua di pojok ruangan. "Maaf, cuma ini yang kupunya," gumam Nio singkat sambil berjalan ke termos. Dia menuangkan air panas ke dua cangkir kaleng penyok, lalu mengambil kantung teh dari dalam kotak sepatu bekas. Ruby duduk di pojok kasur, memeluk lututnya. “Kasurnya tipis ya,” ucapnya pelan, mencoba mencairkan suasana. Nio hanya mengangguk, lalu menyodorkan satu cangkir teh ke arah Ruby. "Hangatkan badanmu." Ruby menerimanya dengan tangan gemetar, bukan karena ta
Di kota Macau, pada malam yang basah dan bergelombang oleh cahaya neon, seorang pria ditemukan terkapar di bawah teriknya lampu jalan dan hujan yang mengguyur dengan garang. Tubuhnya dipenuhi luka, darah mengalir dari pelipis, pergelangan tangan terkilir, dan tulang rusuk yang kemungkinan retak. Pria itu adalah Ethan Ellias Zaferino, nama yang bergema bagai lonceng kematian di dunia kriminal Asia. dia adalah pewaris keluarga mafia paling ditakuti, seseorang yang ditakdirkan untuk memegang kekuasaan lebih besar dari yang pernah dibayangkan. Namun malam itu, semua tentang dirinya, semua kejayaan dan kebengisan, terhapus begitu saja. Kecelakaan misterius atau mungkin pengkhianatan yang sudah lama disusun menghancurkan segalanya. Ketika matanya terbuka kembali dua minggu kemudian, dunia yang dikenalnya telah lenyap. Dia terbangun di sebuah kamar kecil dengan aroma kayu lapuk dan suara angin yang menggoyangkan jendela. Tidak ada nama yang terlintas di kepalanya. Tidak ada wajah yang t