Suasana kafe di pusat kota Macau seharusnya terasa hangat. Aroma kopi, suara alat penggiling biji yang berputar, dan obrolan pelan di tiap sudut ruangan membuat suasana ideal untuk dua orang yang sedang menjalin sesuatu.
Tapi tidak untuk Ruby. Ia duduk di kursi kayu keras, kedua tangannya saling menggenggam di atas meja. Matanya mengarah ke luar jendela, menyaksikan orang-orang berlalu-lalang semua tampak bebas, semua kecuali dirinya. Gerry duduk di seberangnya, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung dan jam tangan mahal yang tak pernah lepas dari pergelangan tangannya. Di depannya, secangkir espresso yang nyaris tak disentuh. “Aku tahu Kau tidak suka ini,” ujar Gerry akhirnya, suaranya datar tapi tidak bermusuhan. “Dan jujur saja, aku juga tidak menginginkannya.” Ruby menoleh cepat. “Lalu kenapa Kau tetap di sini?” Gerry mengangkat bahu. “Karena aku tidak punya pilihan. Ini tentang keluarga. Tentang bisnis. Kau tahu sendiri bagaimana orang tua kita.” Ruby menghela napas, memalingkan wajah lagi. “Aku tidak bisa menikah karena alasan itu.” “Aku pun begitu,” kata Gerry sambil tersenyum miring. “Makanya aku ada ide. Kita jalani saja. Pernikahan ini tetap terjadi di atas kertas, demi keluarga. Tapi kehidupan pribadi? Bebas. Kau boleh bertemu siapa pun. Aku juga. Kita hanya perlu main peran.” Ruby langsung menatapnya tajam. “Jadi Kau ingin aku berpura-pura menikah sambil hidup seolah tidak menikah?” “Ya,” jawab Gerry tenang. “Kau bebas mencintai siapa pun yang Kau mau. Aku juga. Kita hanya menjaga citra.” Ruby menggigit bibir bawahnya, lalu menggeleng. “Kedengarannya menjijikkan.” “Kenapa?” tanya Gerry, mencondongkan tubuh ke depan. “Kecuali Kau punya rencana lain... atau seseorang yang Kau ingin nikahi.” “Itu bukan urusanmu.” Gerry tertawa pelan. “Benar. Tapi itu satu-satunya alasan yang bisa membuatmu lolos dari perjodohan ini. Kalau Kau bisa tunjukkan bahwa Kau punya pria yang pantas... Ayahmu mungkin akan berhenti memaksamu.” Ruby menatap ke cangkirnya yang sudah dingin. Suaranya pelan, nyaris seperti gumaman. “Pantas menurut siapa?” Gerry meneguk espresso-nya yang akhirnya disentuh. “Menurut orang tuamu. Dan dunia mereka.” Hening membentang beberapa detik. Ruby sadar, jika ia tidak menemukan caranya sendiri... maka hidupnya akan ditentukan oleh meja pertemuan dan tanda tangan di buku nikah yang tak punya arti apa-apa. Tapi... apakah ia cukup nekat untuk menolak semuanya? Atau... cukup berani untuk menikahi pria yang bahkan ia tak benar-benar kenal? *** Esok hari, langkah Ruby menyusuri trotoar siang itu terasa berat, meski matahari bersinar cerah dan angin laut membawa aroma asin yang familiar dari Pelabuhan Macau. Di pundaknya tergantung tas kerja, dan di tangannya secangkir kopi yang sudah dingin setengah jalan. Pikirannya masih sibuk memutar ulang percakapan dengan Gerry. Pura-pura menikah? Menjijikkan. Tapi apa alternatifnya? Ia menarik napas panjang dan menggeleng, mencoba mengusir beban itu dari pikirannya. Saat melintas di ruas jalan yang lebih sepi, ia melihat sebuah proyek pembangunan di sisi kanan jalan. Rangka baja dan kayu berdiri kaku di bawah sinar matahari, diapit tumpukan semen dan alat berat. Beberapa pekerja berseragam oranye dan helm kuning berlalu-lalang di antara debu dan suara mesin. Ruby mempercepat langkah, ingin segera melewati lokasi bising itu. Namun tiba-tiba— BRUK! Suara keras terdengar dari atas. Sebuah pipa logam panjang terlepas dari tangannya seorang pekerja, meluncur turun dari lantai dua dan jatuh... tepat ke arah Ruby. Ruby membeku. Semuanya terlalu cepat. Tapi sebelum benda itu sempat menyentuh tanah, tangan kuat menarik tubuhnya menjauh, memeluknya erat dan membalikkan posisi mereka. DUAAR! Pipa itu menghantam aspal keras, menciptakan suara nyaring dan debu yang mengepul. Ruby terengah. Ia mendongak, dan matanya terkunci pada wajah yang begitu dikenalnya, meski belum lama. Nio. Dia berdiri tegak di depannya, masih memegangi lengan Ruby, napasnya sedikit memburu. Helm kerjanya miring, tangan dan bajunya berdebu, tapi mata itu... mata yang sama, tajam dan gelap, menatap Ruby seolah ia tak pernah pergi. Beberapa pekerja lain berlarian ke arah mereka, termasuk mandor yang langsung memarahi pekerja ceroboh di atas. Tapi dunia Ruby dan Nio seolah terhenti di tengah keramaian itu. “Kau...” gumam Ruby pelan. “Nio?” Nio menatapnya dalam-dalam, lalu mengangguk kecil. Wajahnya tetap tenang, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Sedikit lebih lembut... atau mungkin itu hanya perasaan Ruby yang terlalu kacau. “Kau baik-baik saja?” tanya Nio, suaranya rendah tapi jelas. Ruby mengangguk perlahan, masih sulit percaya pada pertemuan ini. “Aku... aku tidak nyangka ketemu Kau lagi.” Nio menatapnya sesaat sebelum melepas genggaman di lengannya. “Aku kerja di sini.” Ruby memandangi sekeliling proyek bangunan yang nyaris mencelakainya... ternyata menyimpan satu hal yang selama ini ingin ia cari. Mungkin, hanya mungkin, semesta memang tak pernah berniat memisahkan mereka. *** Kini mereka berada di sebuah restoran. Ruby mengajak Nio untuk makan siang sebagai tanda terimakasih. Nio duduk kaku di seberang Ruby, mengenakan kaos polos yang terlalu tipis untuk ruangan ber-AC dan celana jeans lusuh. Ia jelas tak biasa berada di tempat seperti ini. Ia bahkan belum menyentuh gelas air mineralnya, sementara Ruby sibuk membolak-balik buku menu. "Aku pesan pasta carbonara, Kau mau apa?" tanya Ruby sambil tersenyum lembut. Nio ragu. "Yang paling murah aja." Ruby tertawa kecil. "Ini traktiranku. Tenang aja." Setelah pelayan mencatat pesanan mereka, Nio menunduk sedikit, menatap taplak meja. “Kau seharusnya tidak membawa aku ke tempat seperti ini,” katanya pelan, nyaris seperti bisikan. “Lihat mereka!” Beberapa tamu restoran memang sempat melirik Nio saat mereka masuk. Beberapa dengan tatapan penasaran, sebagian lainnya dengan cibiran yang tak disembunyikan. Ruby menatap Nio dengan senyum yang lebih hangat. “Biarkan mereka menatap. Mungkin karena Kau lebih tampan dari yang mereka bayangkan.” Nio mengangkat alis, sedikit tidak yakin apakah Ruby bercanda atau tidak. "Aku serius," lanjut Ruby. “Mereka tidak tahu Kau siapa. Tapi aku tahu.” Nio hanya menatapnya, diam. Lalu makanan datang dan mereka mulai makan dengan hening. Diam-diam Ruby, memperhatikan wajah pria di depannya. Ada sesuatu dari Nio yang tak bisa ia abaikan, garis tegas rahangnya, sorot mata tajam tapi sering kosong, dan gestur tubuh yang tenang terlalu tenang, bahkan untuk seorang buruh bangunan. Dan yang paling aneh... caranya menjawab. Ruby mengangkat garpu, lalu sambil iseng berkata dengan aksen aneh, “Ti piace la pasta?” Nio tanpa berpikir, menjawab: “Sì, è buona.” Ruby terdiam. Ia menatap Nio, terkejut. “Kau mengerti bahasa itu?” Nio terlihat bingung sesaat. “Aku... asal saja tadi. Tapi... itu artinya ‘ya, enak’, kan?” Ruby mengangguk perlahan. “Kau tidak sadar barusan jawab pakai bahasa Italia?” Nio memandang tangannya, lalu ke piringnya. Ia menggeleng pelan. “Entahlah... hanya keluar sendiri aja.” Ada keheningan aneh di antara mereka. Sesuatu bergeser. Sesuatu yang tersembunyi di balik kepala yang hilang ingatan, tapi tubuh yang masih menyimpan memori. Ruby tersenyum kecil, menyembunyikan degup jantung yang tiba-tiba berdetak lebih cepat. Ia tidak tahu siapa sebenarnya pria ini... tapi semakin hari, ia semakin ingin tahu. “Nio ... menikahlah denganku,” ucap Ruby tanpa berpikir panjang bersambung...Hari itu, kebahagiaan menyelimuti mereka. Tangis kecil sang bayi menjadi awal baru bagi keluarga mereka.Pintu ruang persalinan akhirnya terbuka. Seorang perawat keluar dengan senyum hangat dan mempersilakan keluarga masuk. Nio yang sejak tadi gelisah langsung berlari kecil ke dalam. Begitu melihat Ruby berbaring di ranjang dengan wajah lelah namun tersenyum, hatinya langsung bergetar.Tanpa ragu ia menghampiri, menggenggam tangan Ruby erat, lalu menunduk mencium keningnya. “Terima kasih, sayang … kamu sudah berjuang begitu keras hari ini,” bisiknya dengan suara bergetar. Matanya berkaca-kaca, penuh rasa syukur karena istrinya selamat dan bayi mereka lahir dengan sehat.Ruby menatap Nio dengan senyum tipis, meski lelahnya tak bisa disembunyikan. “Aku bahagia, Nio… akhirnya kita berhasil sampai di sini.”Tak jauh dari mereka, seorang perawat menyerahkan bayi mungil itu pada Tuan Ashaki dan Nyonya Ashaki yang sudah tak sabar menunggu. Saat bayi mungil perempuan itu berada di gendongan,
Pertanyaan itu membuat Nio tersenyum tipis. Ia menggeleng, lalu menatap Ruby dengan penuh ketulusan.“Tidak, Ruby. Aku sama sekali tidak kecewa. Aku bahkan tidak pernah benar-benar memikirkan soal jenis kelamin. Yang paling penting bagiku… kamu dan bayi kita sehat. Sampai nanti, saat waktunya tiba, aku hanya ingin kalian berdua selamat dan bahagia.”Mata Ruby terasa panas, haru memenuhi dadanya. Ia menoleh, menatap wajah suaminya yang begitu dekat. “Terima kasih, Nio … kamu selalu ada di sisiku, padahal aku tahu kesibukanmu di perusahaan pusat makin berat belakangan ini. Aku takut merepotkanmu.”Nio menghela napas lembut, lalu mendekatkan wajahnya hingga kening mereka hampir bersentuhan. “Ruby, dengar aku. Tidak ada yang lebih penting dalam hidupku selain kamu … dan kehidupan kecil yang ada di dalam perutmu. Perusahaan, pekerjaan, semua itu bisa kuatur. Tapi kamu? Kamu tidak tergantikan. Kamu adalah rumahku, dan bayi kita adalah masa depan yang ingin kujaga.”Air mata jatuh membasah
Beberapa bulan pun berlalu, hingga kini usia kandungan Ruby sudah memasuki tujuh bulan. Perutnya tampak bulat sempurna, dan setiap gerakan kecil dari sang bayi membuatnya semakin dekat dengan kenyataan bahwa sebentar lagi ia akan menjadi seorang ibu. Hari itu, keluarga besar berkumpul dalam sebuah acara sederhana namun hangat. Acara menebak gender bayi Ruby dan Nio.Tuan Ashaki datang dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan serba biru. Dasi, sapu tangan, bahkan jam tangannya pun berwarna biru, seolah menegaskan keyakinannya bahwa cucu pertamanya akan lahir sebagai laki-laki. Sementara itu, Nyonya Ashaki tampil anggun dalam gaun berwarna pink lembut, lengkap dengan bros bunga di dadanya. Ia tersenyum manis sambil sesekali melirik suaminya dengan tatapan penuh tantangan, yakin bahwa nalurinya sebagai seorang ibu tak akan salah: cucu mereka adalah seorang putri kecil.Nio berjalan perlahan mendampingi Ruby, menggenggam tangannya dengan hati-hati agar ia tidak kehilangan keseimbanga
Satu bulan kemudian.Cahaya matahari baru saja mengintip malu dari balik tirai kamar. Ruby terbangun lebih awal dari biasanya, tubuhnya terasa berat dan tidak nyaman. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba mengusir kantuk, namun rasa pusing yang datang membuatnya terpaksa duduk sambil memegangi kepala. Sudah beberapa hari terakhir ia merasakan hal aneh. Tubuh lelah, mudah mual, dan kadang kehilangan selera makan. Namun pagi ini, rasa itu lebih kuat dari biasanya.Di dapur, terdengar suara panci dan aroma roti panggang. Nio tengah sibuk menyiapkan sarapan. Sejak pernikahan mereka yang kedua kali, ia lebih sering meluangkan waktu di pagi hari untuk memastikan Ruby mendapat makanan hangat sebelum memulai aktivitas. Perlahan ia melangkah keluar kamar. Baru beberapa langkah, aroma masakan semakin kuat masuk ke hidungnya, dan tiba-tiba perutnya bergejolak hebat. Ruby berhenti sejenak, lalu menutup mulutnya. Namun tak mampu menahan lebih lama, ia segera berlari ke wastafel terdekat dan memunta
Nio mengangguk, hatinya kian mantap. Ia berdiri, lalu membantu nenek Lina berjalan ke kursi yang telah disiapkan Markus di sudut ruangan.Sebelum duduk, nenek Lina menoleh sekali lagi pada Nio. “Hari ini, Nak, bukan hanya pesta ulang tahun pernikahan. Hari ini adalah bukti bahwa cinta bisa tumbuh kembali, bahkan setelah badai sekalipun. Peganglah itu baik-baik.”Nio tersenyum tulus, menunduk hormat. “Aku akan selalu mengingatnya, Nek.”Hari ini, ia siap berdiri di samping Ruby, tak hanya sebagai suami, tapi sebagai pria yang akan selalu menjaga cintanya.***Langit sore di tepi pantai terlihat indah, dihiasi semburat jingga yang perlahan berpadu dengan biru laut. Angin membawa aroma asin yang lembut, sementara debur ombak menjadi irama alami yang mengiringi suasana sakral sore itu. Di tengah hamparan pasir putih, sebuah altar sederhana berdiri, dihiasi rangkaian bunga putih dan merah muda yang menjuntai, membuat tempat itu tampak hangat dan penuh cinta.Acara hanya dihadiri oleh orang
Ruang rias itu dipenuhi aroma lembut bunga segar dan wangi bedak halus. Ruby duduk tenang di depan meja rias besar dengan cermin yang dikelilingi lampu-lampu kecil, membuat wajahnya tampak bersinar. Jemari perias bekerja luwes, menyapukan kuas tipis ke pipinya, memberi rona alami yang lembut. Rambutnya ditata sederhana dengan sanggul rendah, dihiasi hiasan kecil berbentuk bunga putih. Ruby menatap pantulan dirinya di cermin, hatinya bergetar. Hari ini ia mengenakan gaun pengantin lagi, tapi dengan rasa yang benar-benar berbeda.Gaun putih sederhana yang dipilihnya beberapa hari lalu kini membalut tubuhnya dengan sempurna. Tidak ada detail berlebihan, hanya potongan yang anggun dan elegan, seakan gaun itu memang dibuat khusus untuknya. Ruby meraba perlahan kain gaun itu, merasakan kehalusan teksturnya. Senyumnya muncul tipis, campuran gugup dan bahagia.Pintu ruang rias berderit pelan. Nyonya Ashaki masuk dengan langkah anggun, membawa kehangatan seorang ibu yang selalu menenangkan. Sa