Seketika firasat buruk itu menjelma nyata. Matanya menyipit, rahangnya mengeras. Ini bukan kebetulan.
Ruby meraih ponselnya, langsung menghubungi Thomas, detektif yang tadi siang sudah ia minta menyelidiki motor mencurigakan. Ketika sambungan tersambung, suaranya datar namun tajam.“Thomas. Segera cari tahu siapa yang menyerang suamiku malam ini. Cek semua CCTV, saksi, apapun. Aku ingin laporan dalam 24 jam.”Thomas menjawab cepat, memahami nada dingin yang mengandung bara itu. “Akan saya lacak, Ruby. Kami sudah dapat sebagian rekaman dari tempat siang tadi. Sekarang saya arahkan tim ke tempat kejadian malam ini.”Ruby mematikan ponselnya dan menunduk. Tangannya mengepal di pangkuan.Ia tahu ini bukan sekadar peringatan. Ini serangan. Ancaman yang nyata. Dan seseorang ingin Nio disingkirkan, dan kemungkinan besar semua itu karena Nio sudah menyentuh sesuatu yang selama ini disembunyikan.Tak lama kemudian, lampu ruang operasi berubah dari merah menjadi kNio menatap wajah istrinya yang sedang tertidur dengan penuh cinta. Nafas Ruby teratur, rambutnya sedikit berantakan namun tetap terlihat cantik dalam balutan keheningan. Nio tersenyum tipis. Ada debar hangat di dadanya. Ia merasa sulit percaya bahwa semua ini nyata bahwa wanita yang kini terlelap di sisinya adalah istrinya, bahwa semua perjuangan dan luka telah membawanya ke tempat ini. Tempat yang dipenuhi ketenangan dan cinta.Tatapan Nio begitu lembut, nyaris rapuh. Seolah jika ia berkedip terlalu lama, semuanya akan menghilang dan kembali menjadi mimpi.Seolah mendengar kegundahan dalam hati Nio, Ruby perlahan membuka matanya. Ia mendapati Nio masih terjaga, menatapnya tanpa berkedip."Kenapa tidak tidur?" tanya Ruby dengan suara serak khas orang yang baru bangun.Nio menghela napas pelan, lalu menyentuh pipi Ruby. "Karena semua ini terasa seperti mimpi."Ruby tersenyum, matanya mengerjap lucu. Ia mendekat, l
Nio menoleh pelan, menatap wajah wanita yang selama ini selalu bersamanya melewati tekanan, luka, dan kebahagiaan yang tumbuh perlahan. Dalam diam, ia menyentuh pipi Ruby dengan lembut, membuat Ruby menoleh, mata mereka bertemu dalam tatapan yang jujur dan hangat.“Aku mencintaimu, Ruby,” bisik Nio, suara yang rendah namun dalam.Ruby terdiam sejenak, seolah kata-kata itu butuh beberapa detik untuk sampai ke dalam hatinya. Kemudian ia mengangguk perlahan, senyum tipis menghiasi bibirnya.“Aku juga mencintaimu, Nio... sejak lama,” jawabnya, tulus tanpa ragu.Waktu seakan berhenti saat keduanya hanya saling menatap. Tak ada lagi beban perusahaan, masa lalu, atau rasa takut yang menggantung di antara mereka. Yang tersisa hanya dua hati yang akhirnya saling terbuka sepenuhnya.Dengan gerakan lembut dan perlahan, Nio menarik wajah Ruby mendekat. Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang hangat bukan ciuman yang terburu-bu
Malam turun dengan perlahan, membawa serta kilau lampu-lampu kota yang mulai menyala di balik jendela kaca gedung utama Ashaki Group. Di ballroom besar yang kini telah disulap menjadi ruangan pesta elegan, musik lembut terdengar dari sudut ruangan, dimainkan oleh orkestra kecil yang berada di sisi kiri panggung. Meja-meja bundar dengan taplak satin putih berbaris rapi, dihiasi rangkaian bunga anggrek ungu dan putih yang dipadu dengan cahaya lilin-lilin kristal.Di tengah ruangan, lampu gantung mewah menggantung dari langit-langit tinggi, memantulkan cahaya ke seluruh penjuru ruangan seperti bintang-bintang yang menyinari malam.Nio berdiri di dekat panggung utama, mengenakan setelan hitam elegan dengan dasi abu gelap. Wajahnya tampak tenang, tapi tatapan matanya menyapu ruangan dengan kewaspadaan alami. Malam ini bukan sekadar pesta, tapi simbol keberhasilan, pembuktian, dan babak baru yang telah ia raih dengan darah dan luka.Di sampingnya, Ruby tampak memesona dalam balutan gaun sat
Setelah prosesi selesai, para tamu undangan diarahkan menuju area makan siang dan networking. Namun Nio dan Ruby sempat berdiri berdua di tepi panggung, menikmati momen kebanggaan itu hanya untuk mereka berdua.“Kau hebat,” bisik Ruby sambil menyentuh lengan Nio. “Aku tahu kau akan sampai di titik ini.”Nio tersenyum, wajahnya sedikit teduh terkena sinar matahari. “Kalau bukan karena kamu, aku mungkin masih keras kepala di sudut gudang yang gelap.”Ruby terkekeh pelan. “Kamu masih keras kepala sampai sekarang.”Nio menoleh menatap istrinya. “Tapi kamu tetap memilih untuk ada di sampingku.”“Aku selalu percaya padamu, bahkan ketika kamu tidak percaya pada dirimu sendiri.”Mereka saling diam sejenak, hanya saling menatap dalam keheningan yang hangat. Di tengah kesibukan dunia, di antara keramaian dan suara tertawa para undangan, ada ruang kecil di antara mereka yang hanya milik berdua tenang dan utuh.
Ruby mengangkat bahu kecil, tersenyum samar. "Mungkin aku juga tidak tahu semua tentang kamu. Tapi aku yakin kamu akan berjuang. Kamu punya hati. Kamu melindungi orang-orang yang kamu pedulikan. Dan itu cukup bagiku."Nio tertunduk sebentar. Kali ini bukan karena sakit kepala, tapi karena rasa hangat yang perlahan tumbuh di dada rasa yang belum lama ini mulai ia kenali kembali dipahami. Dipercaya. Dicintai... mungkin."Aku takut, Ruby," bisiknya lirih. "Aku takut kalau suatu hari... aku tahu semuanya, dan kamu menyesal telah mempercayai aku."Ruby menjawab tanpa ragu, suaranya tenang tapi penuh kekuatan, "Kalau suatu hari itu datang, kita hadapi sama-sama. Bukan sendiri-sendiri."Hening kembali menyelimuti mereka, tapi kali ini tidak berat. Tidak menggantung. Ada sesuatu yang jauh lebih ringan di antara keduanya, seolah dinding yang perlahan runtuh satu demi satu.Ruby menggeser duduknya sedikit lebih dekat. Ia tidak menyentuh Nio, tidak mencoba memeluknya. Ia hanya duduk di sana, cuk
Namun begitu ia membuka pintu lantai dasar dan menerobos keluar ke lobi belakang kantor, tiga polisi sudah menunggu. Dharma membelalakkan mata, hendak berbalik kembali, tapi sudah terlambat.“BERHENTI!”Polisi yang mengejarnya berteriak dari belakang. Dharma tetap berlari ke arah gerbang belakang, napasnya berat, gerakannya mulai kacau.“Jangan bergerak!”Tapi Dharma tetap melesat. Tangannya hendak meraih pagar besi ketika suara keras terdengar suara tembakan.Satu tembakan peringatan dilepaskan ke udara.Orang-orang di sekitar gedung menjerit, beberapa berlindung di balik mobil. Dharma berhenti mendadak, tubuhnya gemetar. Tangannya terangkat setengah, bingung harus melawan atau menyerah.“Turunkan tangan Anda perlahan,” kata salah satu petugas, senjata diarahkan langsung ke dada Dharma.“Kalau kau tembak aku, kalian tidak akan dapat pengakuan apa-apa!” teriak Dharma, beru