Share

RHMD 4 Dilema

Author: Ziya_Khan21
last update Last Updated: 2025-05-03 00:25:37

Garpu di tangan Nio berhenti di udara. Ia menoleh cepat, menatap Ruby seperti baru saja mendengar hal paling tidak masuk akal di dunia ini.

“Apa?” Nio tersedak, buru-buru meneguk air.

Ruby menatapnya serius. “Menikahlah denganku.”

“Jangan bercanda.” Suara Nio terdengar berat, sedikit gugup, sedikit takut.

“Aku tidak bercanda,” jawab Ruby datar, tak menurunkan tatapannya sedikit pun.

Nio meletakkan garpunya, memandang Ruby lebih dalam. “Kau serius?”

“Serius.”

Hening sesaat.

Ruby menarik napas. “Aku tanya satu hal. Apa Kau punya keluarga?”

Nio menggeleng. “Tidak.”

“Tinggal dengan siapa?”

“Sendiri.”

“Kau punya kekasih?”

“Tidak.”

“Punya istri?”

“Tidak.”

“Wanita yang Kau sukai?”

Nio terdiam sejenak. Lalu, lagi-lagi, pelan, “Tidak.”

Ruby tersenyum tipis. “Kalau begitu, bukankah bagus kalau kita menikah saja?”

Nio terdiam. Tatapannya berpindah ke jendela, lalu ke piring, lalu kembali ke wajah Ruby yang menatapnya dengan campuran keberanian dan ketakutan. Tapi bukan takut ditolak lebih seperti takut kehilangan kesempatan terakhir.

“Aku harus kembali bekerja,” katanya akhirnya, mencoba berdiri.

Tapi Ruby hanya menyandarkan punggungnya ke kursi dan berkata ringan, “Pasta yang kau makan tadi harganya dua puluh tiga dollar.”

Nio langsung membeku di tempat.

Perlahan ia kembali duduk, mengambil garpu, dan mulai menghabiskan makanannya kembali dengan wajah datar. Suapan pertamanya seperti menelan beban dunia, tapi di sudut bibir Ruby... muncul senyum nakal penuh kemenangan.

Ia menatap Nio yang kembali makan, dan hatinya berdesir aneh.

Ini bukan cinta pada pandangan pertama. Juga bukan rasa nyaman karena waktu yang lama. Tapi sesuatu yang tumbuh perlahan... seperti percikan kecil yang belum padam, meski tak tahu api macam apa yang akan ia nyalakan nanti.

Ruby menunduk, menyembunyikan senyumnya sendiri.

“Mungkin... ini bukan ide yang gila.”

*** 

Selesai makan siang,  Ruby dan Nio berjalan berdampingan menyusuri trotoar. Suasana jalanan cukup ramai, tapi langkah mereka terasa santai, tanpa tujuan terburu-buru. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin dan debu dari pelabuhan yang tak jauh dari sana.

Nio menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ia jarang berbicara, lebih sering hanya mengangguk atau memberi respons pendek pada obrolan ringan Ruby. Tapi tak sekali pun ia terlihat ingin menghindar.

Sampai akhirnya mereka sampai di persimpangan jalan, tempat mereka harus berpisah.

Ruby berhenti dan menoleh ke arah Nio. Senyumnya mengembang seperti matahari sore yang enggan tenggelam.

“Nio,” katanya pelan tapi mantap. “Tawaranku tadi... itu serius.”

Nio menatap Ruby, masih diam.

Ruby menyilangkan tangan di dada, menyender sedikit pada tiang rambu lalu lintas. “Aku tahu kedengarannya gila. Tapi aku tidak main-main. Dan tawaran itu... masih berlaku.”

Nio mengalihkan pandangan sebentar ke trotoar yang basah sisa hujan pagi tadi, lalu kembali menatap Ruby, bingung harus bicara apa.

Ruby menunduk sedikit, suaranya lebih pelan tapi lebih tulus.

“Kalau Kau berubah pikiran... Kau masih punya kartu namaku, kan?”

Nio menatapnya. Diam sesaat. Lalu mengangguk pelan. “Masih.”

Ruby tersenyum cerah. “Hubungi aku kalau Kau butuh... atau kalau Kau sudah yakin.”

Nio hanya menatapnya. Lagi-lagi tak menjawab dengan kata, hanya dengan sorot mata yang sulit dibaca.

Ruby kemudian berbalik, melangkah mundur sambil melambaikan tangan.

“Sampai jumpa, Nio!” serunya ceria, seperti tak terbebani sedikit pun oleh kemungkinan penolakan.

Nio berdiri di tempatnya. Menatap punggung Ruby yang menjauh di antara keramaian kota. Lambaian tangan itu terakhir kali terlihat sebelum Ruby menghilang di tikungan jalan.

Ia menarik napas pelan, lalu mengeluarkan dompetnya. Di sana, terselip selembar kartu nama putih dengan huruf emas di pojoknya:

Zhen Ruby Ashaki – Asisten manajer kreatif 

Nio menatap kartu itu lama, sebelum menyelipkannya kembali.

*** 

Setelah berpisah dengan Ruby, Nio pulang dalam diam. Langkahnya lambat, pikirannya melayang entah ke mana.

Namun sesaat setelah membuka pintu rumah, ia dikejutkan oleh suara langkah kecil dari luar. Ia menoleh.

“Nio...”

Seorang nenek tua berdiri di ambang pintu, tubuhnya dibungkus syal rajutan lusuh, tangan keriputnya menggenggam bungkusan kain yang mengeluarkan aroma sup hangat.

“Aku membawakan makan malam untukmu. Kupikir kau pasti belum makan.”

Nio mengangguk, langsung mengambil bungkusan itu. “Terima kasih, Nek ...”

Mereka duduk di anak tangga depan rumah. Malam mulai turun sempurna, lampu jalan berpendar redup. Nenek Lina memandang ke depan, lalu tertawa kecil seperti mengenang sesuatu.

“Kau terlihat lebih kuat sekarang. Aku tidak nyangka kau bisa hidup normal lagi setelah tidak sadarkan diri selama dua minggu.”

Nio menunduk. Ia tak pernah bisa membayangkan seperti apa tubuhnya saat itu yang penuh luka, berdarah, dan tak sadarkan diri.

“Apa ingatanmu masih belum kembali?” tanyanya penuh perhatian.

Nio menggeleng pelan, “Aku masih tidak ingat apa-apa, Nek...” bisiknya. 

Nenek Lina tersenyum, menepuk pelan tangan Nio.

“Itu cukup. Kau sudah selamat, Nio. Itu yang terpenting.”

Ia lalu berdiri perlahan, bersiap kembali ke rumahnya. Tapi belum sempat ia melangkah, tubuhnya goyah. Napasnya terputus-putus. Dalam sekejap, ia jatuh ke arah samping.

“Nenek!” Nio segera menangkap tubuh sang nenek sebelum menyentuh tanah.

Wajahnya pucat, matanya setengah terpejam.

Tanpa pikir panjang, Nio mengangkat tubuh kecil itu ke pelukannya dan berlari secepat mungkin menuju rumah sakit. 

*** 

Bau antiseptik dan suara langkah cepat para perawat mengisi lorong rumah sakit malam itu. Nio berdiri kaku di depan ruang UGD, masih mengenakan pakaian kotornya dari proyek. Di balik kaca buram, tubuh ringkih Nenek Lina terbaring lemah, dikelilingi tim medis.

Beberapa menit kemudian, seorang dokter muda dengan wajah serius menghampirinya.

"Anda keluarga pasien?"

Nio mengangguk cepat. "Ya, saya... saya cucunya,” jawab Nio meski berbohong.

Dokter itu membuka map medis dan menatap Nio dengan berat hati.

"Kami sudah melakukan pemeriksaan. Nenek Anda mengalami penyumbatan pembuluh darah jantung. Usianya yang sudah lanjut membuat kondisinya rentan. Satu-satunya cara... operasi darurat."

Nio menelan ludah. "Berapa biayanya?"

"Sekitar lima puluh ribu dolar."

Seolah dunia mendadak sunyi. Angka itu seperti palu besar yang menghantam kepalanya. Lima puluh ribu? Dari mana ia bisa mendapat uang sebanyak itu?

Ia hanya seorang buruh bangunan dengan penghasilan harian pas-pasan. Tabungannya bahkan tak cukup untuk membayar sewa dua bulan ke depan.

“Jika tak dilakukan dalam 24 jam, kondisinya bisa memburuk,” lanjut dokter. “Kami butuh keputusan segera.”

Nio duduk di kursi ruang tunggu. Nafasnya pendek-pendek. Matanya menatap kosong ke lantai. Jari-jarinya bergetar.

Dan saat itu...

Ia mengingat tawaran Ruby.

Nafasnya tertahan. Ia menutup matanya sejenak, memikirkan segala kemungkinan. Mungkin... hanya ini satu-satunya jalan.

Tangannya gemetar saat meraih ponsel dari saku jaketnya. Ia membuka kontak. Nama itu masih tersimpan di sana:

Ruby 

Dengan jempol yang ragu, ia menekan tombol panggil. Tiga kali dering. Suara angin malam berhembus di sekitar tempat duduknya.

"Halo?" suara lembut Ruby terdengar di ujung sana, sedikit kaget.

Nio terdiam sejenak. Suaranya serak saat akhirnya bicara:

"Tawaranmu... masih berlaku?"

Hening.

Lalu Ruby menjawab pelan, penuh perasaan:

"Nio? Tentu saja masih, apa Kau berubah pikiran?"

Nio menutup mata, menahan emosi.

"Kalau begitu... aku bersedia."

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (23)
goodnovel comment avatar
Ristiana Cakrawangsa
semogaaa ini bisa jalan yg terbaik yaa nio dan ruby
goodnovel comment avatar
Endah Spy
berkorban demi sang nenek, tp apa bisa mendapat restu dengan mudah dari bapaknya ruby?
goodnovel comment avatar
Indri Irmayanti
semoga ini adalah keputusan yang tepat. yang trpenting saat ini adalah keselamatan nenek Lina. urusan bgmna hadapi ayahnya Ruby itu belakangan.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Rahasia Hati Mafia Dingin   RHMD 132

    Kantor itu tampak sepi saat Nio masuk. Langkah kakinya bergema di lantai marmer yang mengkilap. Lampu-lampu gantung bergaya minimalis menggantung di langit-langit tinggi, menciptakan suasana yang dingin dan steril. Di tengah ruangan luas itu, pintu kaca buram tampak setengah terbuka. Nio mendorongnya perlahan dan melangkah masuk.“Sarah?” panggilnya, matanya menyapu ruangan yang tertata rapi tapi kosong.Tiba-tiba, dari balik tirai, Sarah muncul dengan kilat tajam di matanya dan di tangannya, sebuah pisau berkilat meluncur cepat ke arah Nio. Refleks, Nio menangkis dengan lengannya, tapi serangan lanjutan datang tanpa jeda. Sarah menyerang dengan kecepatan dan presisi seperti seorang pemburu yang sangat mengenal mangsanya.Nio mundur selangkah, mencoba menghindar, tapi Sarah berhasil menyudutkannya ke tembok. Pisau dingin kini menempel di lehernya, nyaris menggores kulit.“Masih bisa bertarung rupanya,” bisik Sarah dengan senyum miring. Napasnya pendek tapi terkendali. “Kau belum kehil

  • Rahasia Hati Mafia Dingin   RHMD 131

    Ruby tertawa, dan meski ia tahu hari itu mungkin akan kembali membawa mereka pada rencana, bahaya, dan keputusan penting pagi ini milik mereka.Nio masih memeluk Ruby erat ketika suara getaran ponsel di atas nakas mengusik ketenangan pagi mereka. Getaran itu pelan, tapi cukup mengganggu keheningan yang damai. Ruby memejamkan mata lebih erat, berharap suara itu hanya bayangan. Tapi detik berikutnya, bunyi itu terdengar lagi. Lebih keras.Nio mendesah, kepalanya masih terbenam di lekuk leher Ruby. “Jangan sekarang.”Ruby membuka matanya perlahan. “Angkat saja,” ujarnya lembut. “Mungkin penting.”Nio mengangkat wajahnya sedikit, menatap Ruby seolah berharap ia akan berubah pikiran. Tapi Ruby hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan. Dengan enggan, Nio bangkit, duduk di tepi ranjang, dan mengambil ponselnya.Nama yang tertera di layar membuat rahangnya mengencang, Sarah.Ia sempat ragu. Jari-jarinya melayang di atas layar ponsel ta

  • Rahasia Hati Mafia Dingin   RHMD 130

    Ruby tertawa pelan, napasnya berembun. Tapi tawa itu segera lenyap saat Nio membungkuk dan mengangkat tubuhnya perlahan, membawanya ke arah ranjang. Ia meletakkan Ruby dengan hati-hati, seolah wanita itu adalah sesuatu yang terlalu berharga untuk dijatuhkan begitu saja.Cahaya lampu redup menyelimuti mereka, menciptakan bayangan hangat di dinding ruangan. Nio menyusul Ruby di atas ranjang, dan mereka saling menatap dalam diam yang penuh makna. Tangan mereka saling menggenggam, seolah tak ingin melepaskan lagi. Tak ada lagi jarak. Tak ada lagi keraguan.Nio kembali mencium Ruby lebih panas dari sebelumnya, tangan Ruby memeluk punggung lebar Nio yang mulai melepaskan pakaiannya. Tangan besar itu bahkan dengan berani melepaskan kancing-kancing blouse yang Ruby kenakan.Mata mereka bertemu dalam kerinduan yang dalam, Nio kembali mencium bibir Ruby dalam penyatuan yang hangat dan penuh dengan perasaan. Ruby membiarkan Nio menguasai tubuhnya. Kerinduan yang suda

  • Rahasia Hati Mafia Dingin   RHMD 129

    Ruby hanya bisa menatap Nio dengan campuran marah, sedih, dan ngeri. “Kau seharusnya memberitahuku.”“Aku tidak bisa,” Nio menatapnya. “Jika Sarah tahu siapa orang terdekatku, dia akan menggunakan mereka untuk menyakitiku. Dan kau… adalah kelemahanku yang paling nyata.”Air mata mengalir di pipi Ruby, tak tertahankan. “Dan sekarang? Dia kembali. Duduk di sebelahmu, tertawa seperti tak pernah terjadi apa-apa.”Nio mengepalkan tangannya. “Aku membiarkannya dekat hanya untuk mengetahui rencananya. Tapi aku tak sanggup melihatnya bersamamu dalam satu ruangan. Aku… takut kau akan menjadi target selanjutnya.”Ruby menggeleng, air matanya semakin deras. “Lalu kenapa malam ini? Kenapa kau kembali sekarang?”“Karena aku tak bisa lagi menjauh darimu,” bisik Nio. “Dan aku janji, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu. Termasuk Sarah.”Ruby menatap Nio, matanya bergetar. Ada ketakutan, tapi juga kepercayaan yang perlahan kembali tum

  • Rahasia Hati Mafia Dingin   RHMD 128

    Sunyi mengisi ruang di antara mereka selama beberapa detik.“Dan sekarang?” tanya Ruby lirih.“Sekarang aku tak mau sembunyi lagi. Tapi aku juga tidak bisa langsung kembali. Ada hal-hal yang harus selesai. Termasuk urusan dengan Sarah.”Ruby memandangi wajah Nio yang diterangi lampu dasbor. Dia ingin percaya. Dia ingin semuanya bisa kembali seperti dulu, tapi dia tahu segalanya telah berubah.Akan tetapi, untuk malam ini, berada di samping Nio saja sudah cukup.Dia bersandar pada kursi, menatap jalan yang terus melaju ke depan.“Kalau begitu,” katanya lembut, “antar aku ke rumahmu.”*** Mobil berhenti perlahan di depan sebuah rumah bergaya Jepang modern yang berdiri tenang di balik deretan pohon kamper yang rapi. Rumah itu tidak terlalu besar, tetapi tampak kokoh dan terjaga. Taman mungil dengan batu dan pohon bonsai menyambut mereka dengan kesunyian yang elegan.Ruby turun lebih dulu, memandang sekeli

  • Rahasia Hati Mafia Dingin   RHMD 127

    Gerry menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil melirik jam tangannya. Sudah hampir lima belas menit sejak Ruby dan Nio keluar dari meja makan dengan alasan menuju toilet. Hidangan penutup sudah disajikan, tetapi tak seorang pun menyentuhnya.Sarah mengerucutkan bibirnya, memainkan sendok pencuci mulut dengan gelisah. “Lama sekali mereka,” gumamnya.Tepat saat itu, ponsel Gerry bergetar. Dia mengambilnya dengan malas, lalu tertawa kecil begitu membaca pesan yang baru saja masuk.“Apa?” tanya Sarah cepat, menoleh penuh curiga.Gerry mengangkat ponselnya, menunjukkan layarnya ke arah Sarah. “Ruby. Dia bilang, [Maaf, aku harus pulang lebih dulu. Tidak sempat pamit. Terima kasih untuk malam ini.]”Tawanya makin menjadi, seperti menyaksikan lelucon yang hanya dia sendiri yang mengerti.Sarah memandang layar itu dengan ekspresi tak percaya. Alisnya menegang, garis rahangnya mengeras. “Dia pulang?” ulangnya, suaranya penuh nada din

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status