Garpu di tangan Nio berhenti di udara. Ia menoleh cepat, menatap Ruby seperti baru saja mendengar hal paling tidak masuk akal di dunia ini.
“Apa?” Nio tersedak, buru-buru meneguk air. Ruby menatapnya serius. “Menikahlah denganku.” “Jangan bercanda.” Suara Nio terdengar berat, sedikit gugup, sedikit takut. “Aku tidak bercanda,” jawab Ruby datar, tak menurunkan tatapannya sedikit pun. Nio meletakkan garpunya, memandang Ruby lebih dalam. “Kau serius?” “Serius.” Hening sesaat. Ruby menarik napas. “Aku tanya satu hal. Apa Kau punya keluarga?” Nio menggeleng. “Tidak.” “Tinggal dengan siapa?” “Sendiri.” “Kau punya kekasih?” “Tidak.” “Punya istri?” “Tidak.” “Wanita yang Kau sukai?” Nio terdiam sejenak. Lalu, lagi-lagi, pelan, “Tidak.” Ruby tersenyum tipis. “Kalau begitu, bukankah bagus kalau kita menikah saja?” Nio terdiam. Tatapannya berpindah ke jendela, lalu ke piring, lalu kembali ke wajah Ruby yang menatapnya dengan campuran keberanian dan ketakutan. Tapi bukan takut ditolak lebih seperti takut kehilangan kesempatan terakhir. “Aku harus kembali bekerja,” katanya akhirnya, mencoba berdiri. Tapi Ruby hanya menyandarkan punggungnya ke kursi dan berkata ringan, “Pasta yang kau makan tadi harganya dua puluh tiga dollar.” Nio langsung membeku di tempat. Perlahan ia kembali duduk, mengambil garpu, dan mulai menghabiskan makanannya kembali dengan wajah datar. Suapan pertamanya seperti menelan beban dunia, tapi di sudut bibir Ruby... muncul senyum nakal penuh kemenangan. Ia menatap Nio yang kembali makan, dan hatinya berdesir aneh. Ini bukan cinta pada pandangan pertama. Juga bukan rasa nyaman karena waktu yang lama. Tapi sesuatu yang tumbuh perlahan... seperti percikan kecil yang belum padam, meski tak tahu api macam apa yang akan ia nyalakan nanti. Ruby menunduk, menyembunyikan senyumnya sendiri. “Mungkin... ini bukan ide yang gila.” *** Selesai makan siang, Ruby dan Nio berjalan berdampingan menyusuri trotoar. Suasana jalanan cukup ramai, tapi langkah mereka terasa santai, tanpa tujuan terburu-buru. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin dan debu dari pelabuhan yang tak jauh dari sana. Nio menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ia jarang berbicara, lebih sering hanya mengangguk atau memberi respons pendek pada obrolan ringan Ruby. Tapi tak sekali pun ia terlihat ingin menghindar. Sampai akhirnya mereka sampai di persimpangan jalan, tempat mereka harus berpisah. Ruby berhenti dan menoleh ke arah Nio. Senyumnya mengembang seperti matahari sore yang enggan tenggelam. “Nio,” katanya pelan tapi mantap. “Tawaranku tadi... itu serius.” Nio menatap Ruby, masih diam. Ruby menyilangkan tangan di dada, menyender sedikit pada tiang rambu lalu lintas. “Aku tahu kedengarannya gila. Tapi aku tidak main-main. Dan tawaran itu... masih berlaku.” Nio mengalihkan pandangan sebentar ke trotoar yang basah sisa hujan pagi tadi, lalu kembali menatap Ruby, bingung harus bicara apa. Ruby menunduk sedikit, suaranya lebih pelan tapi lebih tulus. “Kalau Kau berubah pikiran... Kau masih punya kartu namaku, kan?” Nio menatapnya. Diam sesaat. Lalu mengangguk pelan. “Masih.” Ruby tersenyum cerah. “Hubungi aku kalau Kau butuh... atau kalau Kau sudah yakin.” Nio hanya menatapnya. Lagi-lagi tak menjawab dengan kata, hanya dengan sorot mata yang sulit dibaca. Ruby kemudian berbalik, melangkah mundur sambil melambaikan tangan. “Sampai jumpa, Nio!” serunya ceria, seperti tak terbebani sedikit pun oleh kemungkinan penolakan. Nio berdiri di tempatnya. Menatap punggung Ruby yang menjauh di antara keramaian kota. Lambaian tangan itu terakhir kali terlihat sebelum Ruby menghilang di tikungan jalan. Ia menarik napas pelan, lalu mengeluarkan dompetnya. Di sana, terselip selembar kartu nama putih dengan huruf emas di pojoknya: Zhen Ruby Ashaki – Asisten manajer kreatif Nio menatap kartu itu lama, sebelum menyelipkannya kembali. *** Setelah berpisah dengan Ruby, Nio pulang dalam diam. Langkahnya lambat, pikirannya melayang entah ke mana. Namun sesaat setelah membuka pintu rumah, ia dikejutkan oleh suara langkah kecil dari luar. Ia menoleh. “Nio...” Seorang nenek tua berdiri di ambang pintu, tubuhnya dibungkus syal rajutan lusuh, tangan keriputnya menggenggam bungkusan kain yang mengeluarkan aroma sup hangat. “Aku membawakan makan malam untukmu. Kupikir kau pasti belum makan.” Nio mengangguk, langsung mengambil bungkusan itu. “Terima kasih, Nek ...” Mereka duduk di anak tangga depan rumah. Malam mulai turun sempurna, lampu jalan berpendar redup. Nenek Lina memandang ke depan, lalu tertawa kecil seperti mengenang sesuatu. “Kau terlihat lebih kuat sekarang. Aku tidak nyangka kau bisa hidup normal lagi setelah tidak sadarkan diri selama dua minggu.” Nio menunduk. Ia tak pernah bisa membayangkan seperti apa tubuhnya saat itu yang penuh luka, berdarah, dan tak sadarkan diri. “Apa ingatanmu masih belum kembali?” tanyanya penuh perhatian. Nio menggeleng pelan, “Aku masih tidak ingat apa-apa, Nek...” bisiknya. Nenek Lina tersenyum, menepuk pelan tangan Nio. “Itu cukup. Kau sudah selamat, Nio. Itu yang terpenting.” Ia lalu berdiri perlahan, bersiap kembali ke rumahnya. Tapi belum sempat ia melangkah, tubuhnya goyah. Napasnya terputus-putus. Dalam sekejap, ia jatuh ke arah samping. “Nenek!” Nio segera menangkap tubuh sang nenek sebelum menyentuh tanah. Wajahnya pucat, matanya setengah terpejam. Tanpa pikir panjang, Nio mengangkat tubuh kecil itu ke pelukannya dan berlari secepat mungkin menuju rumah sakit. *** Bau antiseptik dan suara langkah cepat para perawat mengisi lorong rumah sakit malam itu. Nio berdiri kaku di depan ruang UGD, masih mengenakan pakaian kotornya dari proyek. Di balik kaca buram, tubuh ringkih Nenek Lina terbaring lemah, dikelilingi tim medis. Beberapa menit kemudian, seorang dokter muda dengan wajah serius menghampirinya. "Anda keluarga pasien?" Nio mengangguk cepat. "Ya, saya... saya cucunya,” jawab Nio meski berbohong. Dokter itu membuka map medis dan menatap Nio dengan berat hati. "Kami sudah melakukan pemeriksaan. Nenek Anda mengalami penyumbatan pembuluh darah jantung. Usianya yang sudah lanjut membuat kondisinya rentan. Satu-satunya cara... operasi darurat." Nio menelan ludah. "Berapa biayanya?" "Sekitar lima puluh ribu dolar." Seolah dunia mendadak sunyi. Angka itu seperti palu besar yang menghantam kepalanya. Lima puluh ribu? Dari mana ia bisa mendapat uang sebanyak itu? Ia hanya seorang buruh bangunan dengan penghasilan harian pas-pasan. Tabungannya bahkan tak cukup untuk membayar sewa dua bulan ke depan. “Jika tak dilakukan dalam 24 jam, kondisinya bisa memburuk,” lanjut dokter. “Kami butuh keputusan segera.” Nio duduk di kursi ruang tunggu. Nafasnya pendek-pendek. Matanya menatap kosong ke lantai. Jari-jarinya bergetar. Dan saat itu... Ia mengingat tawaran Ruby. Nafasnya tertahan. Ia menutup matanya sejenak, memikirkan segala kemungkinan. Mungkin... hanya ini satu-satunya jalan. Tangannya gemetar saat meraih ponsel dari saku jaketnya. Ia membuka kontak. Nama itu masih tersimpan di sana: Ruby Dengan jempol yang ragu, ia menekan tombol panggil. Tiga kali dering. Suara angin malam berhembus di sekitar tempat duduknya. "Halo?" suara lembut Ruby terdengar di ujung sana, sedikit kaget. Nio terdiam sejenak. Suaranya serak saat akhirnya bicara: "Tawaranmu... masih berlaku?" Hening. Lalu Ruby menjawab pelan, penuh perasaan: "Nio? Tentu saja masih, apa Kau berubah pikiran?" Nio menutup mata, menahan emosi. "Kalau begitu... aku bersedia." Bersambung...Suara mesin detak jantung terdengar stabil, ritmenya jauh lebih tenang daripada hari-hari sebelumnya. Nio duduk di sisi ranjang, memegang tangan keriput yang terasa hangat di genggamannya. Nenek Lina masih tampak lemah, namun matanya yang kini terbuka menyiratkan ketenangan."Kau sadar, Nek..." bisik Nio pelan, senyumnya muncul perlahan.Nenek Lina mengangguk lemah. Nio menggenggam tangan nenek itu lebih erat. "Terima kasih... karena tidak menyerah padaku." Suaranya serak, menahan emosi yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun sebelumnya.Beberapa menit kemudian, ia keluar dari kamar rumah sakit, menghela napas lega. Cahaya senja menyusup dari jendela lorong, dan di ujung sana, Ruby berdiri menunggu dengan tangan dilipat di depan dada."Siapa dia?" tanya Ruby pelan, nadanya datar tapi matanya lembut.Ruby mendekat, lalu bersandar ke dinding di samping Nio. "Kau bilang tidak punya keluarga? Dengar, meski pun Kau bersedia menikah denganku untuk biaya operasi itu... Tapi aku juga buk
Garpu di tangan Nio berhenti di udara. Ia menoleh cepat, menatap Ruby seperti baru saja mendengar hal paling tidak masuk akal di dunia ini.“Apa?” Nio tersedak, buru-buru meneguk air.Ruby menatapnya serius. “Menikahlah denganku.”“Jangan bercanda.” Suara Nio terdengar berat, sedikit gugup, sedikit takut.“Aku tidak bercanda,” jawab Ruby datar, tak menurunkan tatapannya sedikit pun.Nio meletakkan garpunya, memandang Ruby lebih dalam. “Kau serius?”“Serius.”Hening sesaat.Ruby menarik napas. “Aku tanya satu hal. Apa Kau punya keluarga?”Nio menggeleng. “Tidak.”“Tinggal dengan siapa?”“Sendiri.”“Kau punya kekasih?”“Tidak.”“Punya istri?”“Tidak.”“Wanita yang Kau sukai?”Nio terdiam sejenak. Lalu, lagi-lagi, pelan, “Tidak.”Ruby tersenyum tipis. “Kalau begitu, bukankah bagus kalau kita menikah saja?”Nio terdiam. Tatapannya berpindah ke jendela, lalu ke piring, lalu kembali ke wajah Ruby yang menatapnya dengan campuran keberanian dan ketakutan. Tapi bukan takut ditolak lebih sepert
Suasana kafe di pusat kota Macau seharusnya terasa hangat. Aroma kopi, suara alat penggiling biji yang berputar, dan obrolan pelan di tiap sudut ruangan membuat suasana ideal untuk dua orang yang sedang menjalin sesuatu.Tapi tidak untuk Ruby.Ia duduk di kursi kayu keras, kedua tangannya saling menggenggam di atas meja. Matanya mengarah ke luar jendela, menyaksikan orang-orang berlalu-lalang semua tampak bebas, semua kecuali dirinya.Gerry duduk di seberangnya, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung dan jam tangan mahal yang tak pernah lepas dari pergelangan tangannya. Di depannya, secangkir espresso yang nyaris tak disentuh.“Aku tahu Kau tidak suka ini,” ujar Gerry akhirnya, suaranya datar tapi tidak bermusuhan. “Dan jujur saja, aku juga tidak menginginkannya.”Ruby menoleh cepat. “Lalu kenapa Kau tetap di sini?”Gerry mengangkat bahu. “Karena aku tidak punya pilihan. Ini tentang keluarga. Tentang bisnis. Kau tahu sendiri bagaimana orang tua kita.”Ruby menghela napas, mem
Kini Ruby mengikuti pria asing itu menuruni jalanan gelap menuju bangunan tua yang belum selesai dibangun. Di pojok bangunan, ada ruangan kecil beratap seng, disulap menjadi tempat tinggal sementara. Penerangannya hanya satu lampu bohlam kuning yang tergantung di tengah ruangan, menggantung miring. Nio membuka pintu kayu lapuk itu tanpa berkata apa-apa. Ruby ragu beberapa detik sebelum akhirnya masuk. Udara dingin langsung menyambutnya. Di dalam, hanya ada satu kasur tipis di atas lantai semen, satu meja kecil, dan termos tua di pojok ruangan. "Maaf, cuma ini yang kupunya," gumam Nio singkat sambil berjalan ke termos. Dia menuangkan air panas ke dua cangkir kaleng penyok, lalu mengambil kantung teh dari dalam kotak sepatu bekas. Ruby duduk di pojok kasur, memeluk lututnya. “Kasurnya tipis ya,” ucapnya pelan, mencoba mencairkan suasana. Nio hanya mengangguk, lalu menyodorkan satu cangkir teh ke arah Ruby. "Hangatkan badanmu." Ruby menerimanya dengan tangan gemetar, bukan karena ta
Di kota Macau, pada malam yang basah dan bergelombang oleh cahaya neon, seorang pria ditemukan terkapar di bawah teriknya lampu jalan dan hujan yang mengguyur dengan garang. Tubuhnya dipenuhi luka, darah mengalir dari pelipis, pergelangan tangan terkilir, dan tulang rusuk yang kemungkinan retak. Pria itu adalah Ethan Ellias Zaferino, nama yang bergema bagai lonceng kematian di dunia kriminal Asia. dia adalah pewaris keluarga mafia paling ditakuti, seseorang yang ditakdirkan untuk memegang kekuasaan lebih besar dari yang pernah dibayangkan. Namun malam itu, semua tentang dirinya, semua kejayaan dan kebengisan, terhapus begitu saja. Kecelakaan misterius atau mungkin pengkhianatan yang sudah lama disusun menghancurkan segalanya. Ketika matanya terbuka kembali dua minggu kemudian, dunia yang dikenalnya telah lenyap. Dia terbangun di sebuah kamar kecil dengan aroma kayu lapuk dan suara angin yang menggoyangkan jendela. Tidak ada nama yang terlintas di kepalanya. Tidak ada wajah yang t