Suara mesin detak jantung terdengar stabil, ritmenya jauh lebih tenang daripada hari-hari sebelumnya. Nio duduk di sisi ranjang, memegang tangan keriput yang terasa hangat di genggamannya. Nenek Lina masih tampak lemah, namun matanya yang kini terbuka menyiratkan ketenangan.
"Kau sadar, Nek..." bisik Nio pelan, senyumnya muncul perlahan. Nenek Lina mengangguk lemah. Nio menggenggam tangan nenek itu lebih erat. "Terima kasih... karena tidak menyerah padaku." Suaranya serak, menahan emosi yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun sebelumnya. Beberapa menit kemudian, ia keluar dari kamar rumah sakit, menghela napas lega. Cahaya senja menyusup dari jendela lorong, dan di ujung sana, Ruby berdiri menunggu dengan tangan dilipat di depan dada. "Siapa dia?" tanya Ruby pelan, nadanya datar tapi matanya lembut. Ruby mendekat, lalu bersandar ke dinding di samping Nio. "Kau bilang tidak punya keluarga? Dengar, meski pun Kau bersedia menikah denganku untuk biaya operasi itu... Tapi aku juga bukan orang yang akan membiarkan orang menderita, apalagi kalau itu menyangkut keluarga orang yang penting." Nio menoleh ke arahnya, wajahnya masih tenang tapi sorot matanya mulai berubah. Ruby melanjutkan, "Jadi kalau Kau berpikir pernikahan ini cuma karena aku mau ‘membayar’ bantuanmu, Kau salah." Seketika Nio berkata datar, "Kalau begitu... kita tidak jadi menikah." Ruby menatapnya cepat. "Jangan tarik kesimpulan sendiri." Ia menarik nafas dalam-dalam. "Kita tetap akan menikah. Karena aku ingin menikah denganmu, bukan cuma karena masalah uang. Aku akan bantu Kau, dan kalau Kau mau... aku bisa kasih semua yang Kau butuh, bukan cuma biaya rumah sakit." Nio menatap Ruby lama. Ada pertarungan dalam dirinya. Akhirnya ia berkata pelan, "Aku mungkin tidak bisa mencintaimu, tapi aku akan berusaha menjadi suami yang layak untukmu." Ruby menatap matanya dalam-dalam. "Aku juga tidak butuh cinta sekarang. Aku cuma ingin Kau di sisiku, itu sudah cukup." Hening menyelimuti mereka sesaat. Nio menunduk pelan. Lalu Ruby membuka suara lagi, kali ini lebih lembut: "Tapi aku penasaran... Kau tidak pernah tanya, kenapa aku minta Kau menikahi aku?" Nio menggeleng. "Aku tidak pensaran." “Baiklah, aku mengerti. Kalau begitu sekarang kau harus ikut dengaku!” seru Ruby berbalik. Dengan alis sedikit berkerut, Nio bertanya datar, "Ke mana kita pergi?" Ruby tersenyum samar, sorot matanya teduh namun menyiratkan sesuatu yang jauh lebih dalam. Tanpa ragu, ia menjawab dengan suara tenang, "Ke neraka." *** Malam itu di ruang tamu rumah keluarga Ruby, suasana terasa berat, penuh ketegangan yang hampir bisa diraba di udara. Ruby duduk tegak di sofa besar berlapis kulit, sementara Nio, dengan pakaian lusuh dan rambut sedikit berantakan, duduk di sisi lain, menundukkan kepala dengan sopan. Di hadapan mereka, Ayah Ruby, Tuan Ashaki, seorang pria paruh baya bertubuh tegap dengan sorot mata keras, duduk dengan tangan bertumpu pada tongkat kayu. Wajahnya menunjukkan ketidakpuasan yang tidak ia sembunyikan. Di sampingnya, Ibu Ruby, Nyonya Ashaki, memandang dengan raut wajah khawatir. "Siapa pria lusuh ini yang kau bawa masuk ke rumah kita, Ruby?" tanya Ayahnya dengan suara berat dan tajam, nyaris seperti gertakan. Ruby mengangkat dagunya, matanya menatap ayahnya tanpa gentar. Dengan suara lantang yang bergema di seluruh ruangan, ia berkata, "Dia calon suamiku. Aku akan menikah dengannya. Namanya Nio." Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan sebelum Tuan Ashaki membentak, suaranya meledak marah, "Apa alasannya? Apa kau sudah kehilangan akal sehatmu?" Alih-alih takut, Ruby justru tersenyum kecil, senyum tipis namun sarat makna. Dengan tenang, ia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan selembar kertas resmi, lalu meletakkannya di atas meja, mendorongnya ke arah ayahnya. "Itu hasil visum," kata Ruby ringan namun tajam. "Aku sudah tidur dengannya. Tubuhku sudah bukan lagi milik pria mana pun yang Ayah rencanakan untuk aku nikahi." Ayah Ruby menatap kertas itu dengan rahang mengeras, sementara wajahnya memerah karena menahan amarah. Ruby melanjutkan dengan suara dingin, "Tidak mungkin pria seperti Gerry atau siapa pun mau menerimaku dalam keadaan seperti ini. Dan kemungkinan aku hamil juga sangat besar, karena kami melakukannya tanpa perlindungan." Kata-kata itu jatuh seperti palu godam di tengah ruang tamu yang kini terasa membeku. Tuan Ashaki membanting tangan ke meja, lalu bangkit dengan geram, mengangkat tangannya hendak menampar Ruby. Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh pipi putrinya, tangan lain yang lebih kuat menangkap pergelangannya. Nio, yang sedari tadi diam, kini berdiri di antara Ruby dan ayahnya. Sorot matanya tegas, namun sikapnya tetap penuh hormat. Dengan gerakan perlahan, Nio melepaskan cengkeramannya, lalu berlutut di hadapan Tuan Ashaki. Kepala Nio tertunduk dalam-dalam, sikapnya penuh kerendahan hati. "Saya mohon pengertian dan restu Anda, Tuan," ucap Nio, suaranya serak namun mantap. "Saya mungkin telah menodai kehormatan Ruby, tetapi saya bersumpah akan bertanggung jawab penuh. Saya akan menjaga dan melindunginya, seumur hidup saya." Ayah Ruby menatap Nio dengan mata menyala-nyala, tetapi kali ini ada keraguan yang menahan kemarahannya. Ibu Ruby hanya bisa menutup mulutnya, menahan isak kecil. Dalam diam yang panjang itu, Ruby menatap punggung Nio, dan untuk pertama kalinya malam itu, ada kilatan rasa kagum dalam matanya. Nio, yang tak memiliki apa pun, tetap berlutut untuk mempertahankan harga diri dan martabat mereka berdua. *** Musik orkestra mengalun lembut di ballroom hotel bintang lima di pusat kota Macau. Kristal menggantung indah dari langit-langit, memantulkan cahaya keemasan yang memeluk ruangan. Para tamu berdandan mewah, menyambut dua sosok yang melangkah perlahan di tengah karpet putih yang dibentangkan sepanjang altar. Ruby mengenakan gaun pengantin berwarna putih gading yang jatuh sempurna membingkai tubuhnya. Riasan wajahnya tampak elegan namun tetap lembut, dan senyumnya mengembang lebar penuh ketegangan dan harapan. Di sampingnya, Nio berjalan dalam setelan jas hitam yang pas di tubuh tegapnya. Dasi kupu-kupu yang dikenakannya membuatnya terlihat seperti pria dari sampul majalah. Tapi wajahnya... datar. Tak ada senyum, tak ada emosi yang terlihat jelas. Ia melangkah tenang, tapi jauh di dalam dirinya, hanya sunyi dan beban. Pandangan Ruby sesekali mencuri tatapan ke arah Nio, mencoba mencari secercah keyakinan di wajah pria yang kini akan menjadi suaminya. Tapi ia hanya menemukan sorot mata yang tak terbaca. Tiba di altar, pendeta memulai upacara dengan suara tenangnya. Musik berhenti, dan dunia seakan mengecil hanya pada mereka berdua. “Nio Alenka... apakah kau bersedia menerima wanita ini sebagai istrimu, dalam suka dan duka, sehat dan sakit, kaya maupun miskin, sampai maut memisahkan?” “Saya bersedia.” jawabnya datar. “Zhen Ruby Ashaki, apakah kau bersedia menerima pria ini sebagai suamimu, dalam suka dan duka, sehat dan sakit, kaya maupun miskin, sampai maut memisahkan?” “Saya bersedia,” jawabnya tanpa keraguan. Pendeta mengangguk. “Dengan ini, saya nyatakan kalian sah sebagai suami istri.” Tepuk tangan memenuhi ruangan. Kilatan kamera datang dari berbagai arah. Musik kembali dimainkan dengan irama meriah. Ruby menggenggam tangan Nio erat, dan kali ini, menatapnya penuh harap. Tapi Nio hanya membalas dengan anggukan kecil, senyum tipis yang nyaris tidak terlihat. Dalam dunia yang kini menyaksikan mereka sebagai pasangan bahagia, hanya mereka berdua yang tahu. Bersambung ...Kantor itu tampak sepi saat Nio masuk. Langkah kakinya bergema di lantai marmer yang mengkilap. Lampu-lampu gantung bergaya minimalis menggantung di langit-langit tinggi, menciptakan suasana yang dingin dan steril. Di tengah ruangan luas itu, pintu kaca buram tampak setengah terbuka. Nio mendorongnya perlahan dan melangkah masuk.“Sarah?” panggilnya, matanya menyapu ruangan yang tertata rapi tapi kosong.Tiba-tiba, dari balik tirai, Sarah muncul dengan kilat tajam di matanya dan di tangannya, sebuah pisau berkilat meluncur cepat ke arah Nio. Refleks, Nio menangkis dengan lengannya, tapi serangan lanjutan datang tanpa jeda. Sarah menyerang dengan kecepatan dan presisi seperti seorang pemburu yang sangat mengenal mangsanya.Nio mundur selangkah, mencoba menghindar, tapi Sarah berhasil menyudutkannya ke tembok. Pisau dingin kini menempel di lehernya, nyaris menggores kulit.“Masih bisa bertarung rupanya,” bisik Sarah dengan senyum miring. Napasnya pendek tapi terkendali. “Kau belum kehil
Ruby tertawa, dan meski ia tahu hari itu mungkin akan kembali membawa mereka pada rencana, bahaya, dan keputusan penting pagi ini milik mereka.Nio masih memeluk Ruby erat ketika suara getaran ponsel di atas nakas mengusik ketenangan pagi mereka. Getaran itu pelan, tapi cukup mengganggu keheningan yang damai. Ruby memejamkan mata lebih erat, berharap suara itu hanya bayangan. Tapi detik berikutnya, bunyi itu terdengar lagi. Lebih keras.Nio mendesah, kepalanya masih terbenam di lekuk leher Ruby. “Jangan sekarang.”Ruby membuka matanya perlahan. “Angkat saja,” ujarnya lembut. “Mungkin penting.”Nio mengangkat wajahnya sedikit, menatap Ruby seolah berharap ia akan berubah pikiran. Tapi Ruby hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan. Dengan enggan, Nio bangkit, duduk di tepi ranjang, dan mengambil ponselnya.Nama yang tertera di layar membuat rahangnya mengencang, Sarah.Ia sempat ragu. Jari-jarinya melayang di atas layar ponsel ta
Ruby tertawa pelan, napasnya berembun. Tapi tawa itu segera lenyap saat Nio membungkuk dan mengangkat tubuhnya perlahan, membawanya ke arah ranjang. Ia meletakkan Ruby dengan hati-hati, seolah wanita itu adalah sesuatu yang terlalu berharga untuk dijatuhkan begitu saja.Cahaya lampu redup menyelimuti mereka, menciptakan bayangan hangat di dinding ruangan. Nio menyusul Ruby di atas ranjang, dan mereka saling menatap dalam diam yang penuh makna. Tangan mereka saling menggenggam, seolah tak ingin melepaskan lagi. Tak ada lagi jarak. Tak ada lagi keraguan.Nio kembali mencium Ruby lebih panas dari sebelumnya, tangan Ruby memeluk punggung lebar Nio yang mulai melepaskan pakaiannya. Tangan besar itu bahkan dengan berani melepaskan kancing-kancing blouse yang Ruby kenakan.Mata mereka bertemu dalam kerinduan yang dalam, Nio kembali mencium bibir Ruby dalam penyatuan yang hangat dan penuh dengan perasaan. Ruby membiarkan Nio menguasai tubuhnya. Kerinduan yang suda
Ruby hanya bisa menatap Nio dengan campuran marah, sedih, dan ngeri. “Kau seharusnya memberitahuku.”“Aku tidak bisa,” Nio menatapnya. “Jika Sarah tahu siapa orang terdekatku, dia akan menggunakan mereka untuk menyakitiku. Dan kau… adalah kelemahanku yang paling nyata.”Air mata mengalir di pipi Ruby, tak tertahankan. “Dan sekarang? Dia kembali. Duduk di sebelahmu, tertawa seperti tak pernah terjadi apa-apa.”Nio mengepalkan tangannya. “Aku membiarkannya dekat hanya untuk mengetahui rencananya. Tapi aku tak sanggup melihatnya bersamamu dalam satu ruangan. Aku… takut kau akan menjadi target selanjutnya.”Ruby menggeleng, air matanya semakin deras. “Lalu kenapa malam ini? Kenapa kau kembali sekarang?”“Karena aku tak bisa lagi menjauh darimu,” bisik Nio. “Dan aku janji, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu. Termasuk Sarah.”Ruby menatap Nio, matanya bergetar. Ada ketakutan, tapi juga kepercayaan yang perlahan kembali tum
Sunyi mengisi ruang di antara mereka selama beberapa detik.“Dan sekarang?” tanya Ruby lirih.“Sekarang aku tak mau sembunyi lagi. Tapi aku juga tidak bisa langsung kembali. Ada hal-hal yang harus selesai. Termasuk urusan dengan Sarah.”Ruby memandangi wajah Nio yang diterangi lampu dasbor. Dia ingin percaya. Dia ingin semuanya bisa kembali seperti dulu, tapi dia tahu segalanya telah berubah.Akan tetapi, untuk malam ini, berada di samping Nio saja sudah cukup.Dia bersandar pada kursi, menatap jalan yang terus melaju ke depan.“Kalau begitu,” katanya lembut, “antar aku ke rumahmu.”*** Mobil berhenti perlahan di depan sebuah rumah bergaya Jepang modern yang berdiri tenang di balik deretan pohon kamper yang rapi. Rumah itu tidak terlalu besar, tetapi tampak kokoh dan terjaga. Taman mungil dengan batu dan pohon bonsai menyambut mereka dengan kesunyian yang elegan.Ruby turun lebih dulu, memandang sekeli
Gerry menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil melirik jam tangannya. Sudah hampir lima belas menit sejak Ruby dan Nio keluar dari meja makan dengan alasan menuju toilet. Hidangan penutup sudah disajikan, tetapi tak seorang pun menyentuhnya.Sarah mengerucutkan bibirnya, memainkan sendok pencuci mulut dengan gelisah. “Lama sekali mereka,” gumamnya.Tepat saat itu, ponsel Gerry bergetar. Dia mengambilnya dengan malas, lalu tertawa kecil begitu membaca pesan yang baru saja masuk.“Apa?” tanya Sarah cepat, menoleh penuh curiga.Gerry mengangkat ponselnya, menunjukkan layarnya ke arah Sarah. “Ruby. Dia bilang, [Maaf, aku harus pulang lebih dulu. Tidak sempat pamit. Terima kasih untuk malam ini.]”Tawanya makin menjadi, seperti menyaksikan lelucon yang hanya dia sendiri yang mengerti.Sarah memandang layar itu dengan ekspresi tak percaya. Alisnya menegang, garis rahangnya mengeras. “Dia pulang?” ulangnya, suaranya penuh nada din