LOGINSepeninggal Ruby, Seorang pria paruh baya mendekat dengan langkah tenang. Wajahnya bersahabat, dan meski ada sedikit keraguan di matanya, dia menyambut dengan sikap profesional.
"Selamat datang, Pak Nio," ucap Andre sambil sedikit membungkuk sopan. "Saya Andre Villas, manajer senior logistik. Senang akhirnya bisa bertemu langsung." Nio berdiri, membalas jabat tangan pria itu dengan kuat, tetapi tidak berlebihan. "Senang bisa bergabung. Saya harap tidak merepotkan." Andre menggeleng dengan senyum kecil. "Tentu tidak. Kami sudah diberitahu tentang penempatan Anda. Meja Anda ada di sana," ujarnya sambil menunjuk ke sebuah meja besar di sisi jendela, dekat rak arsip dan monitor status gudang. Tempat itu tidak mencolok, tetapi strategis. Dari sana, Nio bisa memantau ruangan sekaligus bekerja dengan tenang. Meja itu bersih, hanya ada beberapa dokumen penting dan laptop yang sudah disiapkan. “Jika Anda butuh apa-apa, saya atau Mia bisa bantu,” lanjut Andre sambil melirik ke arah seorang wanita muda yang tengah membawa tablet. Wanita itu segera melangkah mendekat. Dia tersenyum sopan dan memperkenalkan diri. “Selamat pagi, Pak Nio. Saya Mia Shan, asisten manajer operasional. Saya yang biasanya memantau alur distribusi dan laporan harian. Senang bisa bekerja dengan Anda.” Nio mengangguk, matanya tajam, tetapi suaranya tetap tenang. “Terima kasih, Mia. Kita akan bekerja sama mulai sekarang.” Tidak lama, dua staf lain juga menghampiri. Salah satunya pria muda dengan kemeja abu-abu yang terlihat gugup. “Saya Haris Riddle, staf inventaris,” ujarnya cepat sambil sedikit membungkuk. “Kalau Bapak butuh laporan data masuk-keluar gudang, saya yang pegang.” Dan seorang wanita berkacamata menambahkan, “Saya Peggy Chan. Biasanya saya mengatur komunikasi antar-departemen dan rekap data mingguan.” Nio mendengarkan semua perkenalan itu dengan tenang, mencatat nama-nama dan tugas mereka dalam pikirannya. Andre memandang Nio sejenak, lalu berkata dengan nada menghormati, tetapi tanpa tekanan, “Kami di sini siap membantu, Pak Nio. Kami tahu ini hari pertama Anda, jadi tak perlu terburu-buru. Pelajari dulu alurnya, kenali ritmenya. Anda bisa mulai dari mana saja yang Anda rasa paling nyaman.” Nio menatap manajer itu dan mengangguk. “Terima kasih, Pak Andre. Saya akan mulai dari laporan minggu lalu. Saya ingin tahu dulu pola alurnya.” Andre tersenyum, puas dengan jawaban itu. “Itu pilihan bijak. Kalau begitu saya akan minta Mia mengirim datanya ke laptop Anda.” Mia pun mengangguk cepat. “Akan saya kirim segera, Pak.” Setelah itu, para pegawai kembali ke meja masing-masing. Nio duduk di kursinya. Dia menggerakkan mouse, membuka file yang masuk, dan mulai membaca dengan fokus penuh. Tidak ada senyum sambutan yang hangat, tidak ada kue perayaan seperti biasanya untuk kepala baru. Akan tetapi, tidak ada tekanan juga. Hanya sikap hormat dan profesional, yang justru membuat Nio merasa lebih nyaman. *** Siang hari menjelang sore, sinar matahari mengintip samar dari balik tirai tipis jendela kaca besar di belakang meja kerja Ruby. Di balik tumpukan berkas dan layar laptopnya, Ruby duduk bersandar dengan tangan menopang dagu. Pintu ruangannya diketuk pelan. “Masuk,” ucap Ruby tanpa menoleh. Seorang pria berjas hitam dengan wajah tenang dan sedikit uban di pelipisnya melangkah masuk. Wajahnya tidak asing. Dia Ronny, asisten pribadi Ayah Ruby selama lebih dari dua dekade. Setia, kalem, dan selalu menjadi penyampai pesan yang tidak pernah bisa diabaikan. "Maaf mengganggu, Nona Ruby," sapanya sopan, lalu mendekat. “Tuan Ashaki menitipkan pesan untuk Anda.” Ruby menarik napas panjang, lalu mengalihkan pandangan ke pria itu. “Apa kali ini? Proyek ekspansi? Audit mendadak?” Ronny tersenyum tipis. “Tidak, Nona. Beliau mengundang Anda makan malam ini di rumah. Bersama suami anda, Tuan Nio.” Ruby mengerutkan alisnya. “Makan malam?” gumamnya pelan, lalu menggeleng. “Aku sedang tidak dalam mood untuk drama keluarga.” Ronny tidak terkejut dengan respon itu. Dia tahu benar watak ayah dan anak ini, keras kepala yang sama. “Saya mengerti. Tapi Tuan Ashaki ingin memastikan ... Anda dan Tuan Nio benar-benar menjalani pernikahan ini dengan serius.” Ruby memutar matanya, menahan dengkusan frustasi. “Dia selalu menuntut. Aku sudah menikah! Apa dia masih belum puas?” Ronny menundukkan kepala sedikit. “Tuan Ashaki belum benar-benar memberi restu, Nona. Dan Anda tahu ... beliau masih mempertimbangkan kemungkinan lain.” Ruby menajamkan tatapannya, mencoba menerka maksud ucapan Ronny. “Maksudmu dia masih ingin aku cerai dan menikah dengan pria pilihannya?” Ronny tidak menjawab langsung, hanya diam sejenak dan diam itu sendiri adalah jawaban. Ruby menghela napas panjang, lalu menengadah, memejamkan mata. Dia tahu ayahnya bukan tipe yang mudah percaya, apalagi menerima sesuatu yang melenceng dari rencananya. Baginya, pernikahan Ruby dan Nio adalah bentuk pembangkangan, bukan keputusan cinta apalagi kalau cinta belum pernah disebut dalam rumah tangga itu. “Baiklah,” gumam Ruby akhirnya. “Katakan aku akan datang.” Ronny tersenyum kecil, menunduk hormat. “Saya akan sampaikan pada beliau. Terima kasih atas pengertiannya, Nona.” Ruby tidak menanggapi. Begitu Ronny keluar dan menutup pintu, Ruby mendesah keras. Dia menyandarkan kepala ke kursi, menutup matanya sebentar, lalu memijit pelipisnya yang terasa berat. Perlahan dia berbisik pada dirinya sendiri, “Bisakah aku benar-benar melanjutkan pernikahan ini?” Hening menyelimuti ruangan mewah itu. Ruby menoleh ke arah tablet di samping laptopnya, yang memuat daftar struktur karyawan baru. Nama Nio Alenka terpampang sebagai Kepala Bagian Operasional Logistik. Dia memandang nama itu lama, bibirnya mengerucut kecil. “Apa kau akan sanggup, Nio?” bisiknya lirih. “Apa kau bisa bekerja dengan baik di dunia yang penuh politik dan tekanan ini?” Dia sendiri tidak tahu jawabannya. Bersambung ...Hari itu, kebahagiaan menyelimuti mereka. Tangis kecil sang bayi menjadi awal baru bagi keluarga mereka.Pintu ruang persalinan akhirnya terbuka. Seorang perawat keluar dengan senyum hangat dan mempersilakan keluarga masuk. Nio yang sejak tadi gelisah langsung berlari kecil ke dalam. Begitu melihat Ruby berbaring di ranjang dengan wajah lelah namun tersenyum, hatinya langsung bergetar.Tanpa ragu ia menghampiri, menggenggam tangan Ruby erat, lalu menunduk mencium keningnya. “Terima kasih, sayang … kamu sudah berjuang begitu keras hari ini,” bisiknya dengan suara bergetar. Matanya berkaca-kaca, penuh rasa syukur karena istrinya selamat dan bayi mereka lahir dengan sehat.Ruby menatap Nio dengan senyum tipis, meski lelahnya tak bisa disembunyikan. “Aku bahagia, Nio… akhirnya kita berhasil sampai di sini.”Tak jauh dari mereka, seorang perawat menyerahkan bayi mungil itu pada Tuan Ashaki dan Nyonya Ashaki yang sudah tak sabar menunggu. Saat bayi mungil perempuan itu berada di gendongan,
Pertanyaan itu membuat Nio tersenyum tipis. Ia menggeleng, lalu menatap Ruby dengan penuh ketulusan.“Tidak, Ruby. Aku sama sekali tidak kecewa. Aku bahkan tidak pernah benar-benar memikirkan soal jenis kelamin. Yang paling penting bagiku… kamu dan bayi kita sehat. Sampai nanti, saat waktunya tiba, aku hanya ingin kalian berdua selamat dan bahagia.”Mata Ruby terasa panas, haru memenuhi dadanya. Ia menoleh, menatap wajah suaminya yang begitu dekat. “Terima kasih, Nio … kamu selalu ada di sisiku, padahal aku tahu kesibukanmu di perusahaan pusat makin berat belakangan ini. Aku takut merepotkanmu.”Nio menghela napas lembut, lalu mendekatkan wajahnya hingga kening mereka hampir bersentuhan. “Ruby, dengar aku. Tidak ada yang lebih penting dalam hidupku selain kamu … dan kehidupan kecil yang ada di dalam perutmu. Perusahaan, pekerjaan, semua itu bisa kuatur. Tapi kamu? Kamu tidak tergantikan. Kamu adalah rumahku, dan bayi kita adalah masa depan yang ingin kujaga.”Air mata jatuh membasah
Beberapa bulan pun berlalu, hingga kini usia kandungan Ruby sudah memasuki tujuh bulan. Perutnya tampak bulat sempurna, dan setiap gerakan kecil dari sang bayi membuatnya semakin dekat dengan kenyataan bahwa sebentar lagi ia akan menjadi seorang ibu. Hari itu, keluarga besar berkumpul dalam sebuah acara sederhana namun hangat. Acara menebak gender bayi Ruby dan Nio.Tuan Ashaki datang dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan serba biru. Dasi, sapu tangan, bahkan jam tangannya pun berwarna biru, seolah menegaskan keyakinannya bahwa cucu pertamanya akan lahir sebagai laki-laki. Sementara itu, Nyonya Ashaki tampil anggun dalam gaun berwarna pink lembut, lengkap dengan bros bunga di dadanya. Ia tersenyum manis sambil sesekali melirik suaminya dengan tatapan penuh tantangan, yakin bahwa nalurinya sebagai seorang ibu tak akan salah: cucu mereka adalah seorang putri kecil.Nio berjalan perlahan mendampingi Ruby, menggenggam tangannya dengan hati-hati agar ia tidak kehilangan keseimbanga
Satu bulan kemudian.Cahaya matahari baru saja mengintip malu dari balik tirai kamar. Ruby terbangun lebih awal dari biasanya, tubuhnya terasa berat dan tidak nyaman. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba mengusir kantuk, namun rasa pusing yang datang membuatnya terpaksa duduk sambil memegangi kepala. Sudah beberapa hari terakhir ia merasakan hal aneh. Tubuh lelah, mudah mual, dan kadang kehilangan selera makan. Namun pagi ini, rasa itu lebih kuat dari biasanya.Di dapur, terdengar suara panci dan aroma roti panggang. Nio tengah sibuk menyiapkan sarapan. Sejak pernikahan mereka yang kedua kali, ia lebih sering meluangkan waktu di pagi hari untuk memastikan Ruby mendapat makanan hangat sebelum memulai aktivitas. Perlahan ia melangkah keluar kamar. Baru beberapa langkah, aroma masakan semakin kuat masuk ke hidungnya, dan tiba-tiba perutnya bergejolak hebat. Ruby berhenti sejenak, lalu menutup mulutnya. Namun tak mampu menahan lebih lama, ia segera berlari ke wastafel terdekat dan memunta
Nio mengangguk, hatinya kian mantap. Ia berdiri, lalu membantu nenek Lina berjalan ke kursi yang telah disiapkan Markus di sudut ruangan.Sebelum duduk, nenek Lina menoleh sekali lagi pada Nio. “Hari ini, Nak, bukan hanya pesta ulang tahun pernikahan. Hari ini adalah bukti bahwa cinta bisa tumbuh kembali, bahkan setelah badai sekalipun. Peganglah itu baik-baik.”Nio tersenyum tulus, menunduk hormat. “Aku akan selalu mengingatnya, Nek.”Hari ini, ia siap berdiri di samping Ruby, tak hanya sebagai suami, tapi sebagai pria yang akan selalu menjaga cintanya.***Langit sore di tepi pantai terlihat indah, dihiasi semburat jingga yang perlahan berpadu dengan biru laut. Angin membawa aroma asin yang lembut, sementara debur ombak menjadi irama alami yang mengiringi suasana sakral sore itu. Di tengah hamparan pasir putih, sebuah altar sederhana berdiri, dihiasi rangkaian bunga putih dan merah muda yang menjuntai, membuat tempat itu tampak hangat dan penuh cinta.Acara hanya dihadiri oleh orang
Ruang rias itu dipenuhi aroma lembut bunga segar dan wangi bedak halus. Ruby duduk tenang di depan meja rias besar dengan cermin yang dikelilingi lampu-lampu kecil, membuat wajahnya tampak bersinar. Jemari perias bekerja luwes, menyapukan kuas tipis ke pipinya, memberi rona alami yang lembut. Rambutnya ditata sederhana dengan sanggul rendah, dihiasi hiasan kecil berbentuk bunga putih. Ruby menatap pantulan dirinya di cermin, hatinya bergetar. Hari ini ia mengenakan gaun pengantin lagi, tapi dengan rasa yang benar-benar berbeda.Gaun putih sederhana yang dipilihnya beberapa hari lalu kini membalut tubuhnya dengan sempurna. Tidak ada detail berlebihan, hanya potongan yang anggun dan elegan, seakan gaun itu memang dibuat khusus untuknya. Ruby meraba perlahan kain gaun itu, merasakan kehalusan teksturnya. Senyumnya muncul tipis, campuran gugup dan bahagia.Pintu ruang rias berderit pelan. Nyonya Ashaki masuk dengan langkah anggun, membawa kehangatan seorang ibu yang selalu menenangkan. Sa







