Cahaya lembut matahari menyelinap melalui tirai tipis kamar mewah itu, menyapu lantai marmer dan dua ranjang terpisah di sisi kanan dan kiri ruangan. Ruby terbangun lebih dulu. Dia duduk perlahan di atas ranjangnya, rambut panjangnya tergerai sedikit kusut, dan wajahnya masih setengah tenggelam dalam kantuk.
Pandangannya melirik ke ranjang sebelah, Nio yang juga mulai membuka mata. Ruby menarik napas, lalu bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. "Aku mandi dulu," ucapnya pelan, tanpa menoleh. Suaranya terdengar formal, nyaris seperti menyapa rekan kerja. Dari ranjangnya, Nio hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Suara air mengalir di balik pintu kamar mandi menjadi satu-satunya irama di kamar yang sepi itu. Beberapa menit kemudian, Ruby keluar dalam balutan jubah mandi putih, rambutnya sudah dikeringkan sebagian. Nio bangkit dari ranjang tanpa suara, mengambil pakaian dari lemari, lalu berjalan masuk ke kamar mandi tanpa bertukar pandang dengan Ruby. Tidak ada cara bikin madu. Pernikahan ini hanya formalitas, itu sebabnya mereka kan memulai hari dengan kembali ke tempat kerja. Bedanya, mulai hari ini Nio akan ikut bekerja di perusahaannya Ruby. Keduanya pun turun ke ruang makan setelah memastikan pakaian kerja mereka rapi. Di sana pelayan rumah telah menyiapkan sarapan sederhana, roti panggang dan dua cangkir kopi panas. Makanan tertata rapi di meja panjang, tetapi suasananya terlalu tenang untuk disebut sarapan pengantin baru. Ruby duduk lebih dulu, menarik kursinya tanpa tergesa. Nio menyusul, duduk di seberangnya. Tidak ada kata selamat pagi, tidak ada senyum yang seharusnya muncul di pagi hari dari pasangan yang baru menikah. Hanya bunyi sendok menyentuh piring, dan gelegak kecil kopi yang dituangkan dari teko oleh pelayan. Ruby mulai membuka percakapan, “Hari ini kamu mulai bekerja.” Nio mengangguk, menyobek sepotong roti. “Di mana aku ditempatkan?” “Aku sudah siapkan posisi kepala bagian logistik dan pemeliharaan. Gajinya mungkin tidak tinggi seperti direktur atau manajer senior, tapi itu cukup untuk permulaan,” jawab Ruby tenang, suaranya datar, tetapi tidak terdengar merendahkan. Nio memandang cangkir kopinya sejenak, lalu berkata pelan, “Aku tidak keberatan. Aku tidak butuh posisi tinggi. Aku akan bekerja sebaik mungkin ... tanpa merepotkan siapa pun.” Kata-kata itu membuat Ruby terdiam sesaat. Dia mengangkat cangkir kopinya, menghabiskannya dalam satu tegukan sebelum berkata pendek, “Bagus.” Mereka melanjutkan makan dalam diam. Sesekali bunyi sendok atau kursi yang bergeser menjadi satu-satunya percakapan yang terdengar. Setelah sarapan, keduanya bersiap menuju kantor. Sebuah mobil hitam mewah sudah menunggu di depan apartemen. Sopir membukakan pintu. Ruby masuk lebih dulu, diikuti Nio. Di dalam mobil, mereka duduk berdampingan, tetapi tidak satu pun dari mereka membuka suara sepanjang perjalanan. Di luar jendela, kota Macau menyambut pagi dengan semarak, kendaraan mulai padat, pejalan kaki bergegas ke tujuan mereka, papan iklan elektronik berkilau dengan warna mencolok. Akan tetapi, di dalam mobil itu, waktu seolah-olah berjalan lambat. Ruby mencuri pandang ke arah Nio. Pria itu duduk tegak dengan pandangan lurus ke depan, wajahnya tidak menunjukkan perasaan apa pun. Namun, Ruby tahu di balik wajah dingin itu, ada dunia yang belum bisa dia jamah. Dunia yang masih tertutup rapat. Dan dia pun sadar, Nio bukan hanya pria yang dia nikahi karena kesepakatan. Nio adalah teka-teki yang belum selesai, dan entah sejak kapan, Ruby ingin memecahkannya. Begitu tiba di gedung perusahaan, para karyawan yang sudah mengetahui berita pernikahan keduanya, memberi salam lebih dulu, dengan campuran rasa ingin tahu dan sungkan. Ruby hanya mengangguk formal, sementara Nio membalas dengan sopan tanpa senyum. Di lantai 14, tempat departemen logistik berada, Ruby memperkenalkan Nio secara singkat. “Ini Kepala Bagian Logistik yang baru. Mulai hari ini, semua laporan langsung ke beliau.” Para karyawan menyambut dengan anggukan dan sapaan, meski terlihat bingung. Mereka tahu siapa Nio, setidaknya mereka tahu bahwa dia adalah suami dari presiden direktur mereka. Pria itu berdiri di tengah ruangan dengan kemeja lengan panjang hitam dan celana bahan sewarna kemejanya, membawa tatapan mata yang tidak bisa diremehkan. Setelah memberikan sedikit arahan, Ruby menyentuh lengan Nio dan berbisik pelan, “Selamat bekerja di hari pertama. Bersikaplah dengan nyaman,” ucapnya lalu kembali ke lantai eksekutif tempatnya bekerja. Sementara itu, Nio berdiri di tengah ruang kantor barunya. Dia menarik napas panjang dan memandangi kertas-kertas di meja yang kini menjadi tanggung jawabnya. Ini bukan tempat yang dia impikan, tetapi juga bukan tempat yang akan dia abaikan. Nio tahu kalau hari-harinya akan lebih menantang daripada sebelum dia menikahi Ruby. Bersambung ...Kalimat itu membuat Ruby tertawa kecil, meski air matanya tetap jatuh. “Kamu tau tidak, aku benci banget rasanya kangen sama kamu?” candanya, mencoba menutupi haru yang melanda.Nio ikut tertawa, lalu menyentuh pipinya untuk menghapus air mata itu. “Kalau begitu, biar aku pastiin kamu tidak perlu kangen lagi.”Mereka saling berpandangan sejenak, lalu sama-sama tertawa. Ruby memiringkan kepalanya, mencium ujung hidung Nio, membuat lelaki itu spontan tertawa lagi. “Kamu ini kenapa jadi manja banget?” goda Nio.Ruby hanya mengangkat bahu pura-pura polos. “Salah sendiri datang setelah bikin aku nunggu lama. Jadi, siap-siap aja, aku tidak bakal berhenti nyentuh kamu.”“Silakan,” jawab Nio dengan nada santai, tapi matanya memancarkan rasa yang dalam.Ruby menelusuri wajahnya lagi, dahi, pelipis, rahang, lalu ke bibirnya. Kali ini Nio yang bergerak, menangkap jemari Ruby dan menciumnya satu per satu. Gerakan itu membuat Ruby tersipu.“T
Selesai sarapan, Nio mengusap tangannya dengan serbet lalu berkata, “Biar aku yang cuci piring.”Ruby hanya tersenyum mengangguk, walau sebenarnya ia ingin ikut membantu. Tapi entah mengapa, ia ingin melihat pemandangan sederhana itu. Nio berdiri di dapurnya, mengerjakan pekerjaan rumah, seolah semua waktu yang hilang tak pernah ada.Air mengalir pelan di wastafel, suara gesekan piring terdengar lembut. Ruby duduk di kursi, tapi matanya tak lepas dari punggung Nio. Ada sesuatu yang menenangkan sekaligus membuatnya enggan berkedip. Punggung bidang itu, gerakan tenangnya, bahkan cara bahunya bergerak semua terasa begitu nyata, terlalu berharga untuk dilewatkan.Nio, yang menyadari tatapan itu, terkekeh tanpa menoleh. “Kalau kamu menatap seperti itu terus, punggungku bisa bolong, tau?” suaranya ringan tapi penuh kehangatan.Ruby tersipu, tapi tidak menjauh. Perlahan, ia berdiri, melangkah mendekat, lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Nio dari belakang. Pipinya menempel di pungg
Untuk sesaat, mereka hanya saling menatap. Mata Ruby seakan mencari jaminan bahwa ini bukan bayangan yang akan menghilang, sementara Nio membiarkan dirinya tenggelam dalam tatapan wanita yang selalu menjadi rumah baginya.Tanpa sadar, Ruby kembali memeluknya, kali ini lebih tenang tapi tetap erat. “Aku janji… tidak akan ngelepasin kamu lagi,” ucapnya di sela-sela isak kecil.Nio mengusap rambut Ruby lembut, merasa dadanya hangat sekaligus berat karena menyadari betapa dalamnya luka yang ia tinggalkan. “Dan aku janji… aku tidak akan ninggalin kamu lagi, Ruby.”Ruby tersenyum di pelukan itu, meski air matanya masih mengalir. Rasanya semua penantian, kesepian, dan rasa sakit itu terbayar lunas hanya dengan satu pagi ini.Ia memejamkan mata, mendengar detak jantung Nio yang menenangkan, lalu menarik napas panjang, mencoba menyerap kenyataan ini sepenuhnya. Di luar, cahaya pagi semakin terang, burung-burung berkicau seakan ikut merayakan kepulangan ses
Saat Ruby berdiri di ambang pintu kamar, menatap hasil kerjanya, ia menghela napas lega. Semua tampak jauh lebih baik. Rumah ini, yang beberapa hari lalu terasa dingin dan sepi, kini perlahan berubah menjadi tempat yang penuh harapan.Di ruang tamu, ia duduk sebentar di sofa, memandang keluar jendela. Matanya menatap jalan di depan rumah, membayangkan suara motor Nio yang khas, membayangkan sosoknya turun dengan jas hitam dan tatapan tenang.Ruby tahu, ia mungkin harus menunggu lama. Tapi menunggu dengan rumah yang bersih dan hati yang gembira terasa jauh lebih mudah daripada menunggu dalam kesedihan.“Kalau kau pulang, Nio… semua ini sudah siap untukmu,” bisiknya pelan, sambil tersenyum.Lalu, ia berdiri lagi, mengambil kain lap untuk mengelap meja terakhir yang belum tersentuh. Hari ini, Ruby memilih untuk percaya. Dan kepercayaan itu membuat segalanya terasa lebih hidup.***Sore mulai merayap masuk, langit di luar berubah jin
Sementara itu, di rumahnya yang sunyi, Ruby duduk di sofa dengan ponsel di tangan. Jari-jarinya sudah lelah menekan tombol panggil, mencoba menghubungi Nio untuk entah keberapa kalinya. Setiap kali, hanya nada sambung panjang yang terdengar, diikuti pesan suara yang seolah mengejeknya.Thomas pun sama saja. Sudah seminggu berlalu sejak terakhir kali mereka berbicara di kantor, dan hingga kini tidak ada kabar lanjutan tentang hasil pencarian Nio. Tidak ada lokasi baru, tidak ada petunjuk, bahkan tidak ada tanda-tanda bahwa Nio masih berada di negara yang sama. Ruby mulai merasa kesal bukan hanya pada Thomas, tapi juga pada dirinya sendiri yang tak bisa berbuat lebih.Ia bersandar di sofa, mengusap wajahnya kasar. Matanya terasa panas karena kurang tidur, sementara pikirannya terus dihantui satu pertanyaan.“Ke mana sebenarnya Nio pergi?”Tiba-tiba, suara TV yang tadinya hanya menjadi latar belakang kesunyiannya berubah menjadi sumber perhatian. Sebuah breaking news muncul di layar, tay
Nio tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap keluar jendela, melihat lampu-lampu pelabuhan di kejauhan. “Untuk orang-orang yang tidak seharusnya menjadi korban dari permainan ini.”Keheningan sejenak memenuhi ruangan, hanya terdengar bunyi detak jam di dinding.Komisaris akhirnya berdiri, berjalan ke arah lemari arsip, dan mengambil sebuah map hitam tebal. Ia menaruhnya di meja di depan Nio. “Ini salinan semua dokumen yang kau berikan, ditambah hasil penyelidikan kami. Simpan ini. Kau mungkin membutuhkannya nanti.”Nio menatap map itu, lalu kembali menatap Komisaris. “Kau benar-benar yakin memberikannya padaku?”“Kalau aku tidak yakin, kau tidak akan duduk di sini sekarang,” jawab Komisaris mantap.Senyum tipis kembali terukir di wajah Nio. Ia meraih map itu, lalu kembali mengangkat cangkir teh untuk tegukan terakhir. “Kalau begitu, semoga kita berdua sama-sama selamat sampai akhir.”Komisaris menatap Nio cukup lama setelah