MasukSementara Itu, di Gudang Logistik,
Udara siang di area gudang terasa lebih panas daripada biasanya. Debu mengambang halus di antara tumpukan kardus, palet baja, dan rak logistik yang terlihat seperti labirin kusut. Beberapa staf terlihat kebingungan, beberapa hanya bekerja setengah hati, dan sisanya mondar-mandir membawa dokumen yang tidak sinkron satu sama lain. Di tengah kekacauan itu, Nio berdiri tegak dengan tablet di tangan kirinya dan berkas laporan cetak di tangan kanan. Kemeja hitamnya sudah tergulung hingga siku, dan dasinya dia lepaskan sejak tadi pagi. Wajahnya serius, matanya tajam membaca setiap angka dalam laporan inventaris. “Ini kacau,” gumamnya pelan, sebelum menoleh ke salah satu staf senior gudang. “Kenapa barang di laporan masuknya tiga ratus, tapi yang saya temukan di rak hanya dua ratus lima puluh tujuh?” Staf itu menelan ludah gugup. “Mungkin karena sistem lama belum update, Pak ... Kami—” Nio memotong cepat, dengan suara tegas dia berkata, “Jangan ‘mungkin’. Dalam logistik, ketidakjelasan itu artinya kerugian. Saya minta data yang sinkron, bukan asumsi.” Nio berbalik, lalu melangkah cepat ke arah rak bagian belakang. Setiap langkahnya penuh arah, seolah-olah dia sudah mengenal gudang itu bertahun-tahun. Padahal ini hari pertamanya. Tanpa ragu, Nio membuka satu per satu kotak besar, menghitung ulang isinya. Beberapa staf ikut menghampiri, mencatat saat dia menyebutkan jumlah dan jenis barang dengan lantang. "Yang ini harus ditandai ulang," ujarnya sambil menunjuk rak yang salah label. "Dan mulai hari ini, tidak ada lagi barang tanpa barcode. Aku tidak mau lihat ada satu pun kardus polos di sini." Beberapa pegawai saling pandang, sebagian heran, sebagian kagum. Bos baru mereka turun langsung ke lapangan, sesuatu yang sangat jarang dilakukan oleh atasan kantor pusat. Setelah dua jam mengecek dan mencocokkan, Nio akhirnya berdiri di tengah gudang dan mengangkat suara, cukup lantang, tetapi tidak membentak. “Dengarkan semua!” Para staf otomatis berhenti dari pekerjaan mereka, menoleh. “Hari ini kita akan rapikan gudang ini dari ujung ke ujung. Barang akan dikelompokkan ulang sesuai kategori dan urutan pengiriman. Semua rak akan diberi kode yang jelas. Tidak ada lagi ruang mati, tidak ada lagi laporan fiktif.” Semua pegawai tampak terkejut dan hal itu segera disadari oleh Nio. Bibirnya menyunggingkan senyum, lalu Nio menatap satu per satu wajah di hadapannya. “Saya tahu ini berat, tapi saya tidak minta yang sempurna. Saya hanya minta kalian serius.” Beberapa orang mengangguk setuju. Ada yang mulai menggulung lengan baju mereka, siap bekerja., sedangkan yang lain masih mencerna perintah Nio yang terkesan mendadak. “Siapkan checklist baru dan data real-time. Saya akan bantu kalian, satu per satu. Dan besok ... semuanya harus sudah jalan dengan sistem yang baru.” Senyap sesaat. Lalu satu per satu pegawai mulai bergerak. Ada yang mulai mengatur ulang barang, ada yang memanggil petugas barcode, dan beberapa langsung bekerja dengan Nio membenahi sistem di tablet mereka. Nio menghela napas dalam, lalu tersenyum tipis saat melihat ritme gudang mulai terbentuk. Meski peluh menetes di pelipisnya, dia tidak merasa berat. Justru di sinilah dia merasa paling hidup saat segala kekacauan bisa diubah menjadi keteraturan. Dari balik kaca ruangan kontrol lantai dua, Ruby berdiri diam, memperhatikan gerak-gerik Nio di gudang. Matanya mengikuti pria itu yang tidak segan turun tangan langsung, memberikan instruksi dengan tenang, tetapi tegas. Di sampingnya, Andre, manajer senior logistik, masih tercengang. “Dia benar-benar tahu apa yang dia lakukan,” gumamnya pelan. Ruby mengangguk pelan, senyum kecil menghiasi wajahnya. “Aku tidak menyangka ... menaruhnya di sini ternyata keputusan yang tepat.” Karena setahu Ruby, Nio hanya pekerja kasar yang seharusnya tidak perlu memeras otak dalam bekerja. Andre ikut mengangguk lalu menoleh pada Ruby yang berdiri sambil melipat tangannya di dada. Menunggu instruksi lebih lanjut. “Awasi terus pergerakannya. Laporkan langsung padaku kalau ada perubahan, sekecil apa pun,” ujar Ruby dengan nada datar, tetapi tegas. “Siap, Presdir Ruby,” jawab Andre cepat. Saat akhirnya Andre pergi, Ruby kembali memandang ke bawah. Ada kilatan aneh di matanya, antara lega, penasaran, dan harapan. Entah sejak kapan, tetapi dia mulai bertanya-tanya siapa sebenarnya pria yang kini jadi suaminya itu. “Apa benar dia hanya seorang kuli bangunan? Nio ... siapa kau sebenarnya?” tanyanya penuh rasa ingin tahu yang begitu besar. Sepertinya Ruby benar-benar terkesan dengan cara kerja Nio kali ini. Bersambung…Hari itu, kebahagiaan menyelimuti mereka. Tangis kecil sang bayi menjadi awal baru bagi keluarga mereka.Pintu ruang persalinan akhirnya terbuka. Seorang perawat keluar dengan senyum hangat dan mempersilakan keluarga masuk. Nio yang sejak tadi gelisah langsung berlari kecil ke dalam. Begitu melihat Ruby berbaring di ranjang dengan wajah lelah namun tersenyum, hatinya langsung bergetar.Tanpa ragu ia menghampiri, menggenggam tangan Ruby erat, lalu menunduk mencium keningnya. “Terima kasih, sayang … kamu sudah berjuang begitu keras hari ini,” bisiknya dengan suara bergetar. Matanya berkaca-kaca, penuh rasa syukur karena istrinya selamat dan bayi mereka lahir dengan sehat.Ruby menatap Nio dengan senyum tipis, meski lelahnya tak bisa disembunyikan. “Aku bahagia, Nio… akhirnya kita berhasil sampai di sini.”Tak jauh dari mereka, seorang perawat menyerahkan bayi mungil itu pada Tuan Ashaki dan Nyonya Ashaki yang sudah tak sabar menunggu. Saat bayi mungil perempuan itu berada di gendongan,
Pertanyaan itu membuat Nio tersenyum tipis. Ia menggeleng, lalu menatap Ruby dengan penuh ketulusan.“Tidak, Ruby. Aku sama sekali tidak kecewa. Aku bahkan tidak pernah benar-benar memikirkan soal jenis kelamin. Yang paling penting bagiku… kamu dan bayi kita sehat. Sampai nanti, saat waktunya tiba, aku hanya ingin kalian berdua selamat dan bahagia.”Mata Ruby terasa panas, haru memenuhi dadanya. Ia menoleh, menatap wajah suaminya yang begitu dekat. “Terima kasih, Nio … kamu selalu ada di sisiku, padahal aku tahu kesibukanmu di perusahaan pusat makin berat belakangan ini. Aku takut merepotkanmu.”Nio menghela napas lembut, lalu mendekatkan wajahnya hingga kening mereka hampir bersentuhan. “Ruby, dengar aku. Tidak ada yang lebih penting dalam hidupku selain kamu … dan kehidupan kecil yang ada di dalam perutmu. Perusahaan, pekerjaan, semua itu bisa kuatur. Tapi kamu? Kamu tidak tergantikan. Kamu adalah rumahku, dan bayi kita adalah masa depan yang ingin kujaga.”Air mata jatuh membasah
Beberapa bulan pun berlalu, hingga kini usia kandungan Ruby sudah memasuki tujuh bulan. Perutnya tampak bulat sempurna, dan setiap gerakan kecil dari sang bayi membuatnya semakin dekat dengan kenyataan bahwa sebentar lagi ia akan menjadi seorang ibu. Hari itu, keluarga besar berkumpul dalam sebuah acara sederhana namun hangat. Acara menebak gender bayi Ruby dan Nio.Tuan Ashaki datang dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan serba biru. Dasi, sapu tangan, bahkan jam tangannya pun berwarna biru, seolah menegaskan keyakinannya bahwa cucu pertamanya akan lahir sebagai laki-laki. Sementara itu, Nyonya Ashaki tampil anggun dalam gaun berwarna pink lembut, lengkap dengan bros bunga di dadanya. Ia tersenyum manis sambil sesekali melirik suaminya dengan tatapan penuh tantangan, yakin bahwa nalurinya sebagai seorang ibu tak akan salah: cucu mereka adalah seorang putri kecil.Nio berjalan perlahan mendampingi Ruby, menggenggam tangannya dengan hati-hati agar ia tidak kehilangan keseimbanga
Satu bulan kemudian.Cahaya matahari baru saja mengintip malu dari balik tirai kamar. Ruby terbangun lebih awal dari biasanya, tubuhnya terasa berat dan tidak nyaman. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba mengusir kantuk, namun rasa pusing yang datang membuatnya terpaksa duduk sambil memegangi kepala. Sudah beberapa hari terakhir ia merasakan hal aneh. Tubuh lelah, mudah mual, dan kadang kehilangan selera makan. Namun pagi ini, rasa itu lebih kuat dari biasanya.Di dapur, terdengar suara panci dan aroma roti panggang. Nio tengah sibuk menyiapkan sarapan. Sejak pernikahan mereka yang kedua kali, ia lebih sering meluangkan waktu di pagi hari untuk memastikan Ruby mendapat makanan hangat sebelum memulai aktivitas. Perlahan ia melangkah keluar kamar. Baru beberapa langkah, aroma masakan semakin kuat masuk ke hidungnya, dan tiba-tiba perutnya bergejolak hebat. Ruby berhenti sejenak, lalu menutup mulutnya. Namun tak mampu menahan lebih lama, ia segera berlari ke wastafel terdekat dan memunta
Nio mengangguk, hatinya kian mantap. Ia berdiri, lalu membantu nenek Lina berjalan ke kursi yang telah disiapkan Markus di sudut ruangan.Sebelum duduk, nenek Lina menoleh sekali lagi pada Nio. “Hari ini, Nak, bukan hanya pesta ulang tahun pernikahan. Hari ini adalah bukti bahwa cinta bisa tumbuh kembali, bahkan setelah badai sekalipun. Peganglah itu baik-baik.”Nio tersenyum tulus, menunduk hormat. “Aku akan selalu mengingatnya, Nek.”Hari ini, ia siap berdiri di samping Ruby, tak hanya sebagai suami, tapi sebagai pria yang akan selalu menjaga cintanya.***Langit sore di tepi pantai terlihat indah, dihiasi semburat jingga yang perlahan berpadu dengan biru laut. Angin membawa aroma asin yang lembut, sementara debur ombak menjadi irama alami yang mengiringi suasana sakral sore itu. Di tengah hamparan pasir putih, sebuah altar sederhana berdiri, dihiasi rangkaian bunga putih dan merah muda yang menjuntai, membuat tempat itu tampak hangat dan penuh cinta.Acara hanya dihadiri oleh orang
Ruang rias itu dipenuhi aroma lembut bunga segar dan wangi bedak halus. Ruby duduk tenang di depan meja rias besar dengan cermin yang dikelilingi lampu-lampu kecil, membuat wajahnya tampak bersinar. Jemari perias bekerja luwes, menyapukan kuas tipis ke pipinya, memberi rona alami yang lembut. Rambutnya ditata sederhana dengan sanggul rendah, dihiasi hiasan kecil berbentuk bunga putih. Ruby menatap pantulan dirinya di cermin, hatinya bergetar. Hari ini ia mengenakan gaun pengantin lagi, tapi dengan rasa yang benar-benar berbeda.Gaun putih sederhana yang dipilihnya beberapa hari lalu kini membalut tubuhnya dengan sempurna. Tidak ada detail berlebihan, hanya potongan yang anggun dan elegan, seakan gaun itu memang dibuat khusus untuknya. Ruby meraba perlahan kain gaun itu, merasakan kehalusan teksturnya. Senyumnya muncul tipis, campuran gugup dan bahagia.Pintu ruang rias berderit pelan. Nyonya Ashaki masuk dengan langkah anggun, membawa kehangatan seorang ibu yang selalu menenangkan. Sa







