“Ini tentang keberlangsungan,” jawab Ronny hati-hati. “Tuan Ashaki tidak ingin mendengar satu berita buruk lagi. Beliau memohon agar Tuan Nio untuk sementara … menyerahkan seluruh tanggung jawab proyek dan operasional perusahaan pada Anda, Nona Ruby, selama masa pemulihannya.”
Nio menghela napas pelan dari ranjang. Ruby meliriknya dengan gelisah sebelum kembali memandang Ronny.“Jadi ... maksud papaku, Nio harus mundur dari semua yang sedang ia kerjakan?” tanyanya dengan nada dingin.Ronny menunduk hormat. “Itu permintaan langsung beliau. Hanya untuk sementara waktu. Sampai kondisi Tuan Nio dinyatakan benar-benar pulih dan siap kembali bekerja.”Ruby menggeleng pelan, suaranya tegas. “Aku tidak bisa menyetujuinya. Bukan karena aku menolak tanggung jawab, tapi Nio tidak separah itu. Dia sadar, dia stabil, dan dia akan pulih lebih cepat jika tidak dibuat merasa gagal.”Ronny menatap Ruby dengan tatapan tak bisa membantah. “Saya mengerti posBegitu pintu tertutup dan langkah sang dokter menjauh, keheningan tipis menyelimuti ruangan. Ruby duduk di sisi ranjang sambil memainkan gagang cangkir kopi yang kini sudah dingin.“Nio…” katanya pelan, menoleh ke arah Nio. “Aku harus pergi sebentar.”Nio mengangkat alis. “Sekarang?”Ruby mengangguk. “Tadi telepon yang masuk dari Laila. Ada laporan mendadak soal proyek yang sedang aku tangani. Ternyata aku tidak bisa cuti selama yang aku kira. Aku harus hadir di rapat koordinasi online dan menandatangani beberapa dokumen penting. Aku akan pulang malam nanti, sebelum kamu tidur.”Nio hanya menatapnya, lalu mengangguk pelan. “Aku mengerti. Pekerjaan kamu penting, Ruby. Dan kamu memang tidak pernah setengah-setengah soal tanggung jawab. Jangan terlalu ditunda, nanti malah lebih repot.”Ruby menatap wajah Nio beberapa detik, seolah sedang menghafalkan garis wajah itu satu per satu. Lalu ia tersenyum kecil dan merapikan selimut pria itu.
Ruangan itu sunyi saat hasil tes terakhir muncul di layar monitor. Hanya suara jarum infus yang menetes perlahan dan detik jam dinding yang terdengar. Dokter memandangi layar lebih lama dari biasanya. Matanya bergerak lambat, lalu beralih pada lembar cetakan di tangannya. Ekspresinya tak berubah, tapi Nio tahu ada sesuatu yang disembunyikan.Ruby, yang duduk di sisi tempat tidur Nio, menggenggam tangan pria itu sambil menunggu penuh harap. "Bagaimana, Dok?" tanyanya dengan senyum kecil.Dokter itu menghela napas ringan, lalu memaksakan senyuman profesionalnya. "Hasil pemeriksaan secara umum terlihat baik. Tekanan darah, detak jantung, dan beberapa parameter utama sudah stabil. Kalau tidak ada keluhan baru sampai malam ini, Tuan Ethan bisa pulang besok pagi."Ruby sontak berdiri dan memeluk lengan Nio erat. "Syukurlah... akhirnya. Kita bisa pulang." Matanya berbinar, penuh harapan.Nio hanya tersenyum tipis. Ia meremas jemari Ruby, namun pandangannya tetap tertuju pada dokter yang nyar
Pagi menyapa kamar VIP rumah sakit dengan cahaya matahari yang lembut menembus tirai. Di atas ranjang, Nio duduk bersandar dengan bantal tambahan di punggungnya, mengenakan gaun pasien yang sudah sedikit kusut. Ruby duduk di kursi di samping tempat tidur, matanya waspada saat seorang dokter dan dua perawat masuk ke ruangan dengan tablet dan alat pemeriksaan di tangan.“Selamat pagi, Tuan Ethan,” sapa sang dokter sambil tersenyum ramah.“Pagi, Dok,” balas Nio, suaranya masih berat karena baru bangun tak lama sebelumnya.Dokter memeriksa hasil dari monitor infus dan catatan medis di tangannya, lalu membuka tablet dan melihat grafik vital pasien. Sambil memeriksa denyut nadi Nio dan memperhatikan bekas luka di bagian dada dan lengan, ia berkata dengan nada profesional namun tetap tenang.“Keadaan Anda cukup stabil untuk saat ini, tapi kami butuh memastikan tidak ada cedera dalam yang terlewat. Saya sarankan beberapa pemeriksaan tambahan hari ini, te
Sebelum Ruby bisa membalas, pintu kamar terbuka pelan dan seorang perawat masuk sambil mendorong alat infus. Ia tampak sedikit canggung saat melihat mereka berdua di sofa, namun tetap bersikap profesional. “Maaf mengganggu, Tuan Alenka. Saya diinstruksikan untuk memasang kembali infus Anda.” Ruby langsung berdiri dan memberi ruang. Nio pun mengangguk pelan, membiarkan perawat mengatur posisi duduknya dan dengan cepat memasang kembali jarum infus di tangan kirinya. Meski tubuhnya kaku, Nio tidak bersuara, hanya menatap Ruby yang berdiri di samping tempat tidur, matanya tak lepas dari wajah pria itu. Setelah perawat selesai dan meninggalkan ruangan, Ruby kembali duduk di tepi ranjang, menatap Nio lama. “Kau tidak bisa terus seperti ini. Setiap kali aku menoleh, kau menghilang. Aku tidak kuat lagi.” Nio mengangkat tangannya yang bebas dan menggenggam tangan Ruby erat. “Aku di sini sekarang,” ujarn
Seorang pria dengan rambut sedikit memutih dan sorot mata tajam berdiri, memandang tamunya dengan napas tertahan. “Ethan? Apa yang terjadi? Kau mau hidup?” tanyanya nyaris tak percaya. Nio menatapnya tanpa senyum. “Kita tidak punya waktu untuk menggali masa lalu, Virgo.” Virgo, mantan pembunuh bayaran yang dulu dikenal sebagai ‘Shadow Mark’, sudah lama pensiun dan menyepi dari dunia hitam. Tapi ia adalah salah satu orang yang paling Nio percayai, seseorang yang selalu tahu cara mendapatkan informasi, bahkan dari tempat yang tak pernah disentuh cahaya. “Kau seharusnya mati dua tahun lalu. Semua orang bilang begitu.” “Aku tidak mati,” jawab Nio dingin, duduk di kursi kayu di ruang tamu kecil itu. “Aku kehilangan ingatan setelah dikhianati. Dan kini aku kembali.” Virgo memperhatikan luka di lengan Nio yang belum sepenuhnya tertutup. “Lalu kenapa kau datang padaku?” “Aku butuh penyelidikan.” Nio menatap langsung ke mata pria itu. “Ada seorang pria bernama Gerry. Aku ingin tahu sia
Nio menarik napas pelan. “Dia mulai main kotor,” gumamnya. “Dan ini belum setengahnya.”Ia menatap ketiga pria itu dengan tajam. “Kalian akan tetap di sini. Tapi aku akan jaga kalian tetap hidup, asal kalian terus bicara.”Lalu ia berbalik, meninggalkan ruangan dengan Markus mengikuti dari belakang.“Sekarang kita tahu,” kata Markus pelan. “Gerry benar-benar sudah menyeberang batas.”Nio mengangguk. “Ini bukan soal bisnis lagi. Ini soal balas dendam dan kekuasaan. Dan dia menargetkan bukan cuma aku, tapi Ruby juga.”Tatapan Nio menggelap. Api perang baru saja dinyalakan.*** Cahaya senja menelusup masuk melalui jendela besar di ruang kerja bawah tanah itu, mewarnai dinding beton dengan semburat oranye keemasan. Nio duduk di kursi hitam berlapis kulit, kedua sikunya bertumpu pada meja, dan jemarinya saling bertaut rapat di depan wajahnya. Sorot matanya tajam, penuh pertimbangan dan kewaspadaan. Luka-luka di tubuhnya belu