Share

Chapter 2 Tak Disangka Ia Menelepon

Pada akhirnya, kami berdua telah sampai di apartemen Gavin tepat pukul 9 malam. Ketika aku beranjak mendahului ingin segera masuk ke elevator karena saking lelahnya, terdengar ponsel Gavin berdering.

Wait, ponselku bunyi,” ungkap Gavin.

Aku berbalik badan. “Ya sudah, segera diterima. Aku duluan ke atas.”

“Tidak, tunggu aku!” pinta Gavin memaksa.

Beberapa menit setelah mendarat, bahkan masih di dalam pesawat belum sempat menuju garbarata, dia sudah terburu-buru menyalakan ponselnya. Sepertinya dia masih mengharapkan kabar dari mantan asistennya itu. Lusa adalah hari bahagia Ardani yang tidak boleh diganggu oleh siapapun. Sayangnya, Gavin belum bisa menerima kenyataan.

Sementara Gavin menatap ponselnya yang berdering, aku berencana ingin menghindari percakapan privasinya. Namun, tiba-tiba dia memanggilku.

“Ardani yang menelepon. Apa yang harus kukatakan?”

“W-wah! Dengarkan saja apa tujuannya meneleponmu,” jawabku tergagap.  

Aku kembali melangkah mendekatinya penasaran apa yang akan mereka bicarakan. Ketika Gavin mengangkat ponsel ke telinganya, tangan yang lain menghentikanku supaya diam di tempat. Gavin melengos dariku. Bagaimana aku bisa mendengar percakapannya jika aku berdiri jauh darinya.

Gavin berkata jika dia dihubungi siapapun, tidak masalah aku menguping dan mengungkitnya jika memang dia mengalami kesulitan. Agar aku bisa membantu menyelesaikan urusannya tanpa repot harus Gavin ulangi setelah percakapannya bersama orang lain. Bukankan itu privasi? Ya, tentu saja. Gavin menganggapku tidak hanya sebagai asisten, tapi layaknya sebagai adik ̶ orang bijak mana yang mengatakan seorang adik malah merawat kakaknya. Bahkan Ardani pernah berpesan, dengarkan saja semua keluhan Gavin sampai aku muak. Kemudian mulailah bicara jika dia sudah selesai mengeluh. Bicara baik-baik, turuti permintaannya. Aku sempat ingin mengundurkan diri, tapi aku teringat sedang butuh uang.

Aku tak mau hanya berdiri di sini. Lebih baik aku menyusulnya. Bila dia menjauh begitu, itu artinya dia bisa menanganinya sendiri tanpa bantuanku. Di balik perbincangan jarak jauh dengan Ardani, lamat-lamat terdengar suara Gavin menjadi kalem. Sungguh berbeda sekali ketika bicara dengan orang lain, padaku atau bahkan orang tuanya. Dia menuju kursi lobi tamu apartemen menandakan obrolan ini bakal memakan waktu lama. Aku tidak peduli, aku suka menguping pembicaraan Gavin.

Sambil menggendong tas punggungku yang berat, kusandarkan segera di bawah kakiku kemudian kuletakkan pantatku di atas bantalan empuk kursi lobi apartemen ini. Aku menghela napas lega seraya kepalaku menengadah menatap lampu-lampu minimalis gemerlapan. Gavin yang menyadari, tidak menghiraukan diriku duduk di seberangnya. Dan baru kusadari ponselku masih dalam keadaan mati. Sudahlah, lagi pula aku malas membuka ponsel. Apalagi kedua mataku sudah tak ingin bekerja setelah seharian ini.

Sayup-sayup aku mendengar pembicaraan mereka berdua begitu serius sehingga aku harus konsentrasi mendengarkan. Aku tatap Gavin sambil mengangkat alis mengartikan apa yang sebenarnya kalian bicarakan. Gavin yang merasakan tatapanku, dia hanya menggerakkan bibirnya tanpa bersuara. “She is just asking me”. Aku pun membalas mendengus karena tidak mendapatkan jawaban pasti. Terserah lah, seluruh tubuhku rasanya benar-benar letih.

Kepalaku kembali menengadah pada sandaran kursi. Kupejamkan kedua mataku sebentar demi menghilangkan rasa pedih. Tiba-tiba aku mendengar Gavin mengucapkan, “Aku mencintaimu”. Sontak kepalaku terangkat akibat reaksi otakku mendengar kalimat itu dari mulut Gavin.

“Aku mencintaimu sebagai rasa terima kasih. Kamu sudah membantu, menemaniku menulis hingga menghasilkan karya-karya terbaik dari pertama kali sampai berhasil, Dani.” Gavin tersenyum tipis. Kedua bola matanya yang kehijauan berkilap sayu menahan kesedihan.

Astaga? Dia benar-benar mengungkapkan isi hatinya seperti saranku. Meskipun memakai alasan lain demi  menutupi kebenaran agar tidak menyinggung perasaan Ardani. Aku tidak bisa membaca pikiran, tapi dari gerak-gerik Gavin semakin dia kepikiran dengan ucapannya. Gavin duduk membungkuk meremas rambutnya. Dari suaranya dia masih kukuh tidak terdengar sedang karut-marut.

“Harapanku semoga kamu bahagia, Dani. Ini semua bukan perpisahan selamanya. Kita masih berkomunikasi, meskipun, entahlah, suamimu akan membolehkannya atau tidak.” Kalimat terakhir itu terdengar dari suara Gavin mulai berguncang. Aku menggeleng turut bersedih.

Keadaan semakin tak nyaman, kuputuskan untuk meninggalkannya. Ketika aku bangkit dari kursi, pergelangan tanganku dicengkeram tiba-tiba. Aku menatapnya dan tak tahu harus bagaimana. Yah, bisa dibilang ini kesalahanku telah memberinya saran dengan menyatakan isi hati Gavin. Dia melirik tajam padaku seakan-akan menuduh. Kalau aku perempuan, mungkin lirikannya ini bakal membuatku luluh saking tampannya. Sayang sekali, sebagai laki-laki ingin rasanya aku tonjok.

“Selamat malam, Dani. Sampai bertemu lagi di hari bahagiamu. Kuusahakan di prosesi pernikahanmu akan datang tepat waktu.”

Gavin menutup teleponnya. Kemudian dia melepas tanganku dan berlalu meninggalkanku. Aku biarkan dia naik ke kamar terlebih dulu, lagi pula ruangan apartemen kami berjauhan.    

***

Selesai membersihkan seluruh tubuhku serta berbenah barang, aku melempar diri ke atas kasur. Beberapa menit ingin memejamkan mata, seseorang membunyikan bel interkom. Tak perlu bertanya siapa sosok di balik layar interkom. Aku membuka pintu mendapati Gavin masih belum berganti pakaiannya sedari pagi tadi. Kemeja abu-abunya terlihat kusut seperti tampangnya sekarang.

“Sebelum tidur, tolong, mengobrol denganku dulu, Lingga. Kalau tidak mau, kupotong gajimu dua bulan,” sergah Gavin. Padahal aku belum sempat bertanya apa yang terjadi padanya. Mungkin wajahku sudah memerlihatkan ekspresi menyebalkan tidak ingin menerima siapapun di jam segini.

Pintu kubuka lebar-lebar menyilakannya masuk tanpa berkata-kata. Sekilas bau tubuhnya tidak berubah semenjak kita berpergian dari pagi di kota lain. Merek parfum mahal memang berbeda. Dia berhenti mengamati sekeliling ruangan apartemenku. Apa lagi yang dia inginkan. Gavin lantas bertanya apakah aku punya bir.

“Tidak. Aku tidak berencana untuk merusak ginjalku, Gavin,” jawabku sambil lalu. “Kalau mau air panas atau coklat panas, kusiapkan.”

Gavin mendengus. “Kalau begitu biarkan aku minum kopi.” Seketika aku menoleh padanya.

“Tentu aku sedia kopi. Sayang sekali, aku tidak akan membuatkannya untukmu. Kau sengaja tidak ingat dengan penyakitmu?” Aku mencerca mulai gregetan dengan permintaannya.

“I don’t care anymore. Let me drink coffee!” Gavin kehilangan kesabaran bila berhubungan dengan penyakitnya. Tapi aku bersikeras tidak akan mematuhi manakala kesehatannya menurun, itu bakal memperburuk segala kondisinya.

“Tidurlah, Gavin. Otak dan perasaanmu sudah tidak sinkron.”

“Tidur bersamaku, Lingga.”

Aku melotot. Gavin memang sudah terlampau kalut. Saat masih bersama Ardani pun juga mengajaknya begitu. Ardani menyiasati, pertama dia harus menemaninya, sekitar 15 menit, bangun dan pindah ke sofa. Kalau aku tidak masalah tidur dengan Gavin, hanya saja tidak suka dengan bau parfumnya yang terkadang tidur saja masih menyengat.

“Oke, terserah. Minumlah coklat panas yang kubuatkan, dan ceritakan apa yang kalian bicarakan tadi di telepon,” pintaku.

Secangkir coklat panas kuletakkan di atas bar dapur. Gavin tidak bereaksi. Dia hanya menunduk. Sedangkan aku menunggu dirinya segera bercerita.

“Apa tanggapan Ardani bahwa kau mencintainya?” tanyaku.

“Biasa saja. Dia menganggapnya sebagai ucapan terima kasih saja.”

Sudah pasti, batinku.

“Aku hanya tidak bisa merusak hari bahagianya. Dia bakal memikirkan hal yang tidak-tidak jika mengungkapkan hatiku sebenarnya.”

Aku mengangguk. “Well, setidaknya itu pesan yang membahagiakan bagi Ardani, pastinya.”

Gavin mulai menyeruput coklatnya. “I still can't let go of that woman,” suaranya melemah. Sepintas kulihat tangannya sedikit gemetaran ketika dia mengangkat cangkir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status