Share

Chapter 3 Hadiah Pernikahan

Keesokan pagi, aku tersadar kalau kami berdua belum jadi menyiapkan sebuah hadiah untuk pernikahan Ardani. Bagi kaum lelaki, ini memang agak merepotkan. Pasalnya, bahkan Gavin sendiri tidak mengerti apa yang disenangi Ardani. Setiap aku bertanya, dia hanya menjawab, “Kosmetik. Berikan saja hadiah kosmetik bermerek mahal. Semua wanita menyukainya. Aku tak peduli.” Aku tahu Ardani betul rupawan. Namun, sesekali aku tak pernah melihatnya mengeluarkan alat kosmetik setiap kami berjumpa. Dan bagaimana aku tahu kosmetik yang cocok untuk kebutuhan kulitnya. Semua wanita itu penuh ketelitan demi menjadi cantik.

Baiklah, aku akan paksa Gavin ikut mencarikan hadiah demi mantan asistennya itu, sekaligus kenang-kenangan bagi Ardani dari kami berdua. Untung saja acara pernikahannya esok pagi. Jadi, kami masih ada waktu menentukan. Tidak ada tanda-tanda Gavin bangkit dari tidur lelapnya. Semalam dia akhirnya kembali ke ruang apartemennya sendiri. Syukurlah, aku tak perlu repot-repot tidur di sofa. Aku memeriksa ponselku, pukul delapan dan Gavin belum memberi kabar. Malahan seseorang meneleponku ketika aku kembali meletakkan ponsel.

“Ardani?” tanyaku sendiri saat melihat layar ponselku yang retak. Tidak biasanya dia menelepon pada jam segini. Atau jangan-jangan dia ingin menerorku dengan pernyataan Gavin semalam? Sialan, aku malah jadi ikut terlibat.

“Ya, Ardani? Gavin sepertinya belum bangun. Ada yang perlu disampaikan?”

Lawan bicaraku hanya diam. Sejenak dia terkekeh lantas meledek.

“[Tidak, Lingga. Tidak ada yang perlu disampaikan. Hanya heran saja, jam segini Gavin belum bangun?]”

Aku terkikik. “Yah, begitulah. Dia mungkin bekerja di kamarnya setelah kami tiba di apartemen,” balasku berkilah.

“[Dia memang selalu seperti itu. Apa kamu memperingatkan kalau dia dilarang minum bir atau kopi?]”

“Sudah, kok. Semalam dia minta dua minuman itu, akhirnya kubuatkan cokelat panas dan aku kembali ke ruang apartemenku untuk istirahat duluan.” Yup, aku berdalih kedua kalinya. Kemudian aku mendengar lawan bicaraku di sana sedang menghela napas panjang.

“[Semoga kamu tidak semakin membencinya, ya, Lingga. Makin lama dia seperti anak kecil menyebalkan. Kalau kamu mau curhat, aku siap mendengarkan.]”

“Sepertinya kamu yang ingin curhat. Bukankah begitu?” candaku.

Ardani tertawa pelan. “[Hebat sekali. Tidak juga, sih. Aku malah rencana ingin bertemu denganmu hari ini. Berbincang-bincang saja, kalau kamu sedang tidak sibuk.]”

Huh. Tidak biasanya. “Bersama Gavin?”

“[Tidak perlu. Dia mengganggu obrolan kita nantinya. Kalau ada dia, pembicaraan kita bukan mengarah ke santai.]” Sekali lagi Ardani tertawa. Aku membayangkan wajahnya yang manis sedang tertawa malu-malu. Aku pun menyetujui ajakannya. Mungkin aku bisa menanyakan apa kesukaannya sebagai referensiku memberikan hadiah pernikahannya.

Sebelum aku berangkat menuju lokasi yang sudah ditentukan Ardani, aku mampir ke ruang apartemen Gavin terlebih dulu. Ruangan apartemennya hanya melewati lorong elevator yang cukup jauh dariku. Tidak lama setelah menekan tombol interkom, pintu terbuka. Sosok di baliknya membuka pintu lebar-lebar hingga menimbulkan sedikit angin. Dan Gavin hanya mengenakan celana kolor hitam setinggi paha. Orang ini memang gila.

“Aku mau pergi membelikan  hadiah untuk Ardani.”

Gavin mendengus. “Aku tidak ikut karena masih lelah. Belikan saja kosmetik seperti yang aku sarankan waktu lalu.”

Entah kenapa mataku malah teralihkan pada bentuk tubuhnya yang terpahat sempurna. Pipiku memanas akibat kesal betapa memesonanya pria di hadapanku.

“Kenakan bajumu. Kau tinggal di negara yang mementingkan adab berpakaian.”

Gavin menyeringai. “Ibuku juga bilang begitu. Sayangnya, aku sedang tidak tinggal bersama ibuku.”

Itu berarti dia tidak peduli. Aku mengangkat bahu kemudian berlalu meninggalkannya. Belum jauh dari ambang mukanya, Gavin berseru memintaku untuk membelikan makan malam. Dia bilang sedang tidak ingin makan masakanku. Sesaat belum sempat aku menanyakan alasannya, dia sudah menutup pintu.

Beruntung kali ini aku pegang kunci mobil milik Gavin. Biasanya memang aku yang selalu membawanya jika dia sedang tidak selera menyetir. SUV hitam terparkir di halaman parkir basement sejak kami meninggalkannya dua minggu ke Kalimantan. Mobil ini perlu dipanaskan sebelum mesin-mesinnya mogok bekerja ̶ seperti pegawai korporat. Hanya sekitar 10 menit, mobil kukendarai keluar dari gedung.

***

Lokasi yang dijanjikan Ardani merupakan sebuah kafe di pusat keramaian ibu kota. Terpampang jelas pada sebuah tulisan standing board, buka dari pukul delapan hingga malam. Masih cukup sepi, tapi sekilas aku melihat sosok wanita berambut panjang duduk membaca buku di tengah ruangan kafe ini. Tersadar ada seseorang membuka pintu kafe, wanita itu mendongak menatapku di balik kacamatanya. Ardani tersenyum. Melihatnya saja hatiku seketika bahagia.

Aku menghampirinya dan melihat sudah tersedia teh lemon hangat di atas meja. Sungguh, wanita yang begitu berkelas namun memiliki sisi unik.

“Segera pesan sesuatu, aku yang traktir sebagai perayaan sebelum melepas masa lajangku.” Ardani tersenyum lebar.

Mendadak aku menggeleng menolak. “Tidak perlu. Kita rayakan sama-sama, tapi tidak usah traktiran begitu,” protesku.

“Lagi pula hanya kamu sendiri, tidak masalah buatku, Lingga.” Ardani bangkit dari kursi menuju meja pesanan. “Mau kopi atau coklat?” tawarnya.

“Bebas. Aku menerima segalanya.”

Tidak perlu waktu lama, pesanan minumanku tiba. Aku sedikit terkejut dengan minuman yang dipesan Ardani.

“Kenapa susu stroberi?” gerutuku. Ardani menyeringai sambil mengedikkan bahu. “Kamu bilang bebas. Ya, kupesankan saja. Itu minuman spesial dan paling banyak dipesan di kafe ini. Recommended karena stroberinya manis.”

Tiba-tiba wajahku merona ketika Ardani menyebut kata manis sambil memandangku. Aku berdeham seraya menggulung kemeja. Demi menutupi rona wajahku, aku pura-pura mencari kacamataku yang entah kutaruh di mana.

“Jadi, besok kalian bisa hadir ke acaraku, kan? Aku sungguh menantikan kalian berdua,” ucap Ardani tak peduli aku sedang sibuk mencari kacamata.

Persetan pada benda mempertajam penglihatanku itu. Dari jarak begini aku masih bisa melihat wajah Ardani yang indah. “Yup. Gavin ingat, kok. Semalam di pesawat dia sudah memastikan jadwalnya.”

Kami terdiam canggung. Tapi, aku melirik pada buku tergeletak di sampingnya.

“Oh, kamu suka baca buku, ya?” tanyaku basa-basi memastikan hadiah benda semacam itu pasti yang diinginkan Ardani.

Dia menoleh pada bukunya yang cukup tebal. “Aku ini pernah bekerja sebagai asisten penulis, tidak diragukan lagi aku suka baca buku,” celetuknya.

“Tapi, ada satu buku sastra yang ingin sekali kubaca.”

Nah, ini dia.

Ulyses.” Aku menatapnya tidak paham apa yang dia maksud.

“Itu judul novel dari seorang penulis Irlandia. Sangat kontroversial, tapi aku penasaran dengan isinya. Sayang sekali, buku itu hampir tidak ada di sini.”

“Lalu, di mana kamu ingin mendapatkannya?”

Ardani menggeleng. “Belum tahu. Sepertinya hanya ada di perpustakaan khusus.” Ah, kuurungkan niat memberinya buku langka seperti itu.

Teringat sesuatu, aku seketika resah. “Tunggu dulu. Besok hari pernikahanmu, kenapa kamu malah pergi keluar? Apalagi menemui pria lain. Bukankah itu larangan?” tukasku padanya.

“Tidak apa-apa. Sudah lama aku ingin keluar rumah. Aku tidak punya teman lain selain dirimu dan Bella. Dan tentu saja majikanmu itu.”

Aku tertawa. “Begitulah, itu juga demi keamananmu,” cetusku. Tapi aku merasakan Ardani seperti tidak senang dengan kalimatnya barusan.

Tiba-tiba dia bergumam seakan tidak ada diriku di hadapannya. “Kalau sesuatu terjadi padaku, aku berusaha lebih baik lari.”

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status