Share

Rahasia Hilangnya Sang Pengantin
Rahasia Hilangnya Sang Pengantin
Penulis: AIr Tuya

Chapter 1 Terbang Menuju Ibu Kota

“Masih ada waktu sekitar 2 jam 10 menit untuk sampai di bandara ibu kota dari Balikpapan. Setidaknya saat ini aku bisa menlanjutkan istirahat.”

Begitulah yang terlihat pada layar sandaran kursi pesawat di hadapanku saat ini. Aku bekerja sebagai asisten dari seorang novelis yang sedang tertidur pulas memiringkan kepalanya di sebelahku. Pria ini adalah seorang penulis novel detektif-misteri terkenal karena karyanya yang mengagumkan. Sayangnya, sosok orang ini tidak pernah diliput media lantaran memang keinginannya menutup jati dirinya. Bahkan, namanya saja tidak asli.

Sementara tidak ada yang harus kulakukan, akhirnya hanya menatap jendela pesawat yang gelap menampilkan awan-awan hitam ­̶ sebenarnya tidak hitam, hanya langitnya saja yang gelap karena kami berangkat sudah petang. Seorang pramugari mendatangi kursi kami memintaku untuk melepas sabuk pengaman penumpang yang tertidur di sebelahku.

Aku pun berusaha membangunkan orang ini. Kusentuh kepalanya yang bersandar di pundakku supaya dia segera mengangkat kepalanya. Rambutnya begitu halus hampir mengenai hidung dan mataku sehingga menjadi gatal. Orang ini pingsan atau kenapa, sampai-sampai tidak terbangun oleh tanganku yang menggoyangkan kepalanya.

“Gavin, bangun sebentar. Lepaskan sabuk pengamanmu!” perintahku. Gavin akhirnya perlahan membuka kedua mata sambil mengangkat kepalanya membetulkan posisi duduk.

“Sudah sampai?” Gavin mengucek matanya berusaha mengembalikan kesadaran.

“Belum, kau tertidur pulas sekali. Take off your seat belt,” perintahku kembali.

"Yeah, sebentar. Aku ingin mengembalikan kesadaranku dulu."

Gavin tidak segera melakukannya, dia hanya menghela napas pendek. Kulihat dari pandangan matanya terlihat dia begitu kelelahan. Sudah pasti Gavin terlalu banyak pikiran, karena memang itu hobinya. Itu juga sebagai alasan agar dia tidak terlalu memikirkan mantan asistennya yang akan segera menikah.

“Kenapa tidak kau saja melepaskan sabukku? Kita sama-sama pria tidak masalah, kan?”

“Bodoh, merepotkanku saja,” cetusku seraya menurunkan meja dari sandaran kursi pesawat. “Ingin minum apa, Tuan Besar?”

“Segelas air mineral,” pinta Gavin.

Tidak lama setelahnya, pramugari itu kembali dengan mendorong troli minuman untuk ditawarkan para penumpang. Pramugari yang bersolek cantik nan tersenyum ramah itu menawarkan produk minuman maskapai mereka. Tapi aku hanya meminta segelas air mineral dan teh panas. Jangan mengejekku, teh panas ini untuk diriku akibat pendingin udara kabin yang luar biasa membuatku beku.

Gavin meneguk segelas air minumnya habis seketika. Dan kebetulan ternyata gelasnya berukuran kecil. Seperti tidak cocok untuk ukuran Gavin yang butuh banyak minum.

“Lusa kita datang ke pernikahan Ardani, ya?” tanya Gavin. Sembari meletakkan gelasnya dia sudah menebak jadwalnya sebelum aku membuka buku agendaku.

“Ya, apa kau tidak mau hadir?”

Gavin diam sejenak.

“Bicara apa kau? Meskipun aku diam-diam mencintainya, bukan berarti aku tidak mau hadir pada hari bahagianya,” celetuknya.

“Kau tidak merasa patah hati atau semacamnya?”

Gavin menggeleng. Yah, sebenarnya ini bukan urusanku. Tentu saja terbersit ada rasa patah hati pada sosok yang kita cintai, namun orang itu malah memilih bersama yang lain. Gavin memang sudah lama memendam rasa pada mantan asistennya itu. 

Jujur saja, aku tidak suka melihat majikanku ini terlalu banyak beban pikiran. Dampaknya akan memperburuk kondisinya. Tugasku sebagai asisten pun alhasil merangkap menjadi juru tulis. Kuputuskan untuk beralih topik.

“Apa yang sudah kau dapatkan selama satu minggu di kota ini?” tanyaku.

Gavin mencibir. “Ah, pertanyaanmu ini lebih baik dari pada membahas yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaanmu, Lingga.”

Sebenarnya kami mengambil waktu dua minggu untuk riset. Masing-masing kami mengambil bahan dari wilayah yang berbeda.

“Baiklah, maafkan aku, Gavin,” timpalku sambil menyeruput teh yang tak lagi panas. Pendingin udara kabin ini keterlaluan dinginnya.

“Ada kabar setelah aku mencari bahan riset siang tadi, seseorang mengatakan pernah ada orang hilang secara misterius di daerah itu dan belum ditemukan hingga saat ini.”

Mendengar kisah nyata itu aku langsung tertarik mendengarkannya. Anehnya, kabar itu tidak sampai ke telinga media massa. Berita itu hanya masuk dalam portal berita daerah sekitar. Aku mendengarkan Gavin dengan saksama, apakah kisah nyata ini bakal dia angkat dalam cerita novelnya kali ini.

“Lalu apa yang akan membuat ceritamu menarik untuk edisi ini?” tanyaku penasaran.

“Terlintas aku mendapat ide akan kubuat sang detektif menghilang secara misterius.”

Kedua mataku membelalak tak percaya. “Oh tidak, tokoh utama kesayanganku menghilang.”

“Ya, aku ingin yang lebih menantang.”

“Kenapa harus si detektif yang menghilang di ceritamu ini?”

“Detektif ini juga seorang manusia, Lingga. Kau ingat, dia punya seseorang yang dia cintai dalam kebisuan? Itulah alasan dia menghilang karena sosok wanita yang ia cintai telah memilih pria lain.”

“Kau ingin cerita ini lebih fokus pada romansa?”

Gavin mengangguk. Aku terkekeh.

“Why you laugh? Are you mocking me?”

No, Gavin. Hanya saja tidak biasanya cerita novelmu kali ini lebih fokus pada kisah percintaan. Ya, aku tahu novel-novelmu yang lain juga menceritakan sang detektif memiliki perasaan yang lama ia pendam untuk wanita itu.” Lalu aku menyeringai usil lantaran kisah ini nyata dialami sang penulis supaya orang lain turut merasakan yang sedang dialaminya.

Gavin menghela napas. Sejenak ingin mengungkapkan sesuatu.

“Aku memang mencintainya, Lingga. Bahkan di kala acara pernikahannya lusa, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana dan tentu saja aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku ini.” Gavin bertopang dagu. Dari mimik wajahnya kelihatan sekali dia sedang kalut. Kami sebagai laki-laki jika sudah mengenal cinta, tidak tahu harus berbuat apa demi seorang wanita. Aku sendiri bahkan tidak tahu bagaimana harus berbuat dengan situasi semacam ini. 

“Mungkin lebih baik kau ungkapkan saja pada Ardani. Jadi, kalian sama-sama lega,” celetukku.

Gavin melirikku sinis. “Kau ingin aku merusak hubungan pengantin baru?”

“Maksudku, dari pada kau merasa pikiran itu selalu membebanimu, lebih baik kau ungkapkan. Toh, Ardani dan calon suaminya tidak akan segera bercerai saat itu juga,” usulku seenaknya memberi saran.

Gavin diam tidak membalas. Aku beranggapan mungkin dia bakal melakukannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status