Share

Chapter 4 Perbincangan yang Janggal

“Hei, aku masih di sini. Kenapa malah melamun sambil bicara sendiri?” sahutku menjetikkan jari.

Ardani tersenyum hampa seraya menggeleng. “Kepalaku tiba-tiba saja memerintahku untuk mengucapkannya. Aku sendiri tidak tahu mengapa.” Benar-benar wanita satu ini tidak bisa ditebak lagi jalan pikirannya, aku membatin.

Sementara dia kembali ke kenyataan, aku menyeruput susu stroberi. Ardani benar, buah stroberi yang ditaruh di bibir gelas ini sangat manis. Umurku hampir kepala tiga, tapi caraku memakan buah stroberi seperti anak kecil. Airnya menetes di atas mejaku. Memalukan sekali caraku makan di depan wanita.

“Lingga… aku tidak ingin berpisah dari Gavin.”

Mataku terbelalak. “A-apa? Kenapa kok mendadak bicara begitu? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?”

“Jujur saja, aku kepikiran apa yang dikatakannya semalam. Aku menelepon demi memeriksa keadaannya apakah dia sudah sampai dengan selamat. Maaf, aku tidak kepikiran meneleponmu.”

Sebenarnya aku sudah tahu. Tapi, aku mencoba pura-pura tidak mengerti apa yang terjadi antara mereka berdua.

“Tak apa, ponselku kebetulan mati. Memang apa yang dikatakannya?”

“Dia bilang mencintaiku.” Ardani menghela napas panjang. “Tapi dia bilang itu sebagai ungkapan terima kasih. Itu membuatku kepikiran sebenarnya.”

Ah, sial. Aku jadi terlibat hubungan dua orang ini. Bagaimana aku harus menghadapinya. Saranku ternyata malah jadi semakin rumit.

“Maaf, Ardani, aku tidak bisa ikut campur hubungan kalian berdua. Gavin kurang terbuka untuk masalah semacam ini,” kilahku berusaha menjaga nada bicara.

“Iya, benar. Dia selalu menutup diri. Terlebih orangtuanya saja tidak paham dipikiran anak mereka.”

“Apa kamu mencintai Gavin?” selaku.

Ardani mengusap bawah hidungnya. “Aku tidak mungkin mau menikahi orang lain kalau mencintai Gavin.”

“Lantas apa yang membuatmu kepikiran kalau kamu tidak mencintainya?”

“Aku hanya mengkhawatirkannya. Apakah dia tidak rela aku meninggalkan apa yang sudah membuatnya menjadi sekarang ini?” Sejenak dia terdiam. “Kenapa harus mengatakan kalau dia mencintaiku sebagai tanda terima kasih.”

“Apakah Gavin sama sekali tidak pernah membuka diri padamu saat masih menjadi asistennya?”

“Seperti yang kubilang, dia suka menutup diri. Padahal, awalnya dia begitu terbuka bahkan memerintahku layaknya budak. Belakangan ini saja dia sering mengalihkan pandangan sesekali aku kontak mata dengannya,” jelas Ardani.

Aku mengangguk paham.

“Semoga dia tidak kecewa dengan keputusanku. Kumohon jangan ceritakan ini padanya. Takutnya bakal terjadi kesalahpahaman.”

Kuanggukan kepalaku kedua kali. Saat ini aku ibarat brankas. Sebagai penyimpan ‘barang’ berharga. Melindungi rahasia setiap perasaan dua pasangan yang agak runyam. Selama jadi asisten Gavin aku jarang bicara banyak, seringkali hanya cerewet padanya demi menjaga kesehatannya. Ardani dan aku kembali berbincang santai tak lagi membicarakan Gavin. Tiba-tiba aku teringat pada gumaman Ardani.

Saat kutanyakan padanya, dia hanya menggeleng. “Tidak apa-apa, Lingga. Mungkin aku agak kelelahan demi mempersiapkan acara besok.”

“Oh, maaf kalau begitu. Mau kuantar pulang? Aku naik mobilnya Gavin.”

“Tak perlu repot-repot. Aku takut ketahuan orangtuaku kalau pulang bersama pria lain.”

“Bisa kuantar kamu sampai depan pos penjaga. Tidak kelihatan dari lantai apartemenmu, ‘kan?” desakku, “Kamu sudah membelikan susu stroberi dan tidak pernah mengecewakan.” Aku menyeringai.

“Ya, sudah, terserah.” Ardani tersenyum malu sambil bangkit dari kursinya. Betapa bahagianya diriku semobil dengan wanita cantik nan anggun ini. Adakah wanita lain semacam Ardani? Langka sekali sepertinya.

***

Kembali ke apartemen seraya membawakan makan malam Sang Tuan Besar, lantas aku menuju ruang apartemennya. Sekaligus melaporkan apa saja yang sudah kubeli sesuai anggaran. Pada akhirnya, aku membelikan satu set perlengkapan dapur. Jujur saja, aku tidak paham selera Ardani selain buku.

Aku menekan bel. Beberapa menit tak kunjung terbuka pintunya, sesaat aku khawatir pada Gavin. Dia tak mungkin pergi begitu saja tanpa mengabariku. Ponsel aku keluarkan dengan segera menghubungi nomornya. Namun, tak terjawab.

“Astaga. Orang ini ke mana?” Kekhawatiran mulai melandaku. Sebab, dua bulan lalu Gavin pernah ambruk akibat asam lambungnya naik. Lekas diriku membawanya ke rumah sakit dan dia harus dirawat selama seminggu. Semoga tidak terulang lagi mengingat di kulkasnya masih tersimpan dua botol bir. Sembrononya aku kelupaan membuang minuman busuk itu.

Sementara aku menunggu balasan dari Gavin, sesosok pria datang tepat di sebelahku berdiri sambil membawa sekantong plastik. Aku menoleh terkejut. Ingin rasanya aku meneteskan air mata saking paniknya.

“Kau dari mana?” hardikku.

“Beli camilan. Di bawah ‘kan, ada minimarket. Kau lama tinggal di sini, sudah lupa?”

Kukepalkan tanganku bersiap ingin meninju perutnya supaya asam lambungnya kambuh. Tapi, mengingat aku pergi cukup lama, dia membeli cemilan itu demi mengganjal perutnya. Kusodorkan makan malamnya meskipun ini masih pukul lima sore.

“Ayo, masuk dulu. Kita makan bersama,” ajak Gavin membuka pintu.

Kemudian aku segera ke dapurnya, membuka kulkas. Namun, tidak mendapati dua botol bir. Menyadari apa yang kulakukan dari ruang makan Gavin berseru sudah membuangnya. Maka dari itu, kemarin dia menanyakanku apakah menyediakan bir.

“Syukurlah kalau kau ingat kesehatanmu.”

Dia menyeringai. “Kau seperti ibuku, cerewet. Tapi aku menyayanginya.”

Aku membalas mendengus. Kami lalu melanjutkan makan malam sembari membicarakan barang yang sudah kubelikan sebagai hadiah untuk Ardani.

“Terima kasih sudah repot membelikan hadiah spesial untuknya. Alasan aku ingin kau sekalian membelikan makan malam supaya aku tidak terlalu lama menunggumu pulang. Perutku ini tidak boleh sampai kosong.”

“Iya, maaf, Tuan Besar,” balasku.

“Besok pagi kenakan pakaian terbaik. Jangan sampai mengecewakan Dani. Aku sudah merelakannya bersama pria lain yang lebih kaya dariku.”

“Sombong sekali. Kau sarkasme atau bagaimana?”

“Setelah tahu profil perusahaan calon suaminya, rupanya profitnya lebih besar dariku.” Gavin mengedikkan bahu, mencibir. “Setidaknya tahun lalu perusahaan ayahku berhasil masuk Forbes. Sedangkan perusahaan calon suami Dani pernah tersandung kasus-”

Tanganku memukul meja menghentikan kesombongannya. “Diamlah, ganti topik lain. Bicara bisnis tidak ada gunanya padaku. Kau hanya ingin sombong, bukan? Kalau kau bicara begini di depan Ardani, bisa didepak!” kataku gusar.

Gavin tercenung dengan ucapanku barusan. Tentu saja, Ardani tidak mungkin mendepak Gavin. Tapi, itu bakal menyakiti hatinya, sudah pasti. Dia bilang, perusahaan calon suami Ardani pernah tersandung kasus? Ah, entahlah aku tak ingin membahasnya. Selesai makan malam aku segera kembali ke apartemenku bersiap istirahat dan menyiapkan untuk acara besok.

Esok paginya, kami segera menuju sebuah hotel mewah tempat melangsungkan acara pernikahan Ardani. Kali ini Gavin yang menyetir. Dia kelihatan sumringah sedari tadi. Pakaiannya begitu rapi mengenakan jas formal berwarna biru navy dipadukan kemeja serta dasi warna hitam serasi. Semerbak wangi parfumnya kembali menyeruak hidungku. Aku meyakini dia bakal memikat para wanita setelah acara ini berakhir.

Sampai di ruang aula hotel yang begitu indah dekorasinya, aku dan Gavin segera duduk pada meja khusus VIP. Seperti biasa, semua diatur oleh Ardani sendiri, sangat totalitas. Tak lama, acara pun dimulai dengan sang calon pengantin pria sudah menunggu di altar. Selesai membacakan semacam pembekalan pada calon pengantin pria, kami semua tamu undangan menatap tertuju pintu masuk. Menunggu calon pengantin wanita yang anehnya tak segera muncul.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status