Pagi itu, Anetta menatap pantulan dirinya di kaca lift kantor yang mengkilap. Rambut hitamnya tergerai rapi, beserta blazer biru navy yang menempel pas di tubuhnya. Ia menarik napas panjang, mencoba meredam degup jantung yang sejak semalam sulit untuk dikendalikan. Hari ini, ia akan menghadapi sebuah pertemuan penting. Ya pertemuan bisnis, katanya. Tapi jauh di dalam hati, ia tahu ini lebih dari sekadar urusan kerja. Ada hati yang menjadi taruhan terbesarnya.
Nama di email itu masih menari-nari jelas di kepala Anetta. Anthony Reynard. CEO muda yang kariernya melesat, dan… pria yang sama lima tahun lalu meninggalkan bekas luka di hidup Anetta. Dia juga adalah pria yang baru dua minggu lalu Anetta temui kembali di pesta pernikahan sahabat SMA mereka. Pertemuan di pesta itu singkat, penuh tatap yang menekan, kata-kata sopan yang disembunyikan di balik segelas wine. Bagaimana percakapan sengit berakhir di area parkiran. Masih terekam kuat di benaknya. Dan Anetta pun sudah bertekad, setelah pesta itu ia tak akan lagi bersinggungan dengan Anthony. Sayangnya, takdir seakan mengejek, dengan kembali mempertemukan mereka. Pintu lift terbuka. Anetta melangkah keluar dengan langkah mantap, walau telapak tangannya basah dingin. Asisten pribadinya, Karin, menyusul di belakang sambil membawa map tebal. “Bu Anetta, saya sudah siapkan semua data. Agenda presentasi bisa jalan sesuai rencana.” “Baik. Pastikan semua dokumen lengkap. Jangan sampai ada yang terlewat,” jawab Anetta datar. Namun dalam hati, ia ingin sekali berkata: Andai saja aku juga bisa memastikan tidak ada perasaan lama yang ikut terbawa dalam ruangan itu. Anetta menghembuskan nafas kasar, sebelum benar-benar kembali berhadapan dengan sosok Anthony. Ruang rapat lantai 30 terlihat profesional, dengan meja panjang dari kayu walnut dan layar besar di dinding. Begitu pintu terbuka, Anetta langsung melihat sosok yang berkeliaran di pikirannya sejak dua pekan lalu. Anthony Reynard. Duduk di ujung meja, mengenakan setelan abu-abu gelap, dasi hitam tipis, dengan wajah tenang yang sulit ditebak. Waktu seakan berhenti sesaat. Mata coklat amber itu menatap lurus ke arah Anetta, seperti menusuk langsung ke inti hatinya dan ingin menelannya hidup-hidup. “Selamat pagi, Bu Anetta,” sapa Anthony dengan senyum tipis, nyaris formal. Anetta membalas dengan anggukan dingin. “Selamat pagi, Pak Anthony. Terima kasih sudah meluangkan waktu.” Karin buru-buru mengatur proyektor, sementara beberapa staf Anthony juga sudah siap dengan laptop masing-masing. Suasana dibuat seprofesional mungkin, tapi atmosfer aneh menyelubungi ruangan. Seolah hanya ada mereka berdua di sana, padahal meja dipenuhi orang. Presentasi berjalan dengan lancar. Anetta bicara tegas, menyampaikan rencana kolaborasi, menekankan keuntungan jangka panjang. Anthony mendengarkan dengan serius, kadang mengangguk, sesekali mengajukan pertanyaan tajam. Diskusi formal itu menjadi arena duel intelektual—tak ada satupun yang mau terlihat lemah. Namun di balik kalimat-kalimat bisnis mereka, terselip bahasa lain. Ketika Anthony bertanya, “Apakah perusahaan Anda siap menghadapi risiko ini?” tatapannya jelas berkata, Apakah kamu siap menghadapi aku lagi? Saat Anetta menjawab, “Kami sudah mengantisipasi semua kemungkinan,” yang ia maksud sebenarnya adalah, Aku sudah mengantisipasi hatiku, jangan harap kau bisa masuk lagi. Satu jam berlalu. Presentasi selesai. Staf satu per satu meninggalkan ruangan, menyisakan hanya dua manusia berbeda genre, yaitu Anetta dan Anthony. Keheningan jatuh, menekan dada Anetta lebih berat daripada percakapan bisnis barusan. Anthony membuka suara lebih dulu. “Kamu masih sama seperti dulu. Gigih, penuh kendali. Bahkan lebih… memikat.” Anetta menegang. “Kita di sini bicara kerja sama, Tony. Jangan campur aduk hal pribadi.” Pria itu berdiri, berjalan pelan mendekati sisi meja tempat Anetta duduk. Ada jarak formal, tapi aura keintiman masa lalu ikut menyeruak. “Kalau kerja sama ini jalan, kita bakal sering ketemu lagi, Ta,” ucap Anthony lagi dengan nada tenang, tapi ada ketegangan samar di balik suaranya. Tata hanya mengangguk singkat. “Aku tahu.” Untuk sepersekian detik, mata mereka bertemu, mengingatkan pada malam yang sama-sama mereka simpan rapat-rapat. Ada sesuatu yang tak terucapkan, tapi jelas terasa. “Aku tidak bisa berpura-pura, Ta,” lanjut Anthony rendah. “Lima tahun lalu aku bodoh. Aku biarkan ego dan nafsuku menghancurkan kita. Tapi melihatmu lagi, di pesta itu, lalu sekarang… rasanya mustahil menganggap semua ini kebetulan.” Anetta menegakkan tubuh, mencoba menahan gejolak di dadanya akibat dari perkataan Anthony barusan. “Itu sudah masa lalu, Tony. Aku sudah membangun hidupku sendiri. Jangan tarik aku ke belakang.” Anthony menatapnya lekat, lalu menundukkan kepala sedikit, seolah menahan sesuatu. “Entah kenapa… aku merasa kamu masih menyembunyikan sesuatu dariku.” Kalimat itu membuat Anetta tercekat. Sesaat ia takut Anthony bisa menyinggung rahasia yang mati-matian ia jaga. Tapi ia buru-buru berdiri, meraih map dan tasnya. “Pertemuan selesai. Jika perusahaanmu serius dengan kerja sama ini, kita lanjutkan secara formal lewat tim masing-masing.” Potong Anetta menyudahi percakapan yang makin menjurus ke masa lalu. Tangannya bergetar saat memegang gagang pintu. Tapi sebelum keluar, Anthony bersuara lagi. “Aku tidak akan mundur kali ini, Ta.” Suaranya rendah, nyaris berbisik, tapi penuh tekad. “Baik dalam bisnis… maupun dalam hidupmu.” Anetta menarik nafas dalam. Sebisa mungkin Anetta tidak menoleh. Ia tahu jika ia menatap ke arah Anthony, pertahanannya pasti bisa runtuh. Maka ia melangkah keluar, meninggalkan Anthony dengan segudang kalimat tak terucap. Namun di dalam hatinya, satu kenyataan mengguncang: rahasia terbesar yang ia sembunyikan selama lima tahun… tetap aman, untuk sementara waktu. Sementara Anthony, semakin yakin jika takdir tidak pernah main-main dalam mempertemukan mereka lagi. Di koridor luar ruang rapat, Anetta melangkah cepat. Tumit sepatunya beradu dengan lantai marmer, tapi suaranya kalah bising dibanding detak jantungnya sendiri. Ia menekan tombol lift, berusaha fokus pada angka-angka digital yang menyala. Tapi pikirannya tak bisa berhenti memutar ulang tatapan Anthony, nada suaranya, dan terutama kalimat terakhir itu: "Aku tidak akan mundur kali ini." Saat pintu lift terbuka, Anetta masuk tergesa. Ia baru sadar, jemarinya sejak tadi menggenggam ponselnya begitu erat. Layar ponsel menyala, menampilkan notifikasi foto terbaru dari galeri otomatis. Sebuah gambar kecil: Dion, sang putra, dengan senyum polos di halaman rumah. Anetta menutup layar cepat-cepat, seakan takut ada mata lain yang bisa mengintip. Dadanya sesak. Ia tahu satu hal pasti: semakin dekat Anthony mencoba masuk ke hidupnya lagi, semakin rapuh benteng yang ia bangun selama lima tahun terakhir. Nafas Anetta memburu, tidak boleh, Anthony tidak boleh tau, batinnya. Dan di lantai 30 yang kembali sepi, Anthony berdiri di tepi jendela. Ia menatap ke luar gedung, ke arah langit Jakarta yang kelabu. Namun sorot matanya lebih tajam dari langit yang murung. Jemarinya mengetuk pelan meja. “Aku akan cari tahu, Ta… semua yang kamu sembunyikan dariku," gumannya pelan. "Termasuk yang kau pikir aman selama lima tahun terakhir.” Tekad bulat Anthony dan berbahaya. Sebagai orang yang paling mengenal Anetta, tentu saja Anthony sangat yakin seratus persen ada yang disembuyikan oleh wanita itu.Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai tipis ruang tamu, menyingkap wajah Anetta yang masih duduk di sofa dengan mata sembab. Malam tadi seolah tidak berakhir, bayangan Anthony masih tertinggal, bersama tatapan Dion yang polos tapi menusuk.Anetta menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Tangannya gemetar. Ia tahu, sejak momen itu, tidak ada jalan kembali. Dion sudah melihat terlalu banyak. Anthony sudah melangkah terlalu jauh. Dan dirinya… sudah kehabisan alasan untuk terus bersembunyi.Suara langkah kecil terdengar dari lorong. Dion muncul dengan rambut acak-acakan, membawa boneka dinosaurus kesayangannya. “Ma…” suaranya serak, “Om Anthony beneran nggak bakal datang lagi?”Pertanyaan itu menusuk dada Anetta seperti pisau tumpul. Ia berusaha tersenyum, meski bibirnya kaku. “Sayang… Om Anthony sibuk. Dia mungkin nggak bisa sering datang.”Dion menunduk, memeluk bonekanya erat. “Tapi aku suka Om, Ma. Dia bikin aku nggak takut sama gelap.” Mata kecil itu mengangkat pandangan, men
“Good girl…” gumam Anthony, suaranya pelan tapi cukup menusuk ke telinga Anetta. Pintu terbuka hanya sejengkal, menyingkap sosok pria tinggi dengan jas gelap yang rapi, aroma maskulin khasnya langsung menyeruak ke ruang tamu. Mata ambernya menatap tajam ke arah Anetta yang berdiri kaku di balik pintu, wajahnya pucat pasi. “Anthony…” suara Anetta bergetar, setengah berbisik, setengah menahan panik. “Kamu nggak seharusnya di sini.” Anthony melangkah masuk tanpa menunggu izin, bahunya mendorong pintu hingga terbuka penuh. “Aku sudah terlalu sering dilarang dengan kata ‘seharusnya’, Tata. Dan lihat hasilnya, kamu sembunyikan Dion selama lima tahun dariku.” Anetta refleks menutup pintu cepat-cepat, takut suara keras membangunkan Dion. “Jangan keras-keras… Dion sudah tidur.” Anthony mencondongkan tubuhnya sedikit, wajahnya mendekat, menurunkan nada suara. “Justru itu. Aku ingin melihatnya… bahkan hanya sekilas.” “Tidak,” Anetta segera menyela, tubuhnya bergerak menghalangi jalan ke lo
Pagi menjelang siang, kantor Atelier Anetta tampak sibuk. Beberapa desainer junior sibuk menyiapkan moodboard, sementara staf administrasi bolak-balik membawa dokumen. Di salah satu ruang kerja terbuka, Anetta berdiri di depan papan besar, mencoba mengarahkan timnya, tapi pikirannya masih terlempar pada percakapan terakhir dengan Anthony.Napasnya berat setiap kali ingatan itu kembali pada tatapan mata amber yang menuntut, suara parau yang menyinggung Dion."Kalau memang Dion anakku… aku nggak akan biarkan dia tumbuh tanpa tahu siapa ayahnya."Anetta memejamkan mata sesaat, lalu memaksa fokus kembali pada layar laptop yang menampilkan render desain lobby Skyline.“Bu Anetta,” suara Karin, asisten pribadinya, memecah lamunan. “Ada telepon dari sekolah Dion. Guru wali kelas ingin bicara sebentar.”Deg. Anetta menoleh cepat, tangannya refleks meraih ponsel kantor. “Halo, ini ibunya Dion. Ada apa, Miss Clara?”Suara hangat guru wali terdengar di seberang, meski dengan nada sedikit cemas.
Pagi itu, gedung tinggi Reynard Group berkilau diterpa sinar matahari Jakarta. Orang lalu-lalang di lobby megah, sibuk dengan ritme korporat yang padat. Di lantai paling atas, sebuah pintu kayu berukir elegan menandai ruangan CEO—Anthony Reynard. Nama itu kini membuat perut Anetta mengeras setiap kali mendengarnya. Dan sialnya, pagi ini ia justru berdiri di depan pintu itu, menahan napas sebelum mengetuk. “Bu Anetta Aileya?” suara resepsionis lantai eksekutif yang mendampingi terdengar sopan. “Silakan masuk. Pak Anthony sudah menunggu.” Anetta menelan ludah. Ia merapikan blazer putih gadingnya, menenteng map desain revisi untuk proyek kerjasama kantornya dan Reynard Group. “Baik…” jawabnya lirih. Tangannya sempat gemetar sebelum akhirnya mendorong pintu besar itu. Ruang CEO Reynard Group selalu memberi kesan megah dan dingin. Langit-langit tinggi dengan kaca jendela setebal empat lapis memperlihatkan pemandangan Jakarta yang berlapis-lapis: gedung pencakar langit, jalan raya pada
Malam itu udara Jakarta terasa lebih lembap dari biasanya. Anetta duduk di ruang tamu, menatap layar laptop yang masih terbuka di meja, tapi pikirannya melayang ke tempat lain. Setiap kali ia mencoba membaca ulang proposal desain, justru wajah Anthony muncul begitu saja.Sial. Ucapan terakhir pria itu, “Aku bakal ada di sini sampai kamu berhenti pura-pura,” masih bergema jelas di telinga Anetta.Anetta mengusap wajah dengan kedua tangan, berusaha menghapus bayangan itu. Tapi semakin ia berusaha, semakin kuat Anthony merasuk ke dalam benaknya. Bersama bayang lima tahun lalu ikut meliuk-liuk di dalam ingatan Anetta.Belum lagi efek dari sentuhan jemari Anthony pada garis rahangnya tadi, kembali menguar memori malam panas yang mereka berdua habiskan saat itu.Ding!Suara notifikasi ponsel memecah hening dan berhasil membuyarkan lamunan Anetta. Dengan ragu, ia meraih ponsel di samping laptop.[Anthony]: “Udah tidur, Baby? Atau masih mikirin aku hmm?”Anetta membeku. Tangannya gemetar sesa
Huft! Anetta menghembuskan nafas kasar, setelah pintu apartemen tertutup rapat, Anetta masih duduk terdiam di kursi makan. Tangannya meremas apron yang masih melekat di tubuh, wajahnya panas, jantungnya berdebar tak karuan. Ucapan terakhir Anthony 'See you soon, Baby' masih terngiang jelas di telinganya. Sial. Kenapa pria itu selalu tahu cara mengguncang pertahanannya? Monolog Anetta di dalam hati. “Ma, Lego-ku jatuh di bawah ranjang,” seru Dion dari dalam kamar, memecah lamunan. Anetta buru-buru bangkit, mencoba menenangkan dirinya. “Iya, sayang, mama ambilin.” Ia berjalan ke kamar Dion, membantu bocah itu mengambil Lego, lalu merapikan ranjang kecilnya. Dion menatap ibunya dengan polos. “Om Anthony baik ya, Ma. Dia lucu.” Kalimat itu membuat jantung Anetta berhenti sejenak. Dion tidak boleh terlalu dekat dengan Anthony. Setidaknya… belum sekarang. “Om Anthony itu teman lama Mama, Nak,” jawab Anetta hati-hati, mengusap rambut Dion. “Tapi Dion jangan terlalu banyak nanya dulu, y