LOGINMentari pagi merambat pelan lewat jendela kamar, menembus tirai putih tipis yang bergoyang pelan ditiup angin. Aroma roti panggang dan susu hangat memenuhi apartemen sederhana itu. Suara riang seorang bocah kecil terdengar dari ruang tengah.
“Bunda! Dion udah siap pake seragam!” teriaknya lantang. Anetta, tersenyum dari dapur. Tubuhnya ramping dibalut piyama tipis, rambut panjangnya diikat asal, wajahnya masih polos tanpa polesan riasan. Ia menyendok telur orak-arik ke atas piring kecil bergambar dinosaurus. “Sabar, Nak. Sarapan dulu. Kamu kan nggak bisa belajar kalau perut kosong.” Dion Ganesha, bocah laki-laki berusia empat tahun dengan rambut hitam sedikit bergelombang dan mata bundar berwarna amber yang tajam, melangkah masuk sambil membawa tas kecil bergambar superhero. Wajahnya ceria tapi penuh rasa ingin tahu, persis seperti sosok Anthony saat masih muda, meski Anetta selalu menepis pikiran itu. “Tapi Bunda, Miss Clara bilang kalau datang ke sekolah lebih pagi, aku bisa main di playground dulu.” Dion manyun, menatap Anetta seolah menawar. Anetta terkekeh geli. “Ah, pintar banget anak Bunda. Tapi kalau kamu main di playground dengan perut kosong, nanti malah sakit perut. Mau?” Dion menggeleng cepat. “Enggak.” “Ya udah, duduk manis, habisin makanannya, baru kita jalan. Oke.” Bocah itu menuruti dengan patuh. Ia memanjat kursi dan mulai menyendok telur dengan sendok kecil. Mulut mungil Dion bergerak lincah, lalu ia menenggak susu hangat dengan gaya sok dewasa. Sesekali ia mencuri pandang pada sang Bunda yang tengah sibuk memasukkan bekal ke kotak makan. “Bunda cantik banget hari ini,” celetuk Dion polos. Anetta berhenti sejenak, menoleh, lalu mencubit pipi anak itu gemas. “Kamu ini, ya. Baru umur empat tahun udah bisa gombal.” “Aku kan laki-laki, Bunda. Harus bisa bikin cewek tersenyum,” jawabnya enteng, membuat Anetta seketika terpingkal. Setelah sarapan, Anetta membantu Dion mengenakan sepatu. Ia merapikan rambut putranya dengan sisir kecil. Ada rasa haru setiap kali ia menatap mata anak itu. Ya mata yang jelas-jelas milik Anthony. Setiap pagi, ia diingatkan lagi pada satu malam panas yang tak pernah ia bayangkan berbuah begini besar. Sekolah Dion hanya berjarak sepuluh menit dari apartemen mereka. Anetta selalu mengantarnya dengan mobil kecil peninggalan almarhum sang ayah. Sepanjang jalan, Dion cerewet menceritakan hal-hal kecil. Tentang dinosaurus baru yang ia lihat di buku, tentang temannya yang suka makan permen, bahkan tentang cita-citanya ingin jadi arsitek. “Arsitek itu mirip sama Bunda, kan?” tanya Dion polos. “Kenapa mirip?” Sahut Anetta dengan pertanyaan juga. “Soalnya Bunda suka bikin gambar rumah, desain, terus kerja di tempat yang ada komputer besar. Aku lihat kemarin pas Bunda lagi kerja di laptop.” Jawab Dion lugas. Anetta tersenyum, tangannya refleks mengusap kepala anak itu saat mereka berhenti di lampu merah. “Iya, mirip. Tapi Bunda lebih sering bikin rumah jadi cantik. Kalau arsitek, bikin bangunannya dulu.” “Kalau gitu, nanti aku jadi arsitek, Bunda jadi desainer. Kita kerja bareng!” seru Dion dengan semangat, membuat mata Tata berkaca-kaca. Kagum akan kecerdasan sang putra. Setelah mengantar Dion, mobil dikendarai oleh Anetta melaju ke kantornya yang kecil tapi nyaman. Sebagai desainer interior freelance yang perlahan berkembang, ia punya satu ruang kantor mungil dengan dua karyawan muda yang membantunya. Hari itu ia punya janji dengan seorang klien besar, seorang pemilik restoran yang ingin membuka cabang baru. Anetta datang dengan blazer krem dipadukan celana hitam, rambutnya terurai rapi. Senyum hangatnya profesional, tapi pikirannya masih tertinggal pada Dion. Di ruang meeting, Anetta menjelaskan konsep desain dengan penuh percaya diri. Ia menampilkan slide berisi visualisasi 3D restoran bernuansa modern tropis. Kliennya tampak terkesan, beberapa kali mengangguk puas. “Anda sangat detail, Bu Anetta. Saya suka. Kita lanjut ke tahap kontrak, ya,” kata pria paruh baya itu. “Terima kasih, Pak. Saya akan siapkan semua dokumen dalam dua hari.” Pekerjaan itu berarti tambahan besar bagi keuangan Anetta. Ia tak hanya harus membayar cicilan apartemen, tapi juga biaya sekolah Dion, asuransi kesehatan, dan kebutuhan lain. Menjadi orangtua tunggal bukanlah hal mudah, tapi setiap kali melihat senyum anaknya, semua lelah yang Tata rasakan lenyap begitu saja. Tepat sore hari, Anetta menjemput Dion di day care. Yang masih satu lingkup dan dikelola oleh pihak sekolah. Bocah itu langsung berlari keluar gerbang, melambaikan tangan kecilnya begitu melihat sosok sang ibu muncul. “Bunda!” Seru Dion antusias, seraya semangat berlari menghampiri Anetta. “Eh, hati-hati jatuh!” seru Anetta sambil membuka pintu mobil. Di dalam perjalanan, Dion menceritakan banyak hal lagi, kali ini tentang lomba mewarnai yang akan diadakan minggu depan. “Bunda harus datang, ya! Aku mau Bunda lihat gambarku.” Titah Dion, jelas tak mau penolakan. “Tentu saja, Sayang. Bunda nggak akan ketinggalan.” Jawab Anetta yang langsung disambut tawa riang oleh Dion. Sesampainya di unit apartemen mereka, Anetta melepas high heels, mengganti pakaian, lalu menemani Dion mengerjakan tugas kecil dari sekolah. Sesekali mereka bercanda, hingga tawa bocah itu memenuhi ruangan. Malamnya, setelah Dion terlelap, Anetta duduk sendirian di balkon kecil. Secangkir teh hangat di tangannya, matanya menatap jauh ke lampu-lampu kota. Hatinya sering dihantui ketakutan. Bagaimana jika suatu hari Anthony tahu? Bagaimana jika Dion tiba-tiba ingin tahu siapa ayahnya? Bagaimana jika takdir mempertemukan mereka lagi? Pertanyaan demi pertanyaan itu seperti bayangan gelap yang menempel di sudut pikiran Anetta. Tapi setiap kali ia menoleh ke arah kamar, melihat Dion tidur pulas dengan wajah damai, ia tahu jawabannya sederhana yaitu apapun risikonya kelak, ia akan melindungi anak itu dengan seluruh hidupnya. “Bunda…” suara kecil Dion terdengar lirih dari kamar. Tata segera masuk, melihat sang anak menggeliat di kasur. “Kenapa, Sayang?” Tany Anetta begitu lembut. “Aku mimpi jelek.” Cicit Dion memberitahu. Anetta langsung berbaring di samping Dion, dan memeluk tubuh kecil itu erat. “Tenang, Bunda di sini. Nggak ada yang bisa sakiti kamu.” Dion menyusup ke pelukan ibunya, perlahan kedua mata Dion kembali terpejam. Anetta menatap wajah mungil itu, lalu mengecup keningnya lama. Tanpa dikomando, air mata mengalir diam-diam. “Kalau suatu hari kamu tahu siapa ayahmu, semoga kamu mengerti, Nak…” bisiknya pelan. Ada perasaan sesak yang mengelanyuti dada Anetta, bila teringat kembali akan sosok ayah biologis dari putranya. Di luar, kota masih bising dengan aktivitas malam. Namun di dalam kamar itu, ada dunia kecil yang hanya milik mereka berdua, hangat, rapuh, dan penuh cinta. Malam semakin larut, setelah menidurkan Dion, Anetta beranjak dari tempat tidur dan memilih duduk di balkon apartemen sambil menatap lampu kota. Angin berhembus pelan, membawa rasa cemas yang tiba-tiba menggelayuti hatinya. Entah kenapa, ia merasa sesuatu akan berubah dalam hidupnya. Mungkin itu hanya perasaan lelah. Atau mungkin, sebuah pertanda. Ponselnya bergetar. Sebuah email masuk dari salah satu klien baru yang ingin bertemu untuk membicarakan proyek apartemen mewah. Nama klien itu membuat jantung Anetta berhenti sesaat, Anthony Reynard. Tangannya gemetar. Tidak... jangan sekarang. Dunia yang ia bangun dengan susah payah selama empat tahun terakhir tampaknya akan segera terguncang. Ia menatap kamar, melihat Dion tidur dengan damai. Perlahan, ia berbisik dalam hati: Apapun yang terjadi… aku akan melindungi Dion. Tapi… apa aku siap menghadapi Anthony lagi? Pertemuan itu tak terelakkan. Dan Anetta tahu, takdir tak pernah datang tanpa menagih harga.Angin sore menusuk lebih tajam dari biasanya ketika Anthony keluar dari area pusat kota. Mobilnya melaju dengan stabil di jalan tol, tapi pikirannya tidak.Setiap kilometer terasa seperti detik mundur menuju sesuatu yang tidak bisa ia tarik kembali.Nomor itu.Pesan itu.Foto itu.Dan sekarang—alamat itu.Gudang lama milik Reynard Group.Gudang yang—sialnya—pernah jadi wilayah operasional Daniel.Anthony meremas setir sampai buku jarinya memutih.“Kalau dia bohong… gue hancurin.”Nada suaranya rendah, seperti seseorang yang sedang menahan badai di dalam dadanya.Tapi ia tahu satu hal:Daniel nggak pernah kirim pesan ngawur.Nggak pernah pakai jalur darurat kecuali situasi benar-benar genting.Dan Daniel… selalu orang yang paling dulu maju kalau ada ancaman pada Anthony.Selama lima tahun ini, Daniel ada terus.Di kantor.Di rapat.Di semua masalah operasional.Selalu ada.Dan justru karena itu……Anthony tahu ini bukan jebakan murahan.Kalau Daniel bilang gawat, artinya sudah mulai re
Mobil sedan milik Anthony, segera tancap gas menuju lokasi gambar yang barusan ia dapat. Gedung parkir tempat foto itu diambil bukan lokasi asing bagi Anthony. Ia mengenal pola lampunya, struktur tiangnya, bahkan cat kusam di lantai tiga yang tidak pernah diperbaiki sejak lima tahun lalu.Ia memarkir mobil di sudut yang sama seperti di foto. Sudut yang dulu ia lewati tanpa curiga. Kini, tempat itu terasa seperti luka yang belum sempat dibuka.Anthony turun dari mobil. Udara lembab memenuhi paru-parunya, bercampur aroma beton dingin dan oli lama.Ponselnya masih menggenggam pesan itu.“Tentang 5 tahun lalu. Kita perlu bicara. Jangan bawa siapa pun.”Nomor yang terpakai adalah nomor lama, pola digitnya familiar. Bahkan terlalu familiar. Seolah seseorang sengaja memakai nomor bekas yang dulu pernah dipakai divisi internal Reynard Group, nomor yang seharusnya sudah nonaktif.“Jadi kamu mau main di area abu-abu,” gumam Anthony.Ia berdiri di titik yang sama dengan sudut kamera dalam foto.
Anetta terbangun dengan kepala berat, seperti baru naik turun emosi semalaman. Ruang tamu masih remang, tirai hanya setengah terbuka. Namun, sosok Bram sudah tidak ada, yang tersisa hanya selimut yang dilipat rapi dan aroma kopi tipis yang menandakan seseorang pergi terlalu pagi.Ia mengucek mata. Jam berapa Bram pergi? Entahlah. Yang pasti, ia tidak sempat mengucapkan apa pun semalam… selain tertidur di bahunya seperti orang yang kehilangan benteng.“Aku harus bangun,” gumam Anetta.Baru saja ia beranjak memposisikan diri duduk, Anetta menemukan secarik kertas memo di atas meja.“Aku ada urusan pagi-pagi banget.Jangan kaget kalau bangun aku nggak ada.—Bram”Seketika senyum tipis terbit di sudut bibir Anetta setalah membaca tulisan itu. "Ck, aku kira selama ini dia kanebo kering, ternyata dia manis juga." Monolog Anetta seorang diri.Ceklek!Suara pintu kamar kecil terbuka. Dion muncul sambil menyeret selimut, rambut acak-acakan, mata masih 70% di alam mimpi.“Mama… Papa mana?” tany
Udara di ruang kerja Anthony masih membawa aroma wiski dan debu masa lalu. Layar laptop menampilkan deretan kode yang terus berjalan, pertanda Operation Eden sudah bergerak. Namun pikirannya kini tidak lagi terpaku pada dokumen atau strategi. Ada satu nama yang terus berputar di kepalanya. Anetta. Wanita itu mungkin sedang di ruang desain sekarang, menunduk pada layar komputer seperti biasa, seolah dunia tak pernah berubah. Padahal bagi Anthony, satu kalimat di emailnya barusan sudah cukup untuk menyalakan lagi seluruh arus listrik yang ia tahan berbulan-bulan. Tanpa banyak pikir, ia meraih kunci mobil dan berjalan cepat keluar ruangan. Sekretarisnya sempat bersuara, tapi Anthony hanya berkata singkat, “kalau ada yang cari aku, bilang saja aku sedang menagih utang lama.” Lift menutup, membawanya turun menuju lantai sepuluh. Begitu pintu terbuka, aroma cat dan kertas blueprint langsung menyeruak. Lantai desain selalu punya aura yang berbeda, lebih hidup, lebih manusiawi… dan lebih
Pintu ruang rapat menutup dengan bunyi klik halus yang terlalu sopan untuk menutupi perang yang baru saja terjadi.Anthony berdiri di koridor sejenak, menatap bayangannya di kaca, rautan wajah yang sama dengan pria di balik meja tadi, hanya saja tanpa senyum manipulatif itu.Udara di lantai lima belas terasa tipis.Ia menarik napas panjang, tapi yang masuk justru aroma dingin perdebatan yang belum selesai.“Personal boundaries,” gumamnya sinis. “Lucu sekali kau bicara soal batas, Dad.” Lanjutnya.Ia lalu terus berjalan, melangkah ke ruang kerjanya, membanting pintu cukup keras untuk membuat sekretaris di luar menegang. Jasnya ia lempar ke kursi, lalu membuka kancing kemeja bagian atas, seolah ingin melepaskan genggaman tangan tak kasat mata milik sang ayah yang masih menjerat lehernya.Laptop di meja Anthony masih menyala, menampilkan sebuah email masuk dari Anetta yang belum sempat dibuka.Mata amber milik Anetta berhenti di situ. Lama.“Revisi laporan sudah saya kirim, untuk evalua
Langit siang menatap kota lewat kaca besar ruang kerja Anetta. Ia berdiri di depan jendela, cangkir kopinya sudah dingin, tapi tangannya masih memegang erat, seolah itu satu-satunya pegangan waras yang tersisa. Pertemuan barusan seperti luka lama yang dibuka tanpa bius.Ceklek!!Suara pintu terbuka memecah diam itu.Bram masuk tanpa mengetuk, jasnya sudah ia lepas, lengan kemeja tergulung hingga siku. Ada urat yang menonjol di lengannya, dan entah kenapa, Anetta mendadak sadar bahwa ia masih ingat persis bentuk itu, termasuk bagaimana dulu tangan itu menggenggamnya waktu ia menangis di balkon apartemen.“Jadi, beginikah caramu profesional, hm?” suara Bram pelan, tapi dingin.Anetta menoleh perlahan. “Kamu mau bahas kerjaan atau drama pribadi?” Sindir Anetta telak.Bram berjalan mendekat, langkahnya berat tapi tenang. “Kadang, dua-duanya memang nggak bisa dipisahin, Netta. Apalagi kalau kamu bawa masa lalu ke pekerjaan.” Jawab Bram sarkas.“Jangan mulai lagi, Bram. Aku udah cukup cape







