Share

Bab 03

Rania yang duduk tidak jauh dari menantunya lantas mengedarkan pandangan. Tentu dia mencari keberadaan putranya. Tak bisa dipungkiri ruangan 5 x 5 meter yang semula kosong sekarang telah penuh terisi. Hanya Gitalah yang duduk sendirian di bangkunya.

"Kemana kamu Rey. Mama kira kamu gak bakal telat buat acara sepenting ini," gerutu Rania menyesali kenapa mereka tidak berangkat berbarengan saja tadi. Ah, tapi apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur.

Arah pandangan Rania hanya tertuju ke pintu saja. Dia sangat berharap anaknya tidak akan terlambat meski sedetik saja.

"Gak usah panik ya Git. Mama yakin Reynald bentar lagi datang," seru Rania saat mengetikan pesan singkat ke calon menantunya. Gita yang sudah tidak tahu mau berbuat apa cuma bisa pasrah di tempat duduknya.

Dia kalut bukan main mengingat ketidaksiapan Reynald membangun rumah tangga dengannya. Bagi Gita jika seorang laki-laki sudah membuat keputusan maka dia takkan menelan ludahnya sendiri.

Sebagai bentuk kegelisahan tersebut tangannya terus saja meremat di atas pangkuan. Sungguh dia kebingungan sekarang. Tatapan lekat orang-orang tak luput menyaksikan kegelisahan gadis itu.

"Harusnya aku sadar diri." Gita sampai membatin seperti itu. Sedikit banyaknya dia menyesal tidak memberitahu yang sejujurnya pada Rania.

Harusnya sang calon mertua tahu apa yang diinginkan anaknya. Kalau terus-terusan begini batinnya yang tersiksa, sementara Rania berusaha menghubungi Reynald melalui telepon.

Entah keajaiban darimana orang yang mereka tunggu-tunggu tiba bertepatan dengan kedatangan ketua sidang beserta ibu dari persatuan bhayangkari.

***

Sumringah sekali wajah Rania saat melihat sidang nikah yang anaknya jalani berjalan lancar. Matanya sedikit berkaca-kaca, mengenang masa dimana dia dan almarhum suami pernah berada di posisi tersebut. Keterlambatan Reynald pun sekarang telah dia maklumi. Rania menganggap anak sematawayangnya itu cukup sibuk sebagai polisi sehingga itulah penyebab keterlambatannya hari ini.

"Mama gak nyangka bisa ngelihat kamu di posisi ini Rey," ucap Rania bermonolog sendiri. Saat itu juga senyumnya tak mau luntur. Terlebih menatap Gita yang semula tampak gugup.

Tak lama setelah sidang diakhiri, satu per satu pasangan yang hadiri di ruangan ini keluar. Di wajah mereka tergambar suatu kelegaan setelah satu jam duduk di kursi dan ditanyai ini-itu.

Bahkan orang tua salah satu polwan yang hadir sempat berbincang dengan Rania. Dia juga merasa lega rangkaian sidang B4R putra dan menantunya berjalan tanpa ada sedikit pun hambatan.

"Ooh, anak ibu yang tinggi gagah itu toh." Orang yang Rania maksud pun bersuara. Sungguh dia takjub melihat pembawaan Reynald yang begitu berwibawa.

"Iya, Pak. Anak bapak juga cantik. Polisi muda lagi," puji Rania setelah mengetahui sedikit latar belakang anak perempuan dari pria yang duduk di sebelahnya tadi.

"Cantik sih, iya bu soalnya kan anak wedok, tapi susahnya itu lho disuruh cari bojo. Selalu ada aja alasannya," gerutu Suroso mengingat putri keduanya tersebut.

Rania sampai tergelak kecil mendengar omelan singkat bapak-bapak yang sudah nampak sepuh itu.

"Anak saya juga gitu, Pak. Kalau gak dipaksa nikah gak bakal nikah-nikah."

"Anak mudah zaman sekarang emang gitu ya, Bu. Lha dulu kita kalau belum masuk kepala tiga langsung ditanyai 'mana calonmu le?'" Lagi-lagi Rania terhibur mendengar ucapan Suroso.

Pembawaannya yang humoris membuat mantan ibu bhayangkari itu betah berlama-lama berbincang. Meski Gita dan Reynald sudah keluar dari ruangan per lima menit lalu.

"Bener, Pak. Orangtua zaman dulu gak bakal bisa tenang sebelum anaknya naik pelaminan."

"Makanya itu, Bu saya heran sama anak sekarang kok ya tenang banget padahal orangtuanya di rumah ngebet pengen nimang cucu."

Saat di ruang hanya tersisa beberapa orang barulah Rania sadar harus menghentikan obrolan singkat ini. Jangan sampai Reynald dan Gita menunggunya terlalu lama di luar sana.

Dengan gestur mengedarkan pandangan ke arah lain Rania berucap, "Kayaknya udah kelamaan kita ngobrolnya, Pak. Takutnya anak-anak udah pada nungguin di luar."

Suroso pun menyadari hal tersebut lalu dia menepuk jidatnya pelan sebab terlalu asyik berbincang dengan Rania. "Lho iya, Bu. Kayaknya anak sama calon menantu saya udah nunggu juga. Pasti ngomong kemanalah bapakku ini," tutur Suroso tak hentinya berkelakar.

"Yaudah, kalau gitu saya pamit dulu ya, Pak. Semoga pernikahan anak-anak kita berjalan lancar sampai hari H."

"Aamin."

Rania akhirnya pamit lalu berjalan meninggalkan Suroso yang masih berdiri menunggu putrinya yang katanya segera menyusul.

Wanita setengah baya yang mengenakan blouse semata kaki tersebut berjalan cukup anggun. Kakinya sudah tahu harus melangkah kemana sebab dari jarak sedekat ini siluet tinggi tegap Reynald tertangkap di manik matanya.

Namun, yang justru dia lihat, sang calon menantu tertunduk lesu saat Reynald dengan tubuh tinggi gagahnya berdiri di hadapan Gita. Entah apa yang mereka bicarakan.

****

H-5 Sebelum Hari Pernikahan .....

Rania memasuki kediamannya dan yang terlihat hanyalah kesibukan para asisten rumah tangganya dalam mengemas beberapa bingkisan untuk dijadikan seserahan nanti. Wanita anggun itu tampak terburu-buru sebab ada tamu yang menunggunya di dalam.

"Untuk seserahan yang mau dibawa pas malam midodareni didahulukan dulu ya, Mbak," titah nyonya rumah megah ini kepada pembantunya.

Ria yang sedang menata bad cover mengangkat jempolnya. "Aman, Bu. Ada Pak Marno yang selalu siap membantu."

Rania tersenyum mendengarnya. Terlebih menyaksikan kecekatan Marno, sang tukang kebun dalam membingkis perabotan rumah tangga ke dalam keranjang bambu.

"Mbak Adel sama Mas Arganya udah di dalam ya Mbak?" tanya Rania sambil celingak-celingukan mencari tamunya.

"Iya, Bu ada di ruang tamu. Tadi udah Ria jamu sama makanan," jawab Ria singkat, padat dan jelas. Rania langsung bergegas menuju ruang tamu demi menemui pihak Wedding Organizer yang mengatur pernikahan putranya.

Tentu kedatangan tim Akad untuk membahas persiapan pernikahan Reynald serta Gita yang nyaris tujuh puluh persen telah selesai. Meski terakhir kali dia melihat interaksi tidak biasa

"Maaf ya Mbak Adel, Mas Arga udah buat kalian nunggu lama." Kalimat itulah yang pertama kali Rania ucapkan ketika menghampiri tim Akad, Wedding Organizer yang tengah dia gunakan jasanya.

Adel serta Arga langsung berdiri menyambut si pemilik rumah. Senyum merekah dua anak manusia itu perlihatkan ke klien potensialnya.

"Gak papa kok, Bu. Kami juga baru datang," sahut Adel mewakili Arga. Setelah Rania duduk barulah keduanya menyamankan diri di sofa. "Begini bu untuk pencatatan tamu kami berencana makai sistem digital jadi lebih efisien dan tamu undangan bisa terdata dengan baik apalagi banyak tamu VIP yang akan hadir nanti."

Rania kontan menyambut tablet yang Adel sodorkan. Dia begitu tertarik dengan terobosan baru ini. Matanya pun berbinar terang ketika membaca detail informasi yang tersaji di benda persegi tersebut.

"Dan untuk pencatatan tamu kali ini kita punya tiga opsi, Bu. Satu scan wajah, dua scan barcode yang memang sudah tertera di kartu undangan dan yang ketiga menggunakan fingger print," jelas menyambung kalimat Adel.

"Wah, menarik sekali mas. Apa biaya pencatatan tamu ini udah include sama budget awal?"

"Sudah termasuk, Bu. Ini jasa yang kami tawarkan untuk setiap klien yang memilih paket eksklusif."

"Wah, kalau gitu pakai yang ini aja, Mas. Biar tim yang bertugas nanti gak perlu ribet dan semua bisa tercover dengan baik." Rania langsung mengambil keputusan saat itu juga.

Meskipun jasa yang mereka tawarkan belum termasuk ke dalam budget, Rania akan mengambilnya demi kelancaran pesta pernikahan sang putra.

Namun, kedatangan Adi, supir keluarganya menjeda obrolan ketiga orang itu. Dengan wajah ramahnya, Adi menyapa tamu Rani sebelum melaporkan sesuatu.

"Maaf, Bu. Mas Reynald-nya sama sekali gak ke rumah Non Gita. Dan saya dapat kabar dari kantornya kalau Mas Reynald sedang dinas di luar kota."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status