Share

Bab 09

Dengan langkah pelan, Reynald menggeret kakinya menuju dapur. Suasana hening malam mengisi selasar lantai dua tempat dia berpijak sekarang. Dapur bersih yang seringkali ditujukan untuk menghidangkan makanan yang sudah selesai dimasak sekarang menjadi destinasi tujuannya.

Tempat yang kadang dimanfaatkan Rania untuk menyantap cemilan dan berbagai hidangan lainnya. Belum sempat menginjakan kaki di kamar, cacing-cacing di perutnya lebih dulu berbunyi minta diisi.

Terlebih cuaca dingin malam hari yang membuatnya sangat lapar. Mau membangunkan Ria pun dia tidak tahu apakah sang asisten rumah tangga masih terjaga di tengah malam begini.

"Apa minta tolong Pak Abdi aja buat beliin makanan di luar?" Reynald berbicara pada dirinya sendiri. Sungguh perutnya sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

Sementara di kamar, Gita masih sibuk dengan ponselnya. Jari-jarinya lancar mengetikan huruf demi huruf, membalas pesan Tia, teman kerjanya yang saat ini mendapat jatah sift malam.

Selesai membalas pesan Tia tiba-tiba suara langkah kaki dari arah luar terdengar, menyita perhatian Gita yang hendak berlabuh ke alam mimpi lantaran mau menunggu Reynald pun dia sudah pesimis duluan, akan tetapi siapa gerangan langkah kaki itu? Tidak mungkin Ria karena wanita empat puluh tahun tersebut tiga jam lalu pamit ke Rania untuk tidur lebih awal.

Atas dasar rasa penasaran, Gita memilih beranjak dari ranjang. Dia yang sudah mengenakan piyama kini berjalan keluar kamar demi memastikan bukan maling yang menyusup ke rumah mewah ini.

"Tapi gak mungkin malinglah. Kan di depan ada Pak Abdi sama Mas Setyo yang jaga malam." Gita menggelengkan kepalanya mengenyahkan opsi tidak masuk akal tersebut.

Di tengah cahaya remang-remang lantai satu Gita melangkah perlahan. Jangan sampai dia membangunkan seisi rumah hanya karena salah menebak. Mungkin itu suaminya yang baru pulang.

Pria yang rela pulang semalam ini agar tidak berpapasan dengan sang istri. Butuh ekstra kesabaran setiap kali mengingat sikap ketus pria yang jauh lebih tua darinya.

"Mas Reynald." Benar saja dugaan Gita. Reynald-lah yang tengah mondar-mandir di dapur membuka laci kabinet, entah mencari apa.

Gerak-geriknya terkesan rusuh. Di waktu-waktu orang tidur seperti ini, Reynald justru masih berkeliaran di dapur. Masih mengenakan seragam dinasnya pula.

Pun Gita mengira Reynald tidak akan pulang, mengingat kebencian sang suami begitu besar untuk dirinya karena selama beberapa hari ini pria itu lebih memilih mengurung diri di ruang kerja papanya.

Reynald yang masih tidak sadar ada Gita di belakangnya terus saja melakukan kegiatannya mencari sebungkus mie instan yang jarang tersedia di rumahnya. Jujur, dia sudah lapar sekali saat ini. Mau menyuruh Abdi pun urung dia lakukan.

Kalau ada yang bisa segera dia masak kenapa harus merepotkan orang lain? Terbiasa dengan kerasnya kehidupan di asrama membuat Reynald tidak manja.

Namun, usahanya itu belum membuahkan hasil apa-apa. Tidak ada satu pun makanan instan di lemari-lemari yang tergantung itu. Bahkan, sebungkus biskuit pun nihil.

Sia-sia dia mengharapkan barang yang tidak ada di sini. Padahal tadinya dia berharap menemukan sebungkus mie yang sering menjadi makanan favorit sang asisten rumah tangga di kala bosan.

"Apa cari di kulkas aja? Siapa tahu ada makanan sisa makan malam tadi yang bisa dihangatkan." Baru hendak beranjak membuka kulkas, Reynald dikejutkan oleh Gita yang memegang semangkok semur ayam di tangannya.

"Mas lapar kan? Duduk aja di meja makan biar aku aja yang hangatkan makanannya," urai Gita menawarkan diri, sedangkan Rey diam di tempat seolah masih mencerna keadaan.

Dan saat sadar akan sesuatu, dia mulai bersuara hendak menghentikan niat baik istrinya.

"Biar saya aja. Kamu gak perlu bersikap sok baik karena saya gak butuh itu semua." Apalagi yang bisa Reynald ucapkan selain kata-kata pedas nan menohoknya. Pria itu seakan tidak bisa lepas dari sikap sinisnya yang sudah mendarah daging.

Untuk kali ini Gita mencoba menulikan telinga. Dia akan bersikap seolah-olah tidak mendengar penolakan yang baru saja Reynald berikan. Dengan terampil dan sangat cekatan dia mulai menghidupkan kompor lalu sesekali membolak-balik daging ayam tersebut agar menghangat sempurna.

Tahu omongannya sedang tidak digubris, untuk kali ini dia mencoba mengalah. Pun perutnya sudah tidak bisa memberi toleransi lagi. Tanpa sadar bokongnya telah mendarat ke permukaan kursi meja makan. Tidak lain dan tidak bukan menunggu Gita menyiapkan makanan untuknya.

Tak berapa lama makanan itu pun selesai. Gita membawakannya ke hadapan sang suami beserta sepiring nasi hangat.

Ketika meletakkannya tanpa sengaja keduanya bertemu pandang sekian detik. Reynald yang sedari awal tampak acuh tidak acuh kini menatap Gita selama beberapa detik.

"Mas bisa makan sekarang. Aku gak akan ganggu." Setelah memutus tatapan tersebut, Gita izin pamit ke kamarnya, sedangkan Reynald memperhatikan punggung perempuan yang baru saja dia nikahi itu semakin menjauh.

***

Hujan yang menghadang kali ini benar-benar sangat mengerikan. Tak luput diiringi suara gemuruh yang saling bersaut-sautan di atas sana. Seorang gadis remaja yang masih mengenakan seragam putih abu-abunya tersebut terlihat berdiri di depan pintu gerbang yang hanya dilindungi oleh sebuah plafon biru selebar satu setengah meter.

Gerbang itu juga yang biasanya menjadi satu dari sekian banyak tempat duduk yang dipilih orang-orang kala menunggu jemputan. Namun, sial kali ini dia terjebak seorang diri di sini. Tidak ada siapa pun yang bisa dia ajak bicara.

Siang menuju sore yang harusnya masih terang kini terlihat sendu diselimuti awan gelap. Kaki gadis tujuh belas tahun itu menghentak-hentak kecil bersamaan dengan tangan yang saling memeluk tubuhnya satu sama lain. Menunggu entah berapa lama lagi dirinya akan dijemput.

Namun, seorang pemuda mendadak muncul sembari menyelimuti punggung sang gadis dengan jaket yang dia bawa. Melihat itu, Sania tersenyum hangat. Begitu pula si pemuda yang nampak terpukau untuk ke sekian kalinya menyaksikan senyum tersebut.

Bak seperti film yang berganti latar, suasana manis itu hilang secepat kilat digantikan dengan pemandangan seorang perempuan yang berdiri di tepi atap gedung pencakar langit bersama raut depresinya yang terpampang nyata. Seolah telah yakin dengan keputusannya, sosok tersebut memasrahkan tubuhnya digilas oleh puluhan mobil di bawah sana.

Dan keinginannya itu menjadi kenyataan saat sebuah mobil menghantam tubuh mungilnya sangat keras. Senyum segarisnya sempat muncul sebelum dia benar-benar menutup mata lalu mengembuskan napas terakhirnya.

Kejadian menyeramkan tersebut perlahan memudar dan membangunkan Reynald yang baru beberapa jam terlelap di ruang kerja Papanya.

****

Holla, dear. Aku update lagi nih. Jangan lupa tekan like dan komen ya. Kalau kalian suka sama cerita Reynald dan Gita masukan ke perpus dan share sebanyak-banyaknya ke media sosial.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status