Share

Bab 04

"Dinas keluar kota?" tanya Rani mengulang laporan supirnya barusan. Mendapat kabar seperti itu jelas dia terkejut padahal kemarin sang putra menyanggupi permintaannya untuk menemani Gita nyekar ke makam almarhum orangtuanya.

Pun Rani mengirim Adi ke kosan calon menantunya demi mengantarkan ponsel anaknya yang tertinggal di rumah. Dia pikir mungkin Gita serta Reynald masih belum berangkat. Ternyata kabar yang dia dapatkan jauh lebih mengejutkan.

"Apa Gitanya juga gak ada di kosan, Pak?" Makin beranak-pinaklah pertanyaan sang nyonya. Adi sampai menggaruk tengkuknya bingung harus menjawab seperti apa.

"Pas saya ke sana tetangga Non Gita bilang Non Gitanya udah berangkat dari tadi pagi naik kereta." Jawaban Adi spontan membuat Rania berpikir keras. Sungguh dia tidak habis pikir.

Naik kereta? Kemana anaknya itu sekarang? Kenapa sang putra tidak bisa mempertanggungjawabkan ucapannya?

"Ini hape Mas Reynald, Bu."

Rania mengambil telepon genggam pribadi yang seringkali Reynald gunakan. Lipatan di dahi Ibu satu anak itu kentara terlihat tatkala Adel memandanginya.

Sudah dia duga pasti ada yang tidak beres dengan kliennya kali ini. Absennya Reynald dalam setiap meeting menyebabkan gadis dua puluh delapan tahun tersebut mulai berpikir macam-macam.

Menyaksikan ekspresi serius Adel, Arga rasanya ingin terbahak di dalam hati. Kenapa raut wajah temannya selucu ini. Tidakah dia sadari Reynald memang se-red flag itu?

Padahal sudah sering Arga memvalidasi perasaan aneh Adel ketika pertama kali berjumpa dengan sang klien untuk membicarakan konsep gedung dan lain-lain.

****

"Baru kali ini lihat Bu Rani sampai sesibuk itu ngehubungi Mas Reynald. Kayaknya emang Mas Reynald udah ngelakuin kesalahan deh." Ria nyeletuk tanpa filter tatkala matanya menangkap sang majikan mondar-mandir di ruang tamu sembari terus menelpon anaknya.

"Jelaslah. Apa pernah sebelumnya Mas Reynald kayak gini, Mbak Ri? Gak kan? Mas Reynald itu selalu nurut sama Tante Rani dan sekarang dia pergi bilangnya kemana, jalannya kemana," balas Dandy yang sudah sangat akrab dengan asisten di rumah ini.

Sampai dia nimbrung bersama dua pekerja Rania. Pun mereka nampak santai duduk lesehan di pinggir kolam berenang. Masalahnya kalau bukan Dandy yang butuh udara segar dan kebosanan di dalam rumah mana mungkin mereka terdampar di sini.

Saking banyaknya seserahan yang akan diberikan membuat mereka menghabiskan waktu lama membungkus serta menata barang-barang tersebut.

"Saya rasa Mas Reynald gak berani nolak tugas dari komandannya makanya Mas Reynald batal nganterin Mbak Gita nyekar ke makam orangtuanya." Marno yang beberapa menit lalu asyik merenung memikirkan kemana anak majikannya.

"Bisa jadi gitu, Pak Marno. Apalagi Mas Reynald ambis banget kalau udah urusannya sama karir."

Dandy malah melanjutkan kalimat Marno, menyambung asumsi yang terlintas di kepalanya. Dia memeluk lututnya sembari menengadah ke atas merasakan embusan angin yang berlalu lalang di sekitaran kolam berenang.

"Tapi, Mas Dandy sadar gak sih, Mas Reynald itu gak pernah nunjukkin kedekatannya sama Mbak Gita. Kayak kurang gitu chemistry-nya padahal sebentar lagi mereka mau nikah."

Marno langsung memukul pundak Ria. Omongannya sudah mulai kemana-mana. Persis seperti emak-emak yang sedang bergosip dengan gengnya.

"Huss, gak usah ngomong sembarangan Ri. Kita kan gak tahu gimana hubungannya Mas Reynald sama Mbak Gita."

Ria langsung manyun ditegur seperti itu. Lagipula, semua yang dikatakan berdasarkan fakta dilapangan bukan sekedar omong kosong belaka.

"Santai aja kali, Pak. Itukan berdasarkan penglihatan saya."

Dandy terdiam beberapa saat. Entah kenapa tiba-tiba kepalanya mulai mencerna ucapan pembantu tantenya. Jujur, pun selama ini dia sangat jarang menyaksikan kedekatan antara kakak sepupunya itu dengan sang calon. Ah, tidak, bukan jarang melainkan tidak pernah.

"Saya juga ngerasa gitu Mbak. Kayak gak ada chemistri-nya mereka berdua. Flat." Komentar Dandy makin menambah bumbu gosip yang tanpa sadar telah mereka lakukan sejak sepuluh menit lalu..

"Nah Mas Dandy aja ngerasa gitu," timpal Ria membenarkan.

Marno cuma geleng-geleng kepala mendengarnya. Dia takut Bu Rani menangkap pembicaraan mengada-ngada dua orang ini. Terlebih kalau sang majikan sampai kepikiran dan membuat kondisi kesehatannya terganggu.

"Apalagi Mas Reynald dijodohin. Mungkin karena gak berani nolak mamanya dia diam aja." Dandy mengatakan hal tersebut saat matanya memperhatikan sang tante yang masih sibuk bersama ponsel serta telepon rumahnya.

"Iya, Mas. Tapi kasihan Mbak Gitanya kalau beneran Mas Reynald diam-diam gak setuju sama perjodohan ini." Helaan napas keluar dari mulut Ria.

Dia tidak bisa membayangkan bagaimana sengsaranya hidup Gita karena tidak dicintai oleh sang suami. Pasti akan lebih dramatis daripada sinetron yang sering dia tonton di televisi.

Saling terjebak keheningan selama beberapa menit terdengarlah suara mobil yang memasuki gerbang. Dandy yang terlanjur kepo memusatkan padangannya.

"Itu mobilnya Mas Reynald kan, Pak?" tanya Dandy kepada tukang kebun Rani.

Mendapat pertanyaan seperti itu, Pak Marno ikut melongokan kepalanya, memperhatikan mobil yang baru saja melintas di depan matanya. Kolam berenang terbuka yang majikannya desain sendiri ini membuat mereka bisa melihat siapa saja yang sedang berkunjung.

"Lha, iya Mas. Itu mobilnya Mas Reynald."

"Lho beneran Mas Reynald." Bukan lagi mobil orangnya pun sudah terlihat jelas baru turun dari kendaraan.

Tanpa aba-aba mereka langsung menuju ke ruang tamu, tempat dimana Rania, nyonya berdiam diri menunggu kepulangan anak sematawayangnya.

"Darimana aja kamu Nak?" Rania yang baru melihat kedatangan putranya secepat kilat bertanya. Hatinya sedari tadi ingin sekali mendengar penjelasan kenapa putranya itu sampai hati membohongi dirinya. "Kenapa dari tadi hape kamu gak bisa dihubungi?"

"Bener kamu sama sekali batal ngantar Gita nyekar ke makam orangtuanya?"

Rentetan pertanyaan beruntun memborbardir Reynald. Rania seakan tidak memberi putranya waktu untuk menghindar dari pertanyaan tersebut.

"Kenapa diam? Kamu bohongi mama kan? Kamu bilang bakal nganterin Gita tapi nyatanya kamu pergi keluar kota tanpa sepengetahuan siapa pun," tantang Rania menuntut Reynald untuk terus terang.

Binar kekecewaan terpatri di bola matanya. Selama tiga puluh dua tahun baru kali ini dia dibohongi sedemikian rupa oleh sang putra.

"Mama kecewa sama kamu Rey. Mama gak tahu lagi harus bicara apa. Mama malu sama Gita. Awalnya Mama masih positif thinking ngelihat interaksi kalian waktu itu. Ternyata feeling Mama salah."

Rania mendudukan dirinya di sofa. Dia semakin kecewa karena keterdiaman Rey yang sama dengan membenarkan semua pertanyaannya.

Air mata wanita lima puluh lima tahun itu pun sedikit menetes. Entah bagaimana caranya dia minta maaf dengan sang calon menantu. Pasti gadis itu juga kecewa.

"Pokoknya Mama gak mau tahu, pernikahan kamu bakal Mama percepat. Lebih cepat lebih baik," putus Rania tidak akan membiarkan perjodohan ini berakhir begitu saja.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status