Pesta kembang api telah selesai, begitu pula dengan hiburan dangdut yang menemani malam. Para pengunjung mulai membubarkan diri dan beranjak dari halaman alun-alun.
Nathan kembali berkumpul dengan teman-temannya. Mereka semua tampak menggandeng pasangan masing-masing. Di tangan mereka telah ada berbagai jajanan seperti jagung bakar, telur gulung, takoyaki, papeda, es teh, dan lainnya. "Mari makan!" seru Panji dengan wajah sumringah. Tanpa ragu, ia langsung duduk di tanah dan membuka plastik makanannya. "Kamu tuh ya, kalau ada yang gratisan selalu paling cepat geraknya," celutuk Agung, mengingat Panji sebelumnya mengaku kehabisan uang dan tidak membeli apa pun. "Ya, jelas dong," balas Panji tanpa rasa bersalah. Mereka semua duduk lesehan di tanah, membentuk lingkaran tanpa alas apa pun, menikmati makanan yang mereka beli. Rendi terlihat membawa banyak telur gulung, sedangkan Agung membawa cireng sambal. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, kali ini mereka menikmati malam tanpa minuman beralkohol. Sementara para pria asyik bercengkerama, para perempuan yang berasal dari desa berbeda hanya sesekali menimpali obrolan. Suasana semakin hangat dengan berbagai obrolan random yang mereka lontarkan. "Guys, kita pulang duluan, ya. Om Prabu pasti sudah menunggu anak gadisnya pulang. Tadi dia ke sini sama Dani, tapi kayaknya Dani sudah pulang tanpa mencari Reva," ujar Nathan. "Kita juga cabut, nih. Cewekku sudah minta pulang, takut dimarahi bapaknya," sahut Agung. Akhirnya, mereka semua memutuskan untuk bubar dan mengantarkan pasangan masing-masing lebih dulu. --- Tepat pukul dua dini hari, motor Nathan berhenti di depan rumah Reva. Ia siap bertanggung jawab jika Reva dimarahi oleh ayahnya. Ia bahkan sudah bersiap menghadapi kemarahan Prabu. Tok! Tok! Tok! "Assalamualaikum," Reva mengetuk pintu dengan hati-hati, sementara Nathan berdiri di sampingnya. Ceklek! Kriiit! Pintu terbuka, menampakkan sosok Rindi yang berdiri dengan tangan berkacak pinggang. Tatapannya tajam mengarah ke Reva dan Nathan. "Masuk!" titah Rindi tegas. Reva menunduk tanpa sepatah kata dan segera melangkah masuk. "Bulek, jangan marahi Reva. Ini salahku yang membawanya berpisah dari Dani..." Jedar! Ceklek! Sebelum Nathan selesai bicara, Rindi sudah menutup pintu dengan kasar. Nathan semakin khawatir jika Reva akan mendapat perlakuan keras dari kedua orang tuanya. Nathan sengaja tidak langsung pergi. Ia berjaga-jaga jika Reva benar-benar mendapat amukan, ia siap membelanya. "Jadi begini kelakuanmu?! Merengek-rengek minta izin keluar hanya untuk bertemu Nathan?! Kamu benar-benar anak yang membangkang! Tidak tahu balas budi!" Plak! Plak! Untuk pertama kalinya, Rindi menampar wajah Reva karena amarahnya yang meluap. Ia semakin murka saat Dani pulang dan mengatakan bahwa ia tidak menemukan Reva, sementara ponsel Reva tidak bisa dihubungi karena kehabisan baterai. "Maafkan aku, Bu," ucap Reva dengan suara bergetar. Tangannya memegangi kedua pipinya yang mulai terasa panas. "Maaf?! Itu saja andalanmu! Apa maafmu bisa mengembalikan kepercayaan Ibu padamu? Tidak akan!" Plak! "Mau jadi apa kamu kalau sudah tak mau mendengar omongan orang tua?! Mau hidup semaumu?! Kamu sudah tidak menganggap kami sebagai orang tuamu, ya?!" Plak! Kali ini, Rindi memukul punggung Reva dengan gagang sapu yang sudah ia siapkan sebelumnya. Prabu, yang sebelumnya tertidur, akhirnya terbangun karena keributan itu. "Sudah, Bu! Jangan dipukul begitu! Kita bisa bicara baik-baik," ucap Prabu, berusaha menenangkan istrinya. "Sakit, Bu..." rintih Reva, tangisnya semakin terdengar memilukan. Dari luar, Nathan masih berusaha mengetuk pintu sambil berseru, "Om, Bulek, jangan sakiti Reva! Dia nggak salah! Ini aku yang salah! Bulek, aku mohon buka pintunya! Sakiti saja aku, jangan Reva!" Namun, tak ada yang menggubrisnya. Rindi tetap meluapkan amarahnya pada putri bungsunya. "Sakit, kan?! Kalau tahu sakit, kenapa tidak pernah nurut?! Kamu terlalu dimanja! Semua selalu dituruti! Makanya kamu jadi pembangkang! Kalau tidak seperti ini, kamu tidak akan kapok!" Pukulan demi pukulan masih mendarat di tubuh Reva, hingga memar mulai bermunculan di kulitnya. Di luar, suara gaduh itu terdengar hingga membuat Siti, ibu Nathan, keluar dari rumahnya dan menghampiri putranya. Tanpa basa-basi, cletak! Siti menarik telinga Nathan hingga lelaki itu mengaduh kesakitan. "Aduh, Ibu! Kenapa main tarik aja sih?! Kalau kupingku copot gimana?!" gerutu Nathan sambil memegangi telinganya. "Kamu ngapain di sini?! Kamu habis pergi sama Reva, kan?!" Siti mendelik curiga, mengingat suara Rindi yang mengamuk di dalam rumah. "Sudah berapa kali Ibu bilang sama kamu, jangan berhubungan dengan Reva! Kenapa ngeyel terus?!" bentak Siti. Nathan hanya bisa terdiam. Ia tidak punya alasan untuk membela diri. "Sekarang balik! Cepat!" bentak Siti lagi. Akhirnya, dengan berat hati, Nathan mengendarai motornya pulang. Namun, suara tangisan dan jeritan kesakitan Reva masih terus terngiang di telinganya. Ia merasa seperti lelaki tak berguna karena tidak bisa melindungi gadis yang ia sayangi. Padahal, ia sudah berjanji untuk membela Reva dan menghadapi kedua orang tuanya. Di dalam kamar, Reva hanya bisa pasrah. Dalam benaknya, ia berpikir bahwa mungkin malam ini akan menjadi malam terakhirnya. Jika ibunya terus memukulnya seperti ini, mungkin ia benar-benar akan kehilangan nyawanya di tangan sang ibu sendiri.Pagi itu, suasana di Pondok begitu sibuk. Udara sejuk menyelimuti seluruh area pondok yang sudah mulai dipenuhi aktivitas para santri. Burung-burung berkicau seakan ikut menyambut semangat yang mengalir dari para santri yang tengah mempersiapkan acara haul almarhum Simbah Kiyai Daman Huri, pendiri pesantren ini. Raut wajah santri putra dan putri menunjukkan keseriusan dalam persiapan yang akan berlangsung sepanjang hari hingga malam nanti.Di halaman depan, terlihat para santri putra mengangkat meja-meja kayu besar ke bawah tenda yang baru saja selesai dipasang. Kursi-kursi mulai diatur rapi untuk menyambut para tamu yang terdiri dari orang tua santri, alumni, dan tokoh masyarakat sekitar."Ziyad, sini bantu angkat kursi yang masih di gudang," panggil Hamzah yang sedang sibuk mengatur kursi.Hamzah mengangguk dan mengusap peluh di dahinya. "Oke! Ini kursinya untuk para alumni atau orang tua kan?""Sebagian untuk alumni, sebagian lagi untuk orang t
"Maaf," imbuh Ziyad. Ia merasa bersalah karena telah kelepasan berbicara kasar.Ustadz Husain menghela napas dan menatap Ziyad dengan bijak. "Ziyad, kata-kata yang kamu ucapkan tadi tidak pantas keluar dari mulut seorang yang sedang belajar agama. Sebagai muslim kita dianjurkan untuk selalu berkata baik dan menjaga lisan."Ziyad menundukkan kepala, merasa menyesal. "Maaf, Ustadz. Saya tidak sengaja, hanya spontanitas saja."Ustadz Husain tersenyum, memahami. "Rasulullah mengajarkan bahwa ucapan adalah cerminan diri. Mari kita sama-sama berusaha menghindari kata-kata kasar, ya.""Insya Allah, Ustadz," jawab Ziyad, kini dengan wajah serius dan penuh kesungguhan. Tatapannya menunjukkan tekad yang baru, meskipun dalam hatinya ia tahu lima lagu lagi bukanlah hal yang mudah."Untuk lima lagi, insya Allah, Ali, bisa," tambahnya sambil tersenyum tenang. Ia melirik Ali, yang masih duduk dengan tenang, terlihat lebih pendiam dan fokus.Ham
"Ali, Bah? Ali kan belum pernah menyanyikan lagu sholawat. Apa dia bisa menghafal dalam waktu sehari? Saya khawatir, Bah, meskipun suaranya memang sangat indah. Tapi dia baru belajar adzan saja harus menghafalnya dalam waktu berminggu-minggu," balas Ustadz Husain merasa ragu.Abah Kiyai tetap tenang, wajahnya menandakan keyakinan yang besar pada Ali. "Coba saja dulu. Besok pagi, saat anak-anak latihan rebana, biarkan Ali ikut bergabung. Kita lihat bagaimana kemampuannya."Perkataan Abah Kiyai itu membuat Ustadz Husain terdiam. Ia menyadari bahwa Abah Kiyai mungkin melihat sesuatu dalam diri Ali yang belum terlihat oleh siapa pun. "Baik, Bah." Akhirnya Ustadz Husain mengangguk pelan, menerima usulan itu dengan hati yang masih bimbang, tetapi penuh harapan.***Keesokan paginya, setelah sholat Dhuha, Ali duduk santai di gotaan. Ia sedang mengobrol dengan Ziyad dan Hamzah, karena di kamar 12 hanya mereka bertiga yang tidak sekolah
Mendengar kabar tersebut, raut wajah Abah Kiyai berubah. Beliau mengangguk pelan, mengerti situasi yang sedang terjadi."Baiklah, kalau begitu Abah akan segera ke puskesmas sekarang. Terima kasih, Nak." Beliau pun segera beranjak, mengambil peci dan tas kecilnya."Assalamualaikum," ucap Abah Kiyai, siap berangkat."Walaikumsalam, Bah," jawab Ali sambil mengikuti Abah ke luar.Ketika Abah Kiyai hendak masuk ke mobil, namun ternyata sopir pribadinya saat ini sedang mengemudikan mobil umum pesantren untuk menuju Puskesmas. Abah Kiyai tampak bingung sejenak, memikirkan cara terbaik untuk segera sampai ke puskesmas.Melihat situasi itu, Ali mendekat, menawarkan diri dengan sigap, "Abah, kalau tidak keberatan, biar saya saja yang menyupiri."Abah Kiyai memandang Ali sejenak, lalu bertanya, "Apa kamu bisa menyetir, Nak?"Ali tersenyum kecil, menundukkan kepala, dan dengan penuh percaya diri menjawab, "InsyaAllah bisa, Bah."
"Selamat siang anak-anak. Assalamualaikum." Suasana di kelas tiba-tiba senyap saat seorang guru muda memasuki ruangan, suaranya lembut namun tegas."Selamat siang, Pak Reza. Walaikumsalam," balas semua siswa siswi serempak sembari berhamburan duduk di kursi masing-masing.Kedatangan pak Reza, membuat Nisa menghela napas lega. Ia merasa terselamatkan dari pertanyaan Zahra yang mengimitasinya. Ia menundukkan kepala, pura-pura sibuk mengambil buku catatan di dalam tasnya, sementara Zahra mendengus kesal sebab rasa penasarannya belum tuntas.Kedatangan guru muda itu memberi kesempatan bagi Nisa untuk mengalihkan fokus dan meredakan kegugupannya. Guru yang baru datang itu bernama Pak Reza, guru mata pelajaran bahasa Inggris yang baru beberapa bulan ini mengajar di sekolah mereka. "Sebelum kita memulai pelajaran, Bapak ingin mengucapkan selamat kepada Nisa atas kemenangannya. Tetap semangat, dan jangan pernah berubah untuk menjadi anak yang rendah hati
_Allah hu Akbar Allahu Akbar La ilahhaillah_"Astaghfirullah...!! Udah selesai qomat..!" Pekik Nisa. Ia tak sadar telah larut dalam adzan yang di kumandangkan Ali."Haduh telat aku," ucap Nisa. Ia segera berlari menuju masjid sambil memakai mukena.Nisa tergesa-gesa berlari menuju masjid, tak ingin mendapat hukuman karena telat sholat berjamaah . Hatinya masih bergetar karena adzan yang dikumandangkan Ali tadi begitu menyentuh. Suara Ali yang lembut namun tegas, membuatnya larut hingga tanpa sadar ia hampir saja tertinggal shalat."Suara siapa tadi ya?" gumam Nisa bertanya-tanya.Sesampainya di masjid, Nisa menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal. Dengan langkah ringan, ia segera masuk dan mencari tempat di shaf perempuan, menyelip di antara jamaah yang sudah bersiap melaksanakan shalat. Tepat pada saat ia selesai mengatur mukenanya, imam memulai takbir, dan Nisa pun tenggelam dalam kekhusyukan shalat, menc