Pagi telah datang menyapa Arga yang terlihat sudah berada di Dapur, membuat sarapan, sebuah sandwich. Menaruh dua piring berisi sandwich di meja, serta satu gelas susu dan satu gelas orange juice. Setelahnya Arga bergegas menemui Reina yang tidak juga menjawab panggilan Arga. Arga mencoba membuka pintu namun dikunci. Arga pun pergi ke Kamar-nya untuk mengambil handphone, menelepon Reina.
"Hallo," ucap Reina dengan suara khas orang bangun tidur. "Saya sudah buat sarapan," kata Arga yang langsung membuat Reina menjauhkan handphone dari telinga di mana Reina dalam posisi tiduran menyamping. Reina tatap layar handphone, di mana ia sedikit merutuki kebodohannya yang tidak melihat siapa yang menelepon dan langsung mengangkat. "Iya, Pak? Ah, sarapan. Bapak bisa menemui saya 5 menit lagi!" "Okay." Lalu, panggilan berakhir. Arga mendudukkan diri di tepi ranjang, melihat jam yang ada di handphone, lalu meletakkannya di atas kasur. Dengan langkah pelan-pelan Reina berhasil masuk ke dalam Kamar Mandi hanya untuk membasuh wajahnya agar sedikit lebih baik. Setelahnya Reina melangkah keluar Kamar beriringan dengan Arga yang keluar Kamar juga di mana Kamar Arga tepat di sebelah Kamar Reina. "Seharusnya kamu tunggu saya," ucap Arga yang khawatir dengan kaki Reina yang bisa bisa membutuhkan lebih banyak waktu kalau dibuat jalan. "Gakpapa, Pak." Reina tidak ingin terus merepotkan Arga. "Saya gak mau kaki kamu terluka lebih parah," ucap Arga yang sudah sampai di dekat Reina. Tanpa berkata lebih dahulu seperti biasa Arga mengangkat tubuh Reina, menggendongnya. Walau sudah kesekian kalinya tentu saja Reina masih malu. Seperti biasa Arga dudukkan Reina secara perlahan di kursi makan. Reina langsung disuguhkan sandwich yang terlihat enak. Dengan cepat Arga duduk di kusrinya. "Silakan dimakan," ucap Arga sembari menatap Reina. Reina ambil sandwich berbentuk segitiga itu, menggigitnya sedikit dan saat baru mengunyah, Reina langsung membekap mulutnya, seperti siap muntah. "Kamu gakpapa?" tanya Arga yang langsung khawatir namun wajahnya selalu dibuat datar. Alih alih menjawab pertanyaan Arga, Reina melangkah ke arah wastafel dengan langkah yang sedikit dibuat cepat, namun masih berusaha berjalan santai karena kakinya yang terluka. Arga mengikuti dari belakang takut tiba-tiba Reina jatuh. Sampainya di wastafel, Reina memuntahkan sandwich. Berkumur dengan air dari keran wastafel. "Ada apa, Reina?" tanya Arga yang terus memperhatikan Reina dari belakang. Reina menarik nafas dan menghembuskannya berkali-kali sampai ia membalikan tubuh ke arah Arga. "Maaf, Pak. Saya gak suka sandwich pakai telur terlebih telur mata sapi yang masih setengah matang." Dengan wajah tidak enak karena kali ini Reina tidak bisa makan makanan buatan Arga. "Kamu gak perlu minta maaf, saya yang seharusnya minta maaf. Maaf, Re. Saya gak tahu kamu gak bisa makan sandwich dengan isian teluar." "Gakpapa, Pak. Pak Arga kan gak tahu." Reina mencoba tersenyum. "Kalau gitu, saya akan buatkan yang baru." "Gak perlu, Pak. Saya bisa memisahkan roti sama telurnya." "Sebaiknya saya buatkan yang baru." Arga tidak mendengarkan perkataan Reina dan segera membuatkan sandwich lainnya untuk Reina. Bukannya kembali duduk di kursi, Reina terus berdiri di sana, memperhatikan Arga yang membuatkannya sandwich dengan isian sayuran, keju, dan daging. "Terus berdiri seperti itu hanya akan membuat kaki kamu semakin cepat lama sembuhnya, Reina. Sebaiknya kamu kembali duduk!" Melangkahkan kaki dengan perlahan, Reina pergi dari sana. Mendudukkan diri di kursi dengan masih memperhatikan Arga. Reina yang bahkan belum pernah pacaran, mulai berpikir apakah semua lelaki seperti Arga terhadap seorang perempuan? 'Tapi kan aku bukan perempuan yang Pak Arga cinta. Kenapa dia harus seperhatian itu sama aku? Bukannya lelaki akan sangat perhatian hanya pada perempuan yang dicinta? Aku benar-benar gak ngerti' yaa, seperti inilah kalau orang tidak pernah menjalin hubungan. Selesai dengan sandwich, Arga langsung memberikannya pada Reina. Reina memakan sandwichnya kali ini dengan senyum yang memperlihatkan bahwa ia menikmatinya. Arga yang melihat itu bersyukur bahwa Reina bisa menikmati sarapannya. "Kamu mau tetap di Rumah atau ikut?" tanya Arga di sela makannya. "Ikut ke mana?" tanya Reina dengan wajah bingung. "Padahal kamu yang mengurus setiap jadwal saya, tapi kamu sendiri yang lupa kalau hari ini ada kunjungan ke Hotel yang di Bali." Lalu, Arga mengigit besar sandwich yang tinggal setengah. Reina menepuk dahi dengan wajah baru mengingat sesuatu. "Tentu saja, saya ikut! Jam berapa penerbangannya?" "Nanti siang." Dalam hati Reina bersyukur karena ia masih memiliki waktu menemui Indah. Reina sangat penasaran dengan penyelidikan Indah yang katanya sudah menemukan sesuatu. . . "Gimana, In?" tanya Reina dengan wajah penasaran. "Aku kira Revan benar-benar berniat pergi, nyatanya dia hanya menghilang selama 1 tahun," kata Indah yang duduk di kursi tepat di hadapan Reina. Di mana mereka sudah berada di sebuah Kafe. "Maksudnya?" Sembari mengerutkan dahi. "Setelah aku cari tahu ternyata Revan bukannya resign tapi cuti selama setahun tapi gak ada yang tahu alasannya termasuk teman dekat dan kekasihnya. Cuma Revan memang pergi dengan kekasihnya, sudah aku cek penerbangan mereka beberapa hari yang lalu." jelas Indah. Jadi yang Arga katakan benar, tapi kenapa Reina masih merasa ada 'sesuatu' yang ternyata jawabannya tidak sesimpel itu. "Kalau Revan memang pada akhirnya memilih kekasihnya, kenapa menghilang hanya setahun? Aku pikir kaburnya Revan disertai dengan keluar dari Rumah Sakit," ucap Reina dengan wajah bingung. "Mungkin hanya untuk menghindari kamu, malas ditanya-tanya. Setelah setahun dia pikir kamu akan lupa dan gak mempertanyakan lagi kenapa dia bisa pergi gitu saja.""Oh ya, Pak Arga. Rumornya kalau Bapak sudah menikah, apa benar?" tanya seorang kepala redaksi."Ternyata rumornya sudah sampai Bu Lusia yaa.""Jadi benar atau nggak nih, Pak?" goda kepala redaksi.Dengan wajah datarnya, Arga memperlihatkan sebuah cincin yang melingkar di jari manisnya. Reina yang berada di sampingnya, bertanya-tanya, sejak kapan Arga memakainya?"Wah, ternyata benar. Kalau gitu sudah gak ada kesempatan untuk wanita lain mengejar Pak Arga yaa.""Semua tamu sudah kembali ke Kamar masing-masing, bagaimana kalau kita juga akhiri obrolan ini?" ucap Arga dengan nada sopan.Kepala redaksi itu tersenyum ramah. "Tentu saja, Pak. Kebetulan saya mulai mengantuk.""Semoga tidur Ibu nyenyak," kata Reina sambil tersenyum."Bu Reina juga." Lalu, tersenyum.Reina dan Arga perhatikan kepala redaksi itu yang berjalan menjauh dari mereka. "Pak Arga," panggil Reina."Kenapa?""Apa Om Tio sudah pulang? Sejak kita ke Ballroom lagi saya gak melihatnya.""Pas saya bawa kamu ke ruang kerja,
Setelah pernyataan cinta itu rasanya justru jadi canggung, hanya untuk Reina, sementara Arga merasa biasa. Reina bahkan tidak berani menatap manik mata Arga yang sedari tadi terus memperhatikannya yang sedang makan bakpao.Walau pernyataan cinta itu mengejutkan dan mendadak sekali, namun Reina bersyukur bahwa masih ada Arga yang ia miliki."Pak Arga sendiri sudah makan?" tanya Reina di sela makannya.Terlalu memikirkan Reina, Arga pun mengabaikan dirinya sendiri yang belum makan, berpikir bahwa melewatkan makan tidak akan membuatnya sakit karena Arga lebih kuat dari Reina.Melihat Arga yang diam, membuat Reina mengetahui sendiri bahwa lelaki di hadapannya juga belum makan. Reina menghela nafas, lalu mengambil satu bakpao yang tersisa di dalam kantong, memberikannya pada Arga."Gimana bisa Pak Arga mengkhawatirkan saya sedangkan Pak Arga sendiri belum makan? Pak Arga gak mikir kalau saya mungkin saja khawatir?" Reina memarahi Arga yang cuma bisa diam.Tanpa kata, Arga mulai memakan bak
Dengan langkah berat Reina melangkah masuk ke dalam ruangan tempat Ayahnya berada dengan Arga yang setia merangkulnya. Di depan tubuh yang sudah terbujur kaku dengan kain putih yang menutupi seluruh tubuh, tangis Reina pecah. Dipeluknya sang Ayah yang kali ini hanya terdiam, tidak membalas pelukan Reina.Isakan tangis yang memilukan itu menghancurkan hati Arga. Tak ada yang bisa Arga lakukan selain menemani Reina, memperlihatkan pada Reina jika ia tidak sendiri."Maafin aku, Yah! Maafin aku yang akhir-akhir ini sibuk dengan dunia sendiri jadi belum ada waktu ngobrol sama Ayah." Sambil terus memeluk Mahendra.Reina menyesali semuanya. Waktu yang ia habiskan bersama Ayahnya tidaklah banyak. Bagi Reina waktu sebulan itu sebentar dan tidak ada apa-apanya, lagi pula setelah kembali tinggal bersama Arga, Reina terus sibuk dengan Arga, tanpa pernah berbicara dengan Ayahnya lagi."Seharusnya di saat terakhir Ayah, aku ada di samping Ayah ...." Reina menegakkan tubuhnya. Berusaha kuat, karena
"Kok lama ya? Memangnya di sekitar sini gak ada yang jual mochi?" gumam Reina yang merasa Arga sudah pergi cukup lama.Hingga pintu terbuka Reina akhirnya bisa bernafas lega, setelah sebelumnya khawatir jika terjadi sesuatu pada Arga. Arga mendudukkan diri di kursi, lalu menyerahkan kantong berisi mochi pada Reina."Kok semua rasa?" Sembari menoleh ke arah Arga setelah melihat isi kantong."Karena saya gak tahu rasa yang benar benar kamu suka, walau pun kamu bilang bisa makan semua rasa."Reina kembali menatap ke dalam kantong, lalu menyodorkan satu bungkus mochi rasa cokelat pada Arga. "Pak Arga bisa makan rasa cokelat, kan?" Arga ambil mochi itu, memperhatikan Reina yang mulai makan mochinya.Tanpa Reina sadari di mana Reina sibuk nonton suatu drama china sambil makan mochi, Arga yang berjalan ke arah sofa, memasukkan mochi dalam kemasan itu ke dalam saku jas. Setelahnya kembali duduk di kursi...Arga melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya di mana sudah jam 11 malam,
Sedari beberapa saat lalu, Arga terus menemani Reina yang sudah berada di Kamar Rawat Inap. Reina yang belum sadarkan diri karena terlalu banyak menghirup asap. Tangan Arga yang tetap menggenggam tangan Reina, betapa takutnya Arga kehilangan Reina yang kata Dokter kondisinya tidak parah.Baskara melangkah masuk setelah mengetuk pintu. Berdiri di samping Arga. "Kata polisi kebakaran terjadi karena adanya ledakan dari salah satu kompor di Kitchen.""Ada korban?" Sembari menatap Reina."Gak ada, Pak. Semua tamu dan staf aman.""Sudah periksa cctv kalau ada tamu atau staf yang mencurigakan?" Arga tidak bisa percaya begitu saja pada pihak berwajib. Karena Arga pikir ada yang sengaja ingin mencelakai Reina."Saya sudah memeriksanya dan gak ada hal yang mencurigakan, selain saya mendapat kabar dari kepala Chef kalau salah satu staf Kitchen menghilang dari saat kebakaran terjadi.""Bagaimana dengan cctv di Kitchen?" Masih dengan menatap Reina."Saya gak menemukan apa-apa."Pertarungan kali in
Ketika Reina selesai berganti pakaian kerja, terdapat panggilan masuk dari Indah. Sembari berdiri di depan cermin yang memperlihatkan seluruh tubuhnya, Reina menerima panggilan itu."Hallo, In.""Aku sudah tahu alasan Pak Arga menggantikan Revan menikahi kamu!" Dengan nada suara antusias, membuat Reina sangat penasaran."Apa?""Tiba-tiba 2 hari sebelum pernikahan Pak Arga mengatakan sama Revan kalau dia yang akan menggantikan Revan, dan kebetulan Revan memang ingin jadi sukarelawan di sini, jadi dia mau saja. Dan kamu tahu apa lagi, Re? Sebagai ucapan terima kasih dari Arga untuk Revan yang mau menyerahkan kamu ke dia, Arga sampai menyumbangkan fasilitas kesehatan untuk masyarakat di sini!"Reina tatap wajahnya di cermin yang sudah berubah menjadi terharu. Kenapa Arga sampai seperti itunya? Reina mulai bertanya-tanya."Menurut kamu kenapa Pak Arga melakukan itu?" tanya Reina dengan perasaan sudah tidak menentu."Apa mungkin diam-diam selama ini Pak Arga suka sama kamu?"Pak Arga suka