Aline mendesah pasrah, bahkan jam empat subuh dia sudah harus bangun dan bersiap dirias. Segala macam penolakan yang dia lakukan hanya sia-sia belaka. Tidak ada yang membela dan berpihak kepadanya sama sekali, hal yang lantas membuat Aline kalah dan akhirnya setuju dengan segala macam ide gila untuk menggantikan posisi Aleta sebagai wanita yang dinikahi sosok Adam Putra Narendra.
Kondisi Aleta masih sama, tidak ada peningkatan yang signifikan, membuat Aline makin tidak berkutik dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menolak penikahan yang sudah di depan mata. Semua data Aleta sudah diganti dengan data Aline. Itu artinya, Aline akan benar-benar menjadi istri Adam, sah baik di mata agama maupun di mata negara.
“Mbak Aline mirip banget sama mbak Aleta, ya?” gumam sang MUA yang mulai memulas foundation di permukaan kulit wajah Aline.
Ya iya lah mirip, namanya juga kembar identik. Gerutu Aline dalam hati, ia mendadak dongkol mendengar nama Aleta disebut. Kenapa sih orang itu pikirannya pendek sekali? Lihat sekarang, harus Aline yang menangung semua perbuatan Aleta gila yang Aleta lakukan.
“Iya, kami identik, Mbak.” jawab Aline yang tetap berusaha lembut dan baik pada perias kondang yang merupakan perias pilihan Aleta itu.
Bagaimanapun perias ini tidak punya salah apa-apa pada Aline. Semua ini murni kesalahan Aleta! Ah ... bukan! Ini kesalahan kedua orang tua mereka yang entah apa yang merasuki mereka sampai-sampai begitu kolot melakukan perjodohan di zaman modern seperti ini. Ya ... semua ini salah orang tua mereka!
Aline menghela napas panjang, pasrah membiarkan perias mulai mendadani wajah dan penampilannya untuk acara yang sama sekali tidak pernah Aline bayangkan dan harapkan dalam hidupnya.
Maksudnya, Aline memang punya impian untuk menikah, tetapi bukan dengan Adam dan bukan seperti ini juga caranya! Aline membayangkan tokoh-tokoh novel yang dia ciptakan. Tentang bagaimana mereka bertemu dengan pasangan dan kemudian menikah. Aline selalu menulisnya dengan begitu manis dan romantis, tetapi kenapa tiba giliran Aline menikah, ia malah harus mengalami hal macam tokoh novel yang ditulis oleh teman penulisnya yang lain?
Terpaksa menikahi calon kakak ipar.
Menikahi calon kakak ipar.
Menikahi calon suami kakaku.
Dan entah apa lagi, intinya hampir seperti kisah Aline ini lah! Sudah banyak Aline baca novel yang berkisah tentang pernikahan konyol yang harus dia jalani hari ini. Kenapa bukan penulis aslinya saja yang mengalami hal ini? Kenapa harus Aline yang selalu membuat dan menuliskan kisah lakon yang dia buat dengan begitu manis dan membahagiakan?
“Mbak, kalau misal masih ngantuk, bisa kok riasnya sambil tidur dulu. Cuma nanti pas sanggul rambut, Mbak harus bangun, ya?”
Aline tersentak, ia menoleh menatap wanita berjilbab yang tengah meriasnya itu. Agaknya itu hal yang bagus. Tanpa banyak bicara Aline mengangguk pelan, bangkit dan melangkah ke kasur hotel yang menjadi tempat pernikahan akan digelar.
Tidur barang beberapa menit tentu sangat lumayan, bukan?
***
Adam menatap jendela kamar hotel yang disiapkan khusus untuk mengurus segala hal persiapan pengantin. Hotel yang merupakan milik keluarga Adam sendiri, dan salah satu calon warisan yang akan jatuh ke tangan Adam. Mendadak hatinya risau. Apakah acara hari ini akan berjalan lancar? Bagaimana kalau Aline membuat ulah macam sang kakak?
“Ah ... ayolah, kenapa jadi begini sih, Dam?” ia berusaha memperingatkan dirinya sendiri.
Ini hari besar dalam seumur hidup Adam, tentu Adam tidak akan mensia-siakan dan mengacaukan hari ini. Tidak sama sekali dan dia berharap, Aline pun akan melakukan hal yang sama dengan apa yang Adam lakukan.
Adam membalikkan badan, melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah sebentar lagi! Adam sendiri sudah siap dengan jarik dan beskap sejak beberapa waktu yang lalu. Tubuhnya terbungkus beskap warna putih gading yang membuat Adam menjelma menjadi sosok putra bangsawan Jawa nan gagah dan tampan.
“Dam ... kita turun dulu, yuk!”
Adam menoleh, mendapati sang ayah sudah muncul dari balik pintu. Adam menghirup udara banyak-banyak, kepalanya terangguk pelan sebagai jawaban dari apa yang Budi perintahkan kepadanya.
Adam melangkah ke arah pintu, semakin ia mendekati pintu, jantungnya semakin kencang berdegub jantungnya sehat, kan? Dia tidak akan kena serangan jantung pagi ini, kan?
***
“Ya ampun, Sayang ... kamu cantik banget!”
Aline tertegun di depan cermin rias. Kini tubuhnya sudah terbalut sempurna dengan kebaya warna putih gading dan segala macam hiasa rambut serta bunga menjutai yang begitu semerbak harum. Ia begitu menikmati pemandangan di depannya sampai-sampai mengabaikan sang ibu yang terharu melihat betapa cantik anak gadisnya dalam balutan busana pengantin.
Aline baru tersadar dan tersentak dari rasa kagumnya setelah sebuah tepukan mendarat di bahu Aline. Ia menoleh, Desi yang sudah terbalut kebaya warna ungu itu nampak menyinggingkan senyum, membuat Aline mau tidak mau ikut menyungingkan senyum.
“Siap untuk hari ini, Sayang?” tanya Desi yang otomatis membuat Aline menebik dengan bibir manyun.
“Kalau Aline jawab tidak, apakah acara akan dibatalkan?” sebuah pertanyaan gila meluncur dari mulut Aline. Kalimat yang mampu membuat wajah hangat dan ramah seorang Desi, kini berubah menajdi wajah kesal dan gemas.
“Lin, jangan bercanda! Akad kalian lima belas menit lagi!” gumam suara itu memperingatkan.
Lima belas menit? Mata Aline membelalak, jangankan lima belas menit, lima belas tahun pun Aline kalau ditanya maka jawabannya tentu tidak akan siap! Dia ingin menikah dengan lelaki pilihannya sendiri, bukan lelaki pllihan kedua orang tuanya.
Tapi sekali lagi, bisa apa Aline melawan dan menolak? Aline menghela napas panjang, ia mengangguk dan pasrah ketika Desi membantunya berdiri. Bukan hanya Desi, sang perias dan asistennya pun ikut membantu Aline berdiri dari kurisnya.
Dengan susah payah Aline melangkahkan kaki. Kenapa orang mau menikah saja harus seribet ini? Sungguh sangat menyebalkan sekali! Aline beberapa kali hampir terjerembab karena kakinya menginjak jarik yang dia kenakan. Untung Desi dengan sigap membantu dan mempertahankan tubuh Aline agar tidak jatuh.
Aline merasakan jantungnya berdegub dua kali lebih cepat. Lima belas menit lagi ... sebenarnya Aline bisa menggunakan waktu yang tersisa untuk kabur dari tempat ini. Tetapi sekali lagi, pakaian yang ia kenakan mempersulit gerak dan langkah Aline kalau benar dia hendak kabur.
“Ingat, Lin ... setelah ijab qobul dilaksanakan, maka semua tanggung jawah mama dan papa jatuh ke pundak Adam.” Jelas Desi lirih sambil membimbing Aline melangkah.
Aline hanya mengangguk, ia terus melangkahkan kaki dibantu sang mama. Mereka tiba di ballroom yang begitu mewah dengan desain bunga-bunga dan beberapa dekorasi lain. Bisa Aline lihat cukup banyak tamu yang hadir untuk sekedar memberi doa kepada dia dan Adam di acara hari ini. Semua mata para tamu tertuju pada Aline, hal yang membuat Aline mendadak kikuk setengah mati.
Ia terus melangkah, hingga akhirnya ia hampir tiba di meja yang mana sudah banyak orang yang duduk di kursi yang mengelilingi meja. Aline sukses mengendalikan diri, kecuali ketika sosok dengan beskap yang warnanya senada dengan kebaya yang Aline kenakan itu menoleh dan menatapnya dengan saksama.
“Nah itu calon suami kamu, Lin! Ganteng, ya?”
"Kamu serius?"Bukan pertanyaan lain yang Kelvin lemparkan, ia langsung mencecar Aleta begitu mereka bertemu di depan kantor Aleta. Tidak salah kalau sampai Kelvin masih tidak percaya dengan keputusan yang Aleta buat, pasalnya sejak dulu Aleta selalu menolak permintaan Beni untuk bergabung di perusahaan keluarga dan sekarang? "Bisa kita pending nanti untuk interview-nya? Bantuin dulu dong!" Aleta langsung menarik tangan Kelvin masuk ke gedung. Kelvin pun menurut saja, ia membiarkan Aleta membawanya masuk ke dalam gedung, melangkah ke sofa yang ada di loby gedung. "Tolong bantuin bawa ke mobil, ya?" pinta Aleta dengan seulas senyum manis. Sejenak Kelvin tertegun, ada dua kardus di sana. Kelvin mengalihkan pandangan, menatap Aleta yang masih mengukir senyum manis di wajah. "Ka-kamu beneran resign?" tanya Kelvin seolah masih tidak percaya. Kini tawa Aleta tergelak, ia mencubit gemas pipi Kelvin, membuat Kelvin memekik antara terkejut dan kesakitan dibuatnya. "Kamu pikir aku tadi h
"Vin, kamu handle proyek yang ini, ya?"Berkas-berkas itu dihantarkan Beni secara langsung ke mejanya, membuat Kelvin segera meraih dan membacanya dengan saksama. Nilai proyek ini sangat jauh di bawah proyek dengan Irfan, tapi bagi Kelvin, itu bukan masalah yang serius. Selama ia tidak harus sering bertemu dengan lelaki itu, semua lebih dari cukup. "Deal! Kelvin sangat berterimakasih sama Papa." ucap Kelvin sembari tersenyum. Beni balas tersenyum, ia menepuk bahu Kelvin dengan lembut."Sebenarnya Papa ingin kamu tetap di sana, Vin. Nilai proyek dan prospek ke depannya sangat menjanjikan untuk kariermu, tapi sayang...."Kelvin tersenyum, "Tidak apa, Pa. Bukankah ini yang Kelvin minta? Setidaknya keputusan ini tidak membuat Aleta terus menerus khawatir."Beni kembali tersenyum, setuju dengan apa yang Kelvin katakan barusan. Misi visi mereka sama, yaitu membuat Aleta bahagia dan itu sudah mutlak. "Baiklah kalau begitu, Vin. Kamu bisa pelajari dulu untuk proyek baru mu, kalau ada pert
"Ke kantor pak Beni, Pak?"Hendra terkejut, hari ini tidak ada jadwal meeting dengan perusahaan Beni, lantas untuk apa Irfan meminta untuk diantarkan ke sana. "Iya, kesana. Emangnya tadi saya bilang kita mau kemana, Hen?"Kalimat tanya yang dilemparkan balik pada Hendra adalah sebuah penegasan bahwa Irfan tidak main-main dengan ucapannya. Hendra menghela napas panjang, ia mengangguk pelan sembari mempersilahkan Irfan melangkah lebih dulu. Hendra kembali teringat pada sosok Kelvin. Apakah Irfan minta diantar ke sana hanya agar bisa melihat Kelvin? Hendra terus memunculkan siluet wajah Kelvin dalam pikiran, memang kalau diperhatikan, ada beberapa bagian wajah yang mirip dengan Irfan. Kalau hanya sekilas, tidak akan ditemukan kemiripan itu, namun kalau diperhatikan dengan saksama, ada wajah Irfan di sana. "Kok ngelamun, Hen? Kenapa?"Pertanyaan itu kontan membuat Hendra tersentak, ia mengangkat wajah dan mendapati mata itu dengan memperhatikan dirinya. "Saya teringat putra Bapak, Pak
"Astaga!"Beni menghela napas panjang, sementara Aleta, ia bersandar di kursi teras dengan wajah lesu. Selesai sudah ia menceritakan rahasia terbesar dalam hidup Kelvin. Ia sedikit takut sebenarnya, takut Kelvin marah karena Aleta sudah ingkar janji untuk menjaga rahasia ini dari siapapun. Tapi Aleta lakukan ini juga demi Kelvin! "Jadi secara nggak langsung, kamu minta papa tarik Kelvin dari proyek papa sama dia?"Aleta segera menoleh, kepalanya terangguk dengan cepat. Wajahnya berubah, menyorotkan sebuah permohonan. "Tapi belum tentu juga, kan, si Irfan tahu kalau Kelvin ini anak kandung dia, Ta?" wajah Beni nampak ragu. "Pa ... dia udah tahu siapa mama Kelvin, kalaupun sekarang dia belum tahu, cepat atau lambat dia akan tahu!" kekeuh Aleta tidak ingin di bantah. "Coba nanti papa carikan ganti dulu, sebenarnya ini proyek pas banget dan bagus buat Kelvin, Ta." desis Beni lirih. "Nggak bagus kalau nanti dia sampai kenapa-kenapa, Pa! Aku nggak mau itu kejadian!" tegas Aleta mengult
"Bagaimana kerjasama mu dengan Beni, Fan? Sudah sampai mana?"Irfan tersentak, ia mengangkat wajah dan mendapati wajah lelaki itu tengah menatap lurus ke arahnya. Dia adalah Setiawan, papa kandung Irfan, orang yang mewariskan segala macam kekayaan dan kekuasaan yang sekarang ada di tangan Irfan. "Baik, Pa. Semua baik. Lusa mungkin kami sudah harus ada di lokasi untuk meninjau dan memantau secara langsung proyek berjalan." jawab Irfan mencoba fokus dan mengenyahkan bayangan Yeni dan Kelvin yang terus bercokol dalam kepalanya. Di meja makan itu tidak hanya ada Irfan dan Setiawan, ada Mery, istri Irfan dan Clarisa, anak bungsu Irfan. Orang-orang ini adalah orang yang tidak boleh tahu, rahasia apa yang selama ini tersimpan, bahwa sebenarnya Irfan memiliki anak lain di luar pernikahannya. "Jangan sampai mengecewakan Beni, papa sudah peringatkan kamu berulang kali, kan? Dia bisa menjadi tonggak supaya perusahaan kita makin kokoh." ucap Setiawan yang entah sudah keberapa kali. Irfan hany
"Dia habis nemuin kamu? Serius? Tapi kamu nggak apa-apa kan?" Seketika Aleta panik. Bagaimana tidak kalau calon suaminya ditemui oleh lelaki yang sejak dulu sekali ingin membunuhnya tak peduli dia adalah ayah kandung dari Kelvin. "Emang dia mau ngapain aku sih, Yang? Aku malah takut dia nekat nyari mama, ganggu mama lagi." jelas suara itu risau. "Dia ngomong apa emang?" kejar Aleta penasaran, harusnya tadi dia tidak langsung pulang, jadi dia bisa melihat dan mendengar langsung apa yang lelaki itu katakan pada Kelvin. "Cuma nanya aku bener anak mama apa bukan. Entah dia tahu dari mana, keceplosan juga tadi dia ngomong kalau dia itu dulu temen deket mama." Aleta mendengus perlahan, baru tahu dia kalau Irfan ini orangnya sedikit tidak tahu malu. "Kamu jawab apa? Kamu pura-pura nggak tahu soal rahasia mama sama Irfan, kan?" kekhawatiran mulai menyelimuti hati Aleta, ia benar-benar takut kalau sampai Irfan tega menyakiti Kelvin! "Ya aku berlagak bodoh, sekalian mau mancing reaksi di