Share

Chapter 6: Di Mata Para Pemuda Desa

Setiap pagi, Dwi melesat dengan sepedanya. Membawa serta leupeut buatan ibunya. Menebar senyum ke seluruh Desa Sukaasih. Dan dia memarkirkan sepedanya di depan SDN 1 Sukaasih.

                “Dwi!!!” teriak Ita, dia adalah teman sebangkunya Dwi.

                “Hai Ta, alhamdulillah sampai.” Dwi senang melihat wajah temannya.

                “Dwi, kalau kamu teh risih gak sih diliatin lalaki?”

                “Cuek we atuh,” kata Dwi sambil berjalan menuju kelas.

                 (Cuek aja dong)

                Ibu Rinda yang melihat Dwi berjalan ke kelas, menghentikannya. Dia meminta Dwi untuk belajar mengerjakan soal–soal olimpiade matematika di perpustakaan. Dwi pun pergi ke perpus. Ita hanya bisa mendukung temannya dari jauh.

# # # #

                “Masker jangan lupa Dwi, masih Corona!” Ridho memperingatkan Dwi yang baru masuk ke mobilnya.

                “Ini udah A,” ujar Dwi.

                Mereka pun mulai membelah persawahan, perkebunan, dan perbukitan yang menjadi ciri keadaan geografis Kecamatan Pangalengan. Dwi dan Ridho, kakak beradik itu jarang sekali keluar berdua. Ridho sibuk dengan rancangan bangunan, sementara Dwi sibuk dengan bulu tangkis dan matematikanya. Kali ini Ridho mencoba quality time dengan adiknya.

# # # #

                “Ridho, adik kamu mau latihan bulu tangkis sama aku?”

                “Yaiyalah orang kamu yang nantangin dia!”

                “YES!” Prawira bahagia, dia bisa lebih lama bersama Dwi.

                “Bukannya, kamu udah dipanggil ke Pelatnas Bulu Tangkis Jakarta?” tanya Ridho, heran melihat kelakuan sahabatnya yang sudah gila karena cinta.

                “Ah, itu mah setahun lagi!”

                “Udah ah, ngaco!” Ridho dan Prawira berjalan kaki menghampiri tukang ojeknya masing–masing. Mereka bersekolah di SMA 1 Rancamada. Kali ini mereka sedang ada acara pentas seni. Jadi Ridho dan Prawira bisa berangkat siang.

                “Aku udah bilang ke Pak Ageung, PB Tarumanagara mulai latihannya jam satu siang,” jelas Prawira.

                “Iya deh iya.” Ridho menanggapi Prawira dengan malas.

# # # #

                Dwi mengambil semua buku matematika di perpustakaan sekolah. Di sisi lain, para siswa mengambil kesempatan memperhatikan Dwi dari balik rak–rak buku. Dwi terlihat semakin cantik, walau ada sedikit codet di dekat mata kirinya.

                “Si Dwi makin cantik aja Den,” kata Sopian menyenggol tangan Deni.

                “Tapi katanya A Prawira cinta ka Si Dwi, mendingan kita mundur aja deh, daripada ditolak,” jelas Arsad.

                “Ah, belum tentu A Prawira diterima sama si Dwi.” Deni sedikit percaya diri.

                Bel masuk kelas pun menjadi alasan tiga anak laki–laki kelas empat itu meninggalkan perpustakaan. Dwi tidak mengerti sama sekali perkataan mereka. Apa itu cinta? Apakah merasakan cinta akan bermanfaat untuk kehidupan? Ah pemikiran tidak penting itu segera dihempas oleh Dwi. Dia mulai fokus mengerjakan soal–soal matematika.

                Di kelas, Siska masih jengkel dengan Dwi yang mengambil tempatnya. Sementara olimpiade IPA, diwakili oleh Teh Destia dari kelas empat. Siska tidak terlalu menguasai materi IPA. Tetapi materi matematika cukup Siska mengerti untuk mengikuti olimpiade. Siska pun selalu menjadi juara kedua di kelas.

                “Endin! Sini!” suruh Siska.

                “Ada apa Non?”

                “Nanti, di jam istirahat pokoknya kamu ambil tanah yang banyak terus masukin ke tasnya Si Dwi!” perintah Siska yang sudah sangat benci kepada Dwi.

                “Siska, kenapa kita gak ceburin aja Si Dwi ke sungai?” Rini mengeluarkan sebuah ide.

                “Nanti aja itu mah! Itu langkah selanjutnya, gimana pun caranya, Dwi Astriani Aprilliani, tidak boleh jadi wanita paling cantik di Desa Sukaasih!” harapan Siska terhenti saat Bu Rinda masuk kelas.

# # # #

                Waktu istirahat pun tiba. Endin mengumpulkan tanah di belakang sekolah. Siska dan Rini menunggunya di samping tembok sekolah.

                “Yang banyak Endin!!!” Siska berkata dengan keras.

                “Iya Non!”

                “Kali ini kita bikin dia malu!!!”

                Di perpustakaan, Pak Trino mengajak Dwi dan Destia untuk makan bersama di tukang bakso yang kebetulan lewat depan sekolah. Melihat Dwi meninggalkan perpustakaan, Siska mengajak dua pesuruhnya untuk melihat–lihat situasi, apakah ada orang yang mengawasi tasnya Dwi?

                Saat situasi perpus dinilai aman. Siska lantas memasukkan tanah ke dalam tasnya Dwi. Dia mengeluarkan tanah itu dari kresek hitam. Berharap buku–bukunya kotor semua.

                “Udah belum Non?” tanya Endin sambil memperhatikan sekitar.

                “Siska cepetan deh sebelum Dwi balik!” ucap Rini.

                “Udah nih.” Mereka bertiga pun pergi dari perpus.

                Dwi dan Destia masih menyantap bakso di ruang guru. Mereka melihat para guru yang berharap pada mereka. Dwi mencoba menenangkan diri dan menelan kuah bakso yang harum.

                “Alhamdulillah ya Dwi, kenyang,” kata Destia sambil mengembalikan mangkuk kepada Amang tukang bakso.

                “Iya Teh, hayu kita ke perpus lagi,” ajak Dwi.

                “Semangat ya, seminggu lagi kita harus berkompetisi!” tegas Pak Trino.

                “Iya Pak,” jawab Dwi dan Destia kompak.

                “Terima kasih juga ya Pak baksonya,” ucap Destia.

                “Terima kasih Bapak.” Dwi tidak mau ketinggalan.

                Setelah menyelesaikan sesi latihan mengerjakan soalnya. Dwi bergegas pulang, karena hari ini adalah hari pertama Dwi akan berlatih bulu tangkis. Ketika Dwi mengangkat tasnya. Dia merasa tasnya lebih berat. Saat resletingnya dibuka tumpahlah tanah. Dwi bingung siapa yang tidak punya kerjaan dan malah memasukkan tanah ke tasnya.

                “Dwi, Teteh ambilin sapu ya.” Destia membantu Dwi membersihkan tumpahan tanah.

                “Parah emang...” lirih Dwi.

                Di tengah perjalanan pulang ke rumah. Pak Ageung menyusul Dwi. Mempertanyakan keseriusan sang anak untuk berlatih bulu tangkis. Dwi hanya mengangguk.

                “Maaf ya Pak, tadi Dwi piket dulu, jadi telat pulangnya.”

                “Ya, udah atuh kita ke Kota sekarang.”

                Sepasang bapak dan anak itu menaiki mobil pikap tetangganya yang kebetulan akan ke kota juga. Dwi menikmati angin yang menyentuh kulitnya. Dwi juga senang, bapaknya sudah membelikan raket yang bagus dari hasil kerja kerasnya.

                Sesampainya di PB. Tarumanagara, Ageung menemui pelatih yang dikenal tetangganya. Yaitu Bu Yosi yang menangani atlet putri.

                “Oh, jadi ini kenalannya Prawira, kamu masih pake baju seragam sekolah ya?” tanya Yosi melihat penampilan Dwi yang acak–acakan tak sempat pulang ke rumah dulu.

                “Iya...”

                “Tampaknya Dwi belum siap latihan, kalau begitu mari saya antar berkeliling.” Yosi pun menjelaskan di pelatihan bulu tangkis ini ada lima lapangan untuk latihan, ada tempat fitness, lapangan untuk berlari di luar, kantin untuk makan.

                “Kita bisa mulai latihan jam satu siang ya, dan ingat jangan telat lagi,” pinta Yosi.

                Seorang pria bertubuh agak tambun, tinggi, dan berpenampilan layaknya atlet. Dia adalah anggota dari Tim Piala Thomas Indonesia tahun 1979. Sumirno Hanta.

                Sumirno tampak melihat Dwi dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dwi agak risih dilihat oleh bapak – bapak asing berusia 46 tahun.

                “Wah Pak, anaknya cocok nih buat jadi atlet, kayaknya dia bakal jadi kebanggaan Indonesia.” Pak Sumirno memperkirakan.

                “Yosi kan belum melatihnya Pak, masa sudah terlihat potensinya?” Yosi keheranan.

                “Posturnya bagus, bahkan lebih bagus dari peraih medali emas pertama untuk Indonesia,” nilai Sumirno.

                “Percuma postur bagus tapi teknik, strategi nol besar,” ujar Yosi ketus.

                “Ya makanya kamu latih!” pinta Sumirno.

                “Iya – iya Pak...” kata Yosi pasrah.

                Sepulang dari PB. Tarumanagara, sepanjang perjalanan dari batas desa sampai ke rumahnya, para pemuda desa selalu mengarahkan matanya pada Dwi. Dwi risih, namun mereka tampak mengagumi Dwi.

                “Cantik banget ya Neng Dwi.”

                “Iya cantik banget...”

                “Cocok nih sama juragan kebun teh.”

                Suara para pemuda itu tumpang tindih. Dwi hanya diam menanggapi mereka. Prawira tiba – tiba datang di hadapannya.

                “Ayo latihan, nanti kita duel beneran!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status