_"Saat kita sudah terlihat buruk dimata orang lain. Di saat itu pula, kita harus siap mendengar ucapan yang menyakitkan dan tatapan yang tidak menyenangkan."_
~~~
Senja berjalan terus menuju kamar mandi, untuk membasuh wajahnya yang terasa memanas.
"Senja!!!" Teriakan itu membuat Senja menghentikan langkahnya.
Menatap Asta yang berkeringat. Sepertinya gadis itu dari tadi mencarinya.
"Lu kemana aja? Malah narik Gafi. Terus gua ditinggal. Untung tadi ketemu Gafi. Jadi, gua tanya sama tuh cowok," cerocos Asta tanpa henti.
Senja tidak menyahuti ocehan Asta. Gadis itu memilih memasuki toilet yang tanpa sadar diikuti oleh Asta, masih dengan ocehannya.
Toilet bercat abu itu terlihat elegan. Terdapat tiga bilik yang terbuat dari kaca yang tidak bisa tembus pandang. Senja menuju wastafel berwarna putih bersih itu.
"Parah banget sih!! Yang nyebarin berita hoax kek gitu. Ga mikir apa, itu salah satu pembullyan. Belum aja gua laporin ke guru!!" Kesal Asta.
Senja masih sibuk membasuh wajahnya. "Terus juga, kenapa pacar lu bukannya ngebela. Malah diem aja, mana mulutnya Tio kayak cewek!" Lanjut Asta.
Hembusan nafas kasar terdengar dari mulut gadis berkuncir kuda itu. "Udah lah, Ta. Enggak perlu di keselin. Itu kan pendapat mereka, yang penting enggak sampe lebih dari itu," jelas Senja.
"Ga bisa gitu lah, Nja. Pembullyan dalam bentuk apapun itu, ga bisa kita maklumin. Nanti jadi kebiasaan. Hal kek gitu juga salah satu yang bikin orang mentalnya ke ganggu," protes Asta dengan wajah kesalnya.
Tidak habis pikir dengan logika Senja yang membuat Asta jadi kesal sendiri. Asta tau gadis ceria di sebelahnya itu tidak seperti rumor yang beredar. Tidak mungkin keluarga Senja seperti apa yang digosipkan.
"Btw... Tadi, lu kenapa narik Gafi gitu aja?"
Senja menatap Asta, bingung dengan tindakannya tadi, dan hal itu hanya reflek semata.
"Emm... Ada hal yang gua pengen omongin sama dia. Makanya, gua tarik. Enggak penting juga, Ta. Mending kita ke kantin! perut gua udah bunyi nih," ujar Senja yang mencoba mengalihkan topik. Gadis itu menarik tangan Asta keluar dari toilet.
Asta hanya menurut. Tanpa mau membahas apapun jika sahabatnya sendiri, tidak mau memperpanjang pembahasan mengenai rumor yang terjadi.
Mereka berdua berjalan beriringan tanpa sepatah katapun, hanya saling berpikir dalam hati. Siapa pelaku yang sudah melakukan hal keji seperti itu.
"Lu mau makan apa, Nja?" Tanya Asta setelah keduanya sudah memasuki area kantin.
"Lu yang mau pesenin? Kalo gitu samain aja, gua cari tempat dulu."
Anggukkan dari Asta, membuat Senja melangkah mencari tempat yang kosong. Akhirnya, Senja mendudukkan bokongnya ke kursi itu. Letaknya berada di paling ujung. Karena, hanya tersisa meja dekat jendela yang memperlihatkan taman sekolah yang luas itu.
Tatapan semua murid yang ada di kantin tertuju ke arah gadis berlesung pipi itu. Namun, sebisa mungkin Senja hiraukan.
"Nih, Nja. Untung ga ngantri."
Senja menatap Asta yang sudah membawa nampan berisi mie ayam dan es teh manis.
"Risih ga sih? Mata mereka dari tadi natep ke arah kita sinis banget," kesal Asta sambil duduk di hadapan Senja.
"Mau gimana lagi, Ta? Anggapan mereka tentang gua udah jelek. Jadi, mau ga mau harus terbiasa ditatap sinis setiap hari," jelas Senja.
Asta menganggukkan kepalanya. "Bener juga yang lu bilang. Yaudah lah ya. Mending kita makan. Selamat makan, Senja!" Seru Asta yang sudah mengaduk mie ayamnya.
Senja hanya tersenyum. Keduanya melanjutkan aktivitas makannya. Sampai seseorang ikut duduk di bangkunya.
"Semua meja udah penuh. Gua sama Gafi gabung di bangku kalian, kaga nape-nape pan?"
Keduanya menatap laki-laki yang berbicara itu. Siapa lagi kalau bukan Galuh.
"Gapapa. Asal enggak buat onar aja," jawab Senja. Entah kenapa semenjak kejadian di koridor membuatnya kesal dengan laki-laki bermata tajam itu.
"Maneh, nyindir urangnya?" Tanya Gafi sambil menengok ke arah samping dimana Senja duduk bersebelahan dengannya.
"Kalo lu ngerasa. Bagus!" Ujar Senja yang sudah menatap laki-laki yang terlihat bekas lembam di bibirnya.
"Kalo ga penuh meja di kantin ini. Saya males harus semeja sama cewek ketus kek kamu!" Jelas Gafi yang kembali menatap bakso di mejanya dan memasukkan bakso ke dalam mulutnya dengan wajah kesal.
"Udah kalian berdua ribut aja. Mending buruan dihabisin dikit lagi mau bel tuh." Lerai Galuh.
Asta hanya diam, menatap Gafi yang memasang wajah kesal. Di mata Asta laki-laki itu terlihat tampan, membuat gadis itu senyum-senyum sendiri.
Menyadari hal itu Senja menyenggol kaki Asta. "Aduh! Apa sih, Nja?" Tanya Asta sambil meringis.
"Lu ngapain senyum-senyum kayak orang gila gitu?"
Asta terkekeh pelan."Nanti gua ceritain."
Senja hanya menganggukkan kepalanya. "Pulang sekolah. Ngumpul dirumah Senja ya?" Tanya Galuh.
Tatapan Senja terarah ke laki-laki berambut belah tengah itu. "Rumah gua? Enggak deh. Kayaknya, mending dirumah lu aja."
"Rumah gua lagi banyak sodara, jadi kagak bisa. Udah dirumah lu aja sih," putus Galuh.
"Rumah gua juga lagi di renov. Jadi, takut ga konsen," sambung Asta yang ikut bersuara.
Gafi hanya diam sibuk dengan kuah bakso dihadapannya. "Yaudah. Di rumah lu aja ya, Fi?"
Semburan dari mulut Gafi mengenai tangan Senja. "Ohokk... Hah? Rumah urang?" Tanya Gafi sambil menepuk-nepuk dadanya.
"Ishhh.. Jorok banget sih. Gua cuma nanya. Kenapa malah nyembur ke tangan gua?!" Kesal Senja.
Asta terkekeh geli. "Hahaha... Lu lagi pms ya, Nja? Gua liat dari tadi, marah-marah ke Gafi."
"Ya lu coba di sembur gitu, bakal marah ga?" Emosi Senja. Membuat Asta hanya nyengir kuda.
"Hahaha, Senja. Kasian di kasih kuah bakso bau jigong," ledek Galuh dengan tawa renyahnya.
Wajah Senja sudah merah padam. "Berisik!" Tukas Senja
"Sorry. Maneh da tiba-tiba ngomong begitu. Urang teh jadi kaget," ujar Gafi yang sudah selesai meminum air putih entah milik siapa.
Senja hanya diam. Gadis itu mengambil tisu dan membersihkan tangannya.
"Heh.. lu minum aer gua?" Tanya Galuh.
"Maneh beli lagi gih. Ntar urang yang bayar," jawab Gafi santai.
"Udah-udah. Dari tadi ada aja yang diributin. Mending pikirin lagi, mau kerja kelompok di rumah siapa," lerai Asta.
Senja yang marah karna tersembur kuah bakso, dan Galuh yang air putihnya diminum oleh Gafi. Membuat Asta lelah.
"Jangan di rumah urang. Jarak rumah urang teh ke sekolah jauh. Mending di rumah Senja aja, kayak kesepakatan awal," imbuh Gafi.
"Huuuh. Yaudah, di gua." Pasrah Senja. Daripada harus berdebat lagi.
"Oke. Gua nebeng ya?" Ujar Galuh.
"Lu ngomong ama siapa?" Tanya Asta yang sudah mengernyitkan dahinya.
Galuh menggaruk kepalanya. "Hehe. Siapa aja yang sedia nebengin gua," jawab Galuh yang sudah menatap gadis berambut tergerai itu.
"Maneh teh jalan kaki wae. Biar seger," celetuk Gafi dengan senyum miringnya.
"Lu aja, gua ogah!" Tolak Galuh sambil menunjuk Gafi.
Yang ditunjuk hanya menaikkan kedua bahunya. "Yaudah, Asta sama lu bareng gua aja. Lu bawa kendaraan kan?" Tanya Senja ke Gafi.
"Iya bawa. Nanti urang buntutin dari belakang," jelas Gafi.
"Oke. Awas aja sampe lu kabur!" Tegas Senja sambil menatap laki-laki itu.
"Tenang aja. Urang mah da bisa di percaya. Kalo maneh ga percaya. Maneh bareng urang we," jelas Gafi dengan menaikkan sebelah alisnya.
"Ga usah. Gua percaya."
Bunyi bel berdering, membuat semua murid saling berhamburan. Termasuk mereka berempat.
_"Sikapnya terkadang menyebalkan. Tapi, dia mau membela orang yang terbully."_ ~~~ Senja sudah berjalan keluar koridor. Gadis itu sudah melepas kuncirannya. Menaruh kunciran di lengannya. Banyak mata yang menatap gadis itu sinis. Tapi, Senja sebisa mungkin tidak emosi. Gadis berambut bergelombang sebahu itu berjalan sendirian. Karena, sahabatnya sudah keluar terlebih dahulu. Rangkulan di pundak Senja membuatnya terkejut dan menatap laki-laki tinggi itu, yang tersenyum ke arahnya. "Kenapa?" Tanyanya. Gadis itu tersenyum tipis. Menampilkan lesung pipinya meski hanya sedikit. "Gapapa. Mau kemana?" Tanya balik Senja. Kin
_"Masalah datang tanpa diduga."_~~~ Sesampainya di atas. Terlihat begitu simple. Kursi tertata sedemikian rupa. Dengan meja bulat berisi kursi untuk empat orang. Karena, hari ini kafe itu lumayan ramai. Mereka berempat akhirnya memilih tempat yang ada paling ujung. Gaya modern kekinian begitu terasa di kafe kenangan itu. Untuk bagian lantai dua merupakan kafe outdoor. Lebih terlihat alami. Dinding-dinding kafe terlihat seperti batu bata asli. Padahal, itu hanya wallpaper biasa. Di dinding itu juga terpasang bingkai tulisan motivasi dan sejenisnya. "Urang teh, henteu resep sebenernya. Kalo harus kerja kelompok di dieu," ujar Gafi yang sudah menatap Senja intens. Setelah mereka berempat duduk di bangku paling pojok. Kerutan di dahi Senja terl
_"Terkadang, apa yang kita harapkan tidak berjalan dengan baik."_~~~ Kepulan asap berbau tembakau itu, menari mengerumuni beberapa orang yang sedang duduk santai di atas meja tak terpakai. Bangunan yang sudah terbengkalai di belakang sekolah, terlihat begitu berantakan. Kursi yang sudah rusak tergeletak begitu saja. Tembok di sekeliling bangunan terlihat penuh dengan coretan. Wajah dingin terlihat jelas, rahang tegasnya menampilkan amarah yang tertahan. Laki-laki dengan penampilan acak-acakan itu sedang asik menyesap rokoknya. Sedangkan beberapa orang lainnya saling bercengkraman. "Eh, Van. Muka lu napa ditekuk gitu?" Tanya laki-laki botak itu sambil merangkul leher lawan bicaranya. "Kita harus pantau terus, pelaku yang nyebarin berita
_"Terkadang membahagiakan seseorang yang kita sayang, bisa dengan cara sederhana."_~~~"Nja," panggilan itu memotong ucapan Senja. Keduanya menatap sumber suara. Yang ternyata laki-laki dengan baju basketnya. Siapa lagi kalau bukan Aldi.Tatapan tajam dari Gafi terarah ke laki-laki yang berada tepat di belakang Senja. Rasa kesalnya masih terasa sampai saat ini."Aldi? Kok kamu tau aku di sini?" Tanya Senja. Ucapan gadis itu terdengar oleh pendengaran Gafi. Membuatnya berdecak kesal.Aldi tersenyum membuat matanya semakin menyipit. "Dari Asta. Aku tanya soal kamu ke dia. Yuk pulang," ujar Aldi sambil menyentuh jari-jemari Senja dengan lembut.Senja memikirkan ucapan laki-laki bermata sipit itu. Mana mungkin Asta
_"Apa yang menurut kita benar, belum tentu benar di mata orang lain."_~~~Aldi sudah menatap nasi goreng buatannya yang tidak terlihat buruk. Senyum lebarnya kini terpancar dengan jelas. Laki-laki sipit itu sedang duduk di meja makan yang terdapat enam kursi. Meja berbentuk oval itu terbuat dari kayu yang atasnya terdapat kaca.Tangan besarnya kini mengambil buah berwarna merah. Rumah ini terlihat begitu sepi, dan baru kali ini Aldi menginjakkan kakinya di dalam rumah Senja. Biasanya, hanya sampai parkiran saja. Foto-foto terpajang rapih di dinding. Ada juga yang tersusun di sudut meja.Tatapan Aldi terarah pada satu orang anak laki-laki yang sepertinya, ia mengenali wajah itu. Tapi, perasaannya berkata itu tidak mungkin. Bisa saja, ia salah orang. Karena, di sekolah pun keduanya tidak saling berinteraksi
"Semua rencana butuh proses, yang tertata, tersusun dan yang terpenting tidak tergesa-gesa."~~~ Pagi itu cuaca terlihat begitu cerah. Jalanan Ibukota Jakarta terasa begitu ramai. Klakson kendaraan saling bersautan. Laki-laki bermata coklat gelap berbentuk almond itu sedang berdesak-desakan di dalam kendaraan umum. Motornya mogok. Karena, semalam ia terjebak banjir dan terpaksa menerobos. Mengakibatkan mesin motornya mati. Sialnya lagi, ia harus mendorong motornya sampai rumah. Rasa pegal di kakinya semakin terasa. Sejak semalam ia harus jalan sejauh itu, ditambah lagi hujan cukup deras. Sekarang harus berdiri berhimpitan seperti ini. Rasanya kakinya ingin lepas. Seharusnya ia sudah bisa menempuh waktu 15 menit untuk sampai di sekolahny
_"Saat orang lain memperlakukan kita secara tidak baik. Bukan berarti, kita melakukan hal yang sama."_~~~Hening tercipta di dalam kelas 10 IPA 2. Sampai suara tegas, menginterupsi ruangan persegi itu."Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh. Selamat pagi semuanya," sapa guru berkacamata tebal itu."Waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh. Selamat pagi bu," serempak siswa-siswi di kelas."Baik semuanya. Kumpulkan tugas kelompok kemarin. Untuk tugas kelompok itu, kita bahas minggu depan!"Gafi yang sudah menyatukan semua lembaran soal di kelompoknya, langsung memberikan lembaran tugas itu ke Senja.Gadis berlesung pipi itu tanpa berkata apa pun langsung berdiri meletakkan tugasnya di atas meja. "Oh iya Senja! Bisa bantu ibu?" Tanya Indah, guru fisika itu.Senja menganggukkan kepalanya. "Tolong, ambilkan buku
_"Terkadang emosi memenuhi pikiran. Mengakibatkan emosi yang tidak stabil."_~~~ Suara bising di kantin terdengar begitu riuh. Ada yang berebut antrian. Ada yang tertawa terbahak-bahak. Karena, lelucon salah satu di antara mereka. Ada juga yang menjadikan kantin tempat konser dadakan. "Bang. Gorengan satu, ya! Duitnya gua taro meja!" Teriak Revan—biang onar di sekolah. Penampilannya terbilang berantakan. Dasi yang tidak ada di kerah bajunya. Bahkan, baju kemeja putih berlogo SMA itu sudah keluar kesana-sini. Terlebih lagi, laki-laki bermata tajam bagaikan pisau itu hanya membayar gorengan seharga seribu rupiah. Padahal, Revan mengambil gorengan dua buah. "Gimana? Udah dapet infonya?" Revan sudah duduk di antara sahabat-sahabatnya, di paling ujung kantin. "Belum, Van. Hari ini aja, ga ada yang nyoba ngebully Senja. Keliatannya har