Share

05 Rahasia Senja

_"Sikapnya terkadang menyebalkan. Tapi, dia mau membela orang yang terbully."_

~~~

Senja sudah berjalan keluar koridor. Gadis itu sudah melepas kuncirannya. Menaruh kunciran di lengannya. Banyak mata yang menatap gadis itu sinis. Tapi, Senja sebisa mungkin tidak emosi.

Gadis berambut bergelombang sebahu itu berjalan sendirian. Karena, sahabatnya sudah keluar terlebih dahulu.

Rangkulan di pundak Senja membuatnya terkejut dan menatap laki-laki tinggi itu, yang tersenyum ke arahnya.

"Kenapa?" Tanyanya.

Gadis itu tersenyum tipis. Menampilkan lesung pipinya meski hanya sedikit. "Gapapa. Mau kemana?" Tanya balik Senja.

Kini, tatapannya tepat di rentina mata hitam Aldi. Laki-laki itu sudah memakai kaos abu-abu dan terselip headset di telinganya.

"Jadwal aku latihan basket. Masa kamu lupa? Kamu mau temenin aku, kan?" 

"Inget kok. Tapi, hari ini aku ada kerja kelompok. Jadi, enggak bisa nemenin kamu dulu. Gapapa?" Ujar Senja diselingin dengan pertanyaan.

Aldi menganggukkan kepalanya "Em... oke. Ga masalah. Aku anter ke parkiran ya?" Ujarnya sambil menggenggam tangan kecil Senja.

Keduanya berjalan beriringan, masih ditatap sinis oleh beberapa murid yang berlalu-lalang. Namun, di antara Senja atau pun Aldi tidak mempedulikan hal itu.

"Sama siapa aja?" Tanya Aldi. Memecah keheningan beberapa detik lalu.

"Sama Asta, Galuh terus Gafi," jawab Senja. Yang sudah mendongak. Karena, tubuh Aldi yang tinggi yaitu, 175 cm.

Aldi menghentikan langkahnya menatap gadis itu lekat. "Gafi? Cowok songong yang ngajak ribut itu?" Anggukan dari Senja membuat rahang Aldi mengeras.

"Kenapa harus sekelompok sama dia sih?!"

Mendengar nada suara Aldi yang kesal itu, membuat Senja mengernyitkan dahinya.

"Emang kenapa, kalo aku sekelompok sama dia? Enggak ada masalahnya, kan?" 

"Ada! Kamu ga liat tadi pas istirahat dia udah ngajak ribut temen-temen aku? Mana songong lagi," kesal Aldi.

"Aku liat. Terus, aku juga denger. Temen kamu ngehina aku, dia ngebela aku. Kenapa kamu jadi marah sama dia? Yang harusnya kamu keselin itu ya temen kamu! Yang asal bilang tanpa tau kenyataannya!" Emosi Senja tiba-tiba muncul.

Membuat Aldi terdiam. "Emang dia ngeselin. Tapi, dia tau harus ngebela siapa. Enggak kayak kamu!" Lanjut Senja.

Senja berlalu dari hadapan Ivan, dengan amarahnya. Wajah mulusnya, kini sudah merah padam. Senja tidak habis pikir dengan pemikiran laki-laki berkulit putih itu.

"Lama pisan euy. Ampe lumutan ini mah." Oceh Gafi setelah melihat gadis itu sudah berjalan ke arah mereka bertiga.

Senja menatap malas laki-laki yang berdiri di motor hitam itu. "Muka maneh kunaon? Kusut kitu. Mirip jeung jemuran yang di peres," lanjut Gafi.

"Kepo banget. Bukan urusan lu!"

Asta menggenggam tangan Senja yang terasa dingin. Sebenarnya, Asta melihat perdebatan kecil antara Senja dan juga Aldi.

"Habis berantem ya? Masalah apa?" Tanya Asta berbisik ke telinga Senja.

"Gapapa. Masalah sepele aja. Yaudah, mending kita berangkat. Nanti ada yang ngoceh lagi!" Sindir Senja sambil melirik Gafi. Yang dilirik hanya memutarkan kedua bola matanya malas.

"Maneh sama urang we, Nja. Biar urang kalo ketinggalan henteu nyasar kitu. Kali aja urang teh nyasar ke diskotik," ujar Gafi dengan senyum tipisnya.

"Diskotik, diskotik palelu. Punya KTP juga belom. Gaya-gayaan lu!" Celoteh Galuh.

"Nyamber wae maneh teh," sahut Gafi dengan wajah masam.

"Lu berdua. Ga usah ribut!" Tegur Asta yang sudah berdiri tepat di sebelah Gafi.

"Yaudah sama Asta aja. Ayok Galuh, udah ditunggu," ajak Senja yang dibalas anggukan oleh laki-laki itu. Gadis berambut tergerai itu ingat cerita Asta setelah istirahat tadi. Membuat gadis itu menyuruh Gafi untuk membonceng Asta.

"Oke deh," jawab Asta semangat.

Sementara Gafi memasang wajah masamnya. "Ga jadi. Maneh teh bareng mereka aja. Berat bonceng maneh mah."

Asta berdecak sebal. "Enak aja! Lu kira badan gua segede apa?!" Kesal Asta.

"Serah maneh we. Intinya mah urang ga mau boncengan sama cewek ribet."

"Oh gitu. Lu tega? Biarin gua jalan kaki?" Ujar Asta yang sudah memasang wajah melasnya.

Helaan nafas laki-laki itu terdengar, dengan cepat Gafi memakai helmnya. "Buru naik. Lama urang tinggal," tutur Gafi yang sudah duduk anteng di motornya.

"Nah, gitu dong. Kan, jadi ganteng," puji Asta yang sudah memegang pundak Gafi untuk bisa duduk di jok belakang.

"Makasih pujiannya. Tapi, urang da emang ganteng dari dulu," jawab Gafi dengan sorot matanya yang tajam.

"Iyain aja biar cepet," imbuh Asta dengan malas. Asta menyesal telah memuji laki-laki di hadapannya.

Gafi menyalakan mesin motornya, membawa motornya dengan kecepatan sedang. Jalanan kali ini tidak begitu ramai. Membuat Gafi bisa meliuk-liuk membelah jalanan. Tanpa harus terkena macet.

"Rumah Senja teh, jauh dari sekolah?!" Tanya Gafi dengan sedikit berteriak.

Asta yang menyadari itu langsung sedikit memajukan wajahnya ke dekat helm laki-laki itu. "Lumayan. Ga terlalu jauh juga kok!!!" Balik teriak Asta.

Gafi hanya menganggukkan kepalanya, laki-laki itu menambahkan kecepatan kendaraannya.

Jalan sore ini terlihat lebih lengang dari biasanya, 'Kenapa mobil Senja belok ke kafe?' Batin Gafi.

Merasa heran, Gafi langsung memarkirkan motornya. Asta juga terlihat mengerutkan dahinya.

Melihat Senja yang sudah turun dari dalam mobil, disusul Galuh yang juga memasang wajah kebingungan.

Gafi tanpa pikir panjang langsung menghampiri gadis itu. Setelah memarkirkan motornya. "Ini kenapa kita berhenti di kafe? Bukannya kita udah sepakat di rumah maneh?" Tanya Gafi.

"Gua kan cuma ngeiyain. Tapi, gua enggak setuju. Kalo, kerja kelompok di rumah gua. Jadi, yaudah disini aja. Sekalian pesen makan," jelas Senja

Ucapan Senja membuat Galuh berbinar-binar. "Ide bagus tuh, Nja. Pas bener perut gua juga keroncongan."  Semangat Galuh sambil menepuk-nepuk perutnya.

Asta menggelengkan kepalanya. Melihat tingkah Galuh. "Emang dari dulu sukanya gratisan," sindir Asta.

"Karna yang gratis itu nikmat," jawab Galuh.

"Yaudah, masuk aja. kalo ngobrol terus enggak kelar-kelar nanti," celetuk Senja.

Gafi langsung saja menarik leher Galuh untuk masuk terlebih dahulu meninggalkan kedua gadis itu.

Kafe dengan nuansa milenial itu terlihat begitu mengagumkan. Kafe dua lantai yang juga cocok untuk berswafoto. Karena, di bagian pojok kafe terdapat dinding tanaman. Ada yang menempel dengan dinding dan ada juga yang di gantung yang membuat tempat itu terlihat aesthetic.

"Pak, enggak usah ditungguin ya? Nanti kalo pulang saya kabarin," ujar Senja sopan.

"Baik non," jawab supir pribadi Senja yang sudah bertahun-tahun mengantarnya kesana kemari.

Setelah menganggukkan kepalanya. Asta berkata kepada Senja, "Ayo, Nja. Padahal gua pikir. Kita ke rumah lu. Eh malah kesini."

"Gua lagi males di rumah, Ta. Makanya gua pilih kesini aja deh. Lagian kalian juga pasti laper. Daripada nanti di rumah enggak ada apa-apa. Soalnya, bibi lagi pulang kampung," jelas Senja.

"Oh. Bi Endah lagi pulkam. Pantes aja lu ajak kita kesini. Mukanya Gafi tadi bete banget. Ngerasa ditipu kali dia hahaha." Ujar Asta dengan kekehannya.

"Biarin aja. Manusia kayak dia emang pantes dikerjain heheh," balas Senja yang ikut tertawa.

Keduanya sudah memasuki kafe, mencari keberadaan dua laki-laki menyebalkan itu.

"Mereka tuh ya. Bukannya nungguin. Kalo gini kan, kita juga harus nyari. Mana rame banget lagi nih kafe," gerutu Asta sambil celingukan kesana-kemari.

Senja menepuk bahu Asta pelan. "Udah enggak usah kesel gitu. Mending sekarang coba lu chat Gafi,"

"Ide bagus," celetuk Asta yang sudah merogoh saku roknya. Mengambil benda pipih itu. Karena, Senja ingat Gafi sudah masuk ke grup kelas.

"Yah, Nja. Batre gua low. Gimana dong?" Panik Asta yang sudah memasang wajah melasnya. Benda pipih itu kini hanya menampilkan layar hitam. Senja menghela nafasnya.

"Maaf mbak. Dimohon jangan menghalangi jalan. Silakan, mencari tempat. Terima kasih," Tegur satpam yang tepat berdiri di antara keduanya.

Mereka berdua saling tatap. Malu di tegur satpam karena memang keduanya berdiri tepat di pintu masuk kafe. "Maaf ya, Pak. Seloroh Senja.

"Sabar Asta, huuuh. Awas aja lu berdua. Kalo ketemu gua jitak palanya satu-satu," gerutu Asta.

Senja tidak mengubris ucapan Asta. Gadis itu langsung menarik tangan gadis berpipi tirus itu. "Kita mau kemana, Nja? Galuh sama Gafi aja belum ketemu. Masa naik ke atas. Ntar kalo mereka nyariin kita gimana? Masa kita kesini main cari-carian."

Ocehan dari mulut gadis itu tidak ada henti-hentinya. "Tuh Gafi. Udah berdiri di tangga. Jadi, enggak perlu ngedumel," cetus Senja sambil menunjuk laki-laki yang berdiri di tangga kafe dengan wajah datarnya.

"Aduh. Ganteng banget, Nja. Kalo gini sih gua ga jadi marah," ungkap Asta yang berbinar-binar.

"Terserah lu aja, Ta. Ayok keburu tuh cowok ngoceh-ngoceh." Senja kembali menarik tangan Asta menaiki tangga.

"Maneh berdua teh ngapain da? Lama pisan. Pegel atuh nunggunya.."

Benar yang diucapkan Senja di bawah tadi. Membuat Asta menatap tajam laki-laki itu. "Heh. Gafi yang terhormat, yang ada lu berdua ngapain berdiri disini? Gimana gua sama Senja bisa liat keberadaan lu? Kalo ga inget ini di tempat umum. Udah gua hajar kepala lu berdua!" Kesal Asta.

"Bawel," cibir Gafi yang sudah berlalu terlebih dahulu. Dibuntuti oleh Galuh.

"Apa dia bilang?! Ishh... Ga jadi, gua muji lu ganteng!!" Ujar Asta sedikit berteriak.

Membuat beberapa orang yang berlalu lalang menatap Asta dengan kerutan di dahinya. "Udah, Ta. Malu, diliatin," lerai Senja sambil menarik gadis itu mengikuti langkah besar Gafi.

"Hehehe. Kelepasan, Nja."

Senja hanya menggelengkan kepalanya. Sudah terbiasa dengan tingkah abstrak sahabat satu-satunya itu.

Iani_p

Hallo semua. Semoga suka sama cerita yang aku buat ini.

| 1

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status