_"Masalah datang tanpa diduga."_
~~~Sesampainya di atas. Terlihat begitu simple. Kursi tertata sedemikian rupa. Dengan meja bulat berisi kursi untuk empat orang. Karena, hari ini kafe itu lumayan ramai. Mereka berempat akhirnya memilih tempat yang ada paling ujung.
Gaya modern kekinian begitu terasa di kafe kenangan itu. Untuk bagian lantai dua merupakan kafe outdoor. Lebih terlihat alami. Dinding-dinding kafe terlihat seperti batu bata asli. Padahal, itu hanya wallpaper biasa. Di dinding itu juga terpasang bingkai tulisan motivasi dan sejenisnya.
"Urang teh, henteu resep sebenernya. Kalo harus kerja kelompok di dieu," ujar Gafi yang sudah menatap Senja intens. Setelah mereka berempat duduk di bangku paling pojok.
Kerutan di dahi Senja terlihat jelas. "Terus masalahnya apa?"
"Banyak masalahnya da. Salah satunya berisik!" Ucap Gafi yang menekankan kata berisik itu.
Asta yang mendengar ucapan Gafi langsung menatap laki-laki dihadapannya itu. "Ga usah lu dengerin, lah! Gampang, kan? cukup fokus aja," sambung Asta.
"Yang penting pesen makan bebas! Ya ga, Ta?" Imbuh Galuh yang sudah membolak-balik buku menu, yang di angguki oleh Asta dengan malas.
Helaan nafas kasar keluar dari mulut Gafi. "Terserah. Kalo kerjaan bagian urang teh ga bener. Anjeun tiluan henteu usah komen, (Kalian bertiga enggak usah komen)," celetuk Gafi yang sudah bersedekap sambil menyenderkan badannya.
"Gampang. Nanti tinggal kita koreksi. Ya kan, Nja?" Tanya Asta sambil menatap Senja dengan cengirannya.
"Iyaiya. Yaudah, mau makan dulu atau mau ngerjain dulu?" Tanya Senja.
Gadis itu mengambil bukunya di dalam tas, sambil menunggu jawaban ketiga temannya itu.
"Makan!"
"Kerjain!"
Jawaban Gafi dan Galuh bersamaan. "Eh.. kerjain dulu! Makan mulu pikiran lu!" Celetuk Asta.
Galuh menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Kalo laper gua kaga bisa mikir. Jadi, mending makan dulu," jawab Galuh semangat.
"Terus kalo kenyang ngantuk? Kapan dong dikerjainnya!" Kesal Asta.
Gafi dan Senja hanya menghela nafas melihat keributan kedua orang itu. "Yaudah, Luh. Mending lu pesen duluan. Yang mau ngerjain tugas. Silahkan, dikerjain. Nanti baru makan," lerai Senja. Gadis itu sudah meletakkan buku dan pulpen hitamnya di atas meja.
"Yaudah, gua pesen makan. Yok! Fi. Makan dulu," ajak Galuh. Menyodorkan buku menu yang sejak tadi dia pegang.
Gafi menatap buku menu itu dan langsung menggesernya. "Ga bisa gitu atuh, Nja. kalo satu makan semua harus makan. Jadi, kita teh kerjain dulu aja. Masalah makan mah belakangan," jelas Gafi.
Mendengar penjelasan Gafi membuat wajah Galuh yang semangat menjadi cemberut. "Ide bagus. Gua setuju sama Gafi!!" Semangat Asta.
"Ga perlu teriak juga, Ta." Gadis bermata hitam kecoklatan itu menegur Asta. Mereka menjadi pusat perhatian karena suara lantang dari gadis berambut tergerai itu. Yang ditegur hanya menampilkan gigi putihnya.
"Gapapa, Luh?" Tanya Senja yang merasa tidak enak.
"Yaudah, kaga ngapa. Gua masih bisa nahan. Tapi, kalo gua pingsan. Lu semua tanggung jawab!" Ancam Galuh.
"Emang ya. Lu tuh, otaknya makan mulu. Yaudah, mending pesen makan. Daripada lu pingsan bikin repot!" Kesal Asta.
"Yes!! Gitu dong! Gua jadi semangat," ujar Galuh dengan wajah berbinar-binar.
Asta hanya mencebikkan bibirnya. "Pesen makanan yang sama we, biar cepet. Urang teh masih ada urusan," sambung Gafi dengan wajah datarnya.
Senja yang melihat raut wajah Gafi begitu flat, membuat gadis itu merasa tidak enak. "Yaudah. Anterin gua." Ajak Galuh ke arah gadis berambut gelombang itu.
"Mau ngapain? Segala di anter. Kayak cewek!" Ledek Asta.
"Lu kaga mau makan? Yaudah kaga bakal gua pesenin!" Ancam Galuh.
"Iya. Ngancem mulu jadi orang!"
Keduanya berlalu untuk memberikan tulisan pesanan milik mereka. "Lu bete ya?" Tanya Fira dengan hati-hati.
Gafi melirik gadis itu sekilas. Laki-laki berambut hitam pekat belah tengah itu sedikit berpikir dan menatap kembali Senja dengan alis yang berkerut. "Maneh teh, nanya urang?" Tanyanya dengan menunjuk dirinya sendiri.
"Enggak. Gua nanya tembok!" Ketus Senja. Kini pandangannya beralih kemana saja. Yang terpenting tidak menatap wajah menyebalkan dihadapannya.
Laki-laki itu terkekeh pelan. Membuat Senja menatap bingung Gafi. "Kenapa lu, ketawa?" Lanjut Senja. Tatapan Senja semakin terlihat bingung.
Gafi meletakkan kedua tangannya bertopang dagu. "Maneh teh, lagi ke sambetnya?" Tanya Gafi yang sudah tersenyum menampilkan sederet gigi putihnya.
Sejenak Senja terpaku dengan senyum manis laki-laki bermata coklat gelap itu. "Biasa we, atuh. Emang urang mah kasep," sambung Gafi. Tingkah pedenya kembali hadir.
"Geer banget. Biasa aja, tuh!" Jutek Senja.
Senyum Gafi tetap terbit yang kini hanya membentuk bulan sabit. "Ngomong-ngomong. kunaon, maneh teh di bully?" Pertanyaan tiba-tiba itu membuat Senja menatap Gafi datar.
Gadis itu tidak suka dengan pertanyaan laki-laki dihadapannya. Terlalu ikut campur. "Bukan urusan lu!" Jawabnya dengan datar.
"Urang da, nanya we. Habis rumorna mah, teu enak didenger. Jatohnya teh pitnah," jelas Gafi. Yang kembali menyenderkan tubuhnya ke kursi.
"Intinya, masalah tadi siang di koridor. Enggak perlu lu denger. Itu semua hoax," tutur Senja. Pipi yang tidak begitu tembam terlihat memerah. Tatapannya terlihat begitu banyak rahasia.
Gafi menghela nafasnya. Tidak habis pikir dengan rumor yang tersebar luas. Padahal, itu hanya berita burung. "Saya enggak percaya. Kalo, saya belum liat yang sebenarnya," imbuh laki-laki berahang tegas itu.
Senja hanya diam, menatap sembarang arah. Moodnya kini sedikit memburuk. Akibat pertanyaan yang dilontarkan Gafi.
Laki-laki beralis tebal itu menatap Senja intens. Tidak ingin merasakan suasana canggung seperti ini. Tapi, Gafi yakin. Gadis dihadapannya malas meladeni ucapannya.
"Maneh teh, suka nasi goreng? Pedes atau asin?" Seru Gafi tiba-tiba.
Gadis berambut hitam bergelombang sebahu itu mengernyitkan dahinya. Sedangkan, yang ditatap hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Kenapa? Ada yang salah kitu, sama pertanyaan urang?"
Senja menggelengkan kepalanya. "Enggak. Tapi, lu keliatan engga punya topik," jelas Senja.
Gafi tersenyum mendengar penuturan Senja. "Hahah... Urang da bingung, maneh teh keliatan bete. Udah we atuh, bilang apa yang terlintas di otak urang," imbuhnya dengan senyum yang terlihat begitu manis.
"Wedeh... Ngape lu senyum-senyum, Fi?" Celetuk Galuh yang sudah datang dengan nampan di kedua tangannya.
Beberapa langkah dari Galuh terdapat Asta yang sedang membawa nampan juga berisi nasi goreng milik Senja. Termasuk, minuman dan makanan miliknya.
Wajah Asta terlihat kusut. Namun, di antara ketiganya tidak ada yang menyadari hal itu. "Ini punya urang teh, pedes teu?" Tanya Gafi merubah topik pembicaraan Galuh tadi.
"Kata lu samain. Ye gua pilihin yang pedes," sahut Galuh. Yang sudah menarik kursinya untuk duduk.
"Kenapa?" Tanya Asta yang sudah menatap wajah Gafi.
Laki-laki itu melirik sekilas Asta. "Gapapa," jawabnya singkat.
Sedangkan Senja, gadis itu tidak peduli dengan pembicaraan ketiganya. Saat ini yang ada dipikirannya hanya ingin cepat pergi dari tempat itu.
Selamat membaca...
_"Perlakuan sederhana terkadang membuat bahagia."_~~~Cuaca begitu mendukung untuk beraktivitas di hari libur. Termasuk gadis berambut cepol dengan setelan traningnya. Senja baru saja selesai melakukan yoga. Helaan nafasnya terdengar, peluh yang membanjiri wajahnya begitu terlihat. Gadis itu menengguk botol minum berisi air mineral hingga 'tak tersisa.Bunyi ponsel terdengar nyaring. Senja melirik sebentar ke arah benda pipih yang tergeletak manis di atas meja belajarnya. Selesai menyimpan botol minum, dan mengelap keringatnya ia langsung meraih benda itu. Senyum yang menampilkan lesungnya, kini muncul begitu dalam.Gadis itu langsung menarik handuk, yang tergantung rapih di dekat pintu. Setelah melihat pesan yang entah dari siapa, gadis itu langsung bergegas mandi. Mungkin orang spesial yang akan datang.Sudah hampir setengah jam, akhirnya Senja se
_"Hidup itu tidak selalu berjalan dengan mulus. Pasti, selalu ada masalah dalam hidup. Masalah ringan, sedang, hingga masalah yang begitu rumit. Tapi, semua itu punya jalan keluarnya."_~~~"Ikut gua!"Suara berat, membuat gadis berambut pirang itu menatap ketiga orang dihadapannya dengan tatapan aneh."Mau apa sih lu?! Punya urusan sama gua?""Udah lah, lu engga usah banyak bacot!" Bentak laki-laki berkulit sawo matang itu."Ngapain sih?! Gua ga mau!" Berontak gadis itu.Namun, laki-laki bertubuh tinggi itu menyuruh kedua temannya membawa paksa Viola."Bagas!!! Lu mau ngapain gua?"Laki-laki yang dipanggil Bagas itu hanya mengedikan pundaknya, dan berjalan mengikuti kedua temannya itu.Viola, gadis itu mencoba melepas cengkraman kuat dari kedua kakak kelasnya. Namun
_"Apa yang kita pikirkan benar, belum tentu benar. Bahkan, bisa saja yang kita anggap tindakan yang benar ternyata malah sebaliknya. Sebuah kesalahan."_~~~Hujan sore di ibukota Jakarta terlihat begitu deras. Awan yang tadinya cerah, kini terlihat begitu gelap. Seharusnya semua siswa-siswi SMA GARUDA sudah pulang sejak sejam yang lalu. Namun, mereka harus menetap di ruang kelas menunggu hujan mereda."Ta, gua perlu ngomong sama lu."Ucapan itu membuyarkan lamunan Asta. Suara berat dan khas itu, menyadarkan Asta bahwa bukan lagi Senja yang duduk di sebelahnya, melainkan Galuh."Hem..."Galuh langsung duduk di sebelah gadis itu, tadi ia meminta Senja untuk berpindah tempat duduk sebentar selagi gadis itu menunggu dijemp
_"Apa pun perkataan orang lain, tidak perlu kita hiraukan. Jika itu hanya melukai diri kita. Dengarkan saja yang perlu didengar, anggap angin lalu yang tidak perlu untuk didengar."_~~~Suara riuh terdengar begitu gaduh di kelas IPA 2. Senja yang berjalan dengan penampilan yang sangat berantakan, melewati beberapa temannya yang menatapnya dengan sinis.Cangkang telur serta putih telur bercampur dengan kuningnya, bertengger manis di rambut sebahu gadis itu. Aroma menyengat menusuk indra penciuman semua orang yang ada di dalam ruang kelas.Galuh hanya mengekor dari belakang, sedangkan Gafi hanya diam duduk di kursinya. Laki-laki bermata almond itu tidak lepas memandang Senja yang terlihat tidak baik-baik saja."Bau banget badan lu, Nja. Bikin kelas bau busuk! Bersihin dul
_"Orang yang kita anggap akan ada dipihak kita ternyata sama saja dengan yang lain. Rasa kecewa itu benar-benar terasa, menyakitkan."_~~~"Enggak perlu lu anter. Gua kesini sama supir," ujar gadis berambut hitam itu. Sejak Revan dan yang lainnya pergi, keduanya sudah memutuskan untuk duduk di trotoar dekat penjual minuman dingin keliling dan tukang somay."Maneh teh kunaon, sewot terus sama urang? Urang teh punya salah kitu?" Tanya Gafi.Senja menghela nafasnya, ditatap laki-laki yang tingginya 176 cm itu. Memang Gafi tidak pernah melakukan kesalahan. Tapi bagi Senja, laki-laki itu memang harus ia jauhin. Lebih tepatnya jangan sampai berurusan dengan laki-laki dihadapannya ini."Lu enggak punya salah. Gua harap, ucapan gua di sekolah bisa lu lakuin ya? Gua enggak mau p
_"Kecewa itu......"_~~~Beberapa menit setelah Gafi meninggalkan rumah Arya. Keempat anak remaja itu asik dengan kartu dan cemilan di atas meja. Sesekali umpatan-umpatan kasar keluar dari bibir mereka."Sial! Kalah lagi gua!" Celetuk Arya.Tama hanya tertawa merasa senang, karena sejak tadi Arya selalu kalah. "Udah, lu mending maen barbie aja," ledek Banu.Hal itu membuat Arya berdecak kesal, dan melempar batal tepat ke wajah tampan laki-laki itu. "Lu kira gua cowok apaan?" Kesalnya.Banu tertawa sambil memegang perutnya yang terasa kram. "Cowok jadi-jadian hahahaha,""Si anjir! Lu kalo ngomong, perlu gua sumpel mulut lu ya?" Omel Arya."Haha