Ragu, namun tanganku tetap bergerak mengambil foto tersebut.
Di ujung tepi foto terdapat tulisan angka 12-05-2019. Penasaran, ku balik foto tersebut. Tampaklah dua orang di dalam sana. Seorang perempuan cantik yang sedang menggendong anak kecil, masih bayi. Terlihat dari tangan mungilnya yang digenggam perempuan tersebut. Senyumnya merekah mengembang, tampak dia sangat bahagia.
Aku tidak mengenal siapa mereka, dan kenapa foto itu ada di dalam dompet Suamiku. Kenapa juga dia menyimpannya. Semua pertanyaan itu berputar di kepalaku.
Ku buka slot yang lainnya di dalam dompet tersebut, mencari-cari apa ada lagi foto lainnya. Aku mengembuskan nafas pelan. Ada yang nyeri mengiris sembilu di relung hatiku. Aku tidak menemukan fotoku sama sekali di dalam dompetnya, seperti wajarnya pasangan suami-istri yang sering menyimpan foto pasangannya di dalam dompet. Hanya ada satu foto, dan itu foto orang lain yang tidak kukenal baik siapa mereka.
Walau bukan jamannya lagi menyimpan foto di dalam dompet, tapi adanya satu foto tersebut membuatku berpikir bahwa orang di dalam sana adalah orang yang sangat berarti bagi Mas Bintang. Lalu bagaimana denganku, istrinya? Apakah aku tidak berarti di hidupnya hingga dia tidak menyimpan fotoku disana?
Ingin berprasangka baik dan menduga kalau itu adalah foto masa lalu, mungkin foto suamiku waktu kecil digendong Ibu mertua. Tapi logika--ku berpikir sebaliknya. Perempuan di dalam foto tersebut tidak ada mirip-miripnya dengan Ibu mertua. Andaikan foto lama, itu aneh karena terlihat masih baru. Perempuan di dalam foto itu sangat cantik, dan bayi di dalam gendongannya juga sama cantiknya. Melihat bayi tersebut, aku refleks mengelus perutku. "Kapan aku diberi amanah olehMu ya Allah," gumamku pelan.
"12-05-2019," gumamku lirih membaca lagi angka tersebut.
Kalau dihitung dengan tahun sekarang(akhir 2020), itu artinya hampir setahun setengah. Apa maksud dari tanggal tersebut? Itu tanggal untuk mengingatkan apa?
Pikiran-pikiran buruk sudah merayap menyelami benakku. Aku merasa kalau perempuan tersebut ada hubungan spesial dengan Mas Bintang.
Ya Allah, kenapa hatiku tidak nyaman. Perasaanku gundah memikirkannya. Apa aku harus menanyakannya kepada Mas Bintang? Bagaimana kalau bukan penjelasan yang kuterima, tetapi kemarahannya karena dengan lancang membuka dompetnya. Namun kalau tidak kutanyakan, maka hatiku yang tidak karuan rasa dan tak tenang.
Foto tersebut kuselipkan kembali ketempat asalnya. Uang yang sudah berada di dalam genggaman tangan juga kumasukan kembali kedalam slot dompet, urung untuk mengambilnya. Perasaanku buruk, tak ada semangat untuk mengejar Abang sayur dan membeli dagangannya. Lutut terasa lemas, terseok aku berjalan seolah enggan tuk digerakkan. Dengan gontai, kupaksakan turun ke lantai bawah.
Akhirnya aku menikah dengan Mas Daffa setelah dua bulan dari lamaran kemarin. Keluarga Mas Daffa sangat open kepadaku. Mereka menerima keadaanku dengan tangan terbuka. Tidak ada nyinyiran atau sindiran pedas dari mulut mereka. Apalagi orangtuanya. Mas Daffa sekarang cuma mempunyai Ibu saja, ayah Mas Daffa sudah tiada. Mama Lola sangat baik kepadaku. Perlakuannya sama seperti Ibunya Mas Bintang dulu, penuh kasih sayang.Aku ikut tinggal bersama Mas Daffa ke rumahnya. Masih satu kota dengan Fajar. Untuk kedua kalinya, aku meninggalkan Fajar sendirian lagi di rumah. Tidak apa, untung dia anak lelaki. Aku yakin ia bisa jaga diri dan pergaulan.***Baru kali ini kurasakan kebahagiaan berumah tangga, setelah menikah dengan Mas Daffa. Kami saling terbuka. Tidak ada yang ditutup-tutupi dari diri kami masing-masing. Barang pribadi bebas dipegang siapa saja, entah aku ata
Sepanjang jalan pulang ke kota asalku, aku merenung. Sungguh bukan impianku mempunyai pernikahan yang sesingkat ini. Kuikhlaskan hati pada Ilahi, dengan memantapkan hati tetap teguh melangkah membuka lembaran baru di hidupku. Mencoba berprasangka baik terhadap Sang pencipta atas ujian hidup yang telah ditakdirkan kepada hambaNya. Akhirnya aku kembali kesini, ke tempat masa kecilku dulu dan meniti hidup yang baru.Bulan silih berganti, aku sudah bergelut beraktivitas mengajar di salah satu taman kanak-kanak. Rasanya senang bisa berinteraksi dengan mereka. Berteman baik dengan kepolosan dan tingkah polah lucu mereka. Tak pernah kudengar lagi kabar mantan suamiku. Terakhir saat berkunjung ke rumahnya, aku dibuat terkejut dengan kenyataan menyedihkan kalau Mas Bintang mengalami depresi berat. Keadaan Ibu yang cuma berbaring di tempat tidur lebih mengiris hatiku. Aku tidak bisa berbuat
"Mas, itu sudah nggak penting, sekarang keselamatan Kia yang harus kita pikirkan, bukankah kamu sangat menyayanginya?" ucapnya dengan sesegukan dan menatapku sendu.Aku tidak habis pikir, begitu mudahnya ia bilang tidak penting. Kia bukan anak kandungku. Golongan darah kami berbeda. Lalu anak siapa dia?Aku masih mendebatnya dan memaksanya memberitahuku yang sebenarnya. Ia tergugu menangis dan bersujud di kakiku. Memohon ampun dan memintaku memaafkannya. Dia sendiri bilang tidak tahu siapa lelaki yang merupakan ayah kandung Kia. Aneh, bagaimana mungkin? Jadi benar kata Ibu selama ini kalau Salma bukan wanita baik-baik. Berapa lelaki yang sudah menidurinya? Aku menolaknya dan bergegas keluar dari ruangan tersebut. Salma mencoba mengejarku tapi tidak kugubris. Hatiku hancur mengetahui semua kebenaran ini. Kia, maafkan Ayah, aku tidak sanggup untuk tetap di sini menunggumu pulih. Aku perlu wak
Kukira bisa mengendalikan semuanya dengan mudah, ternyata salah. Tidak mungkin dua kursi bisa duduk bersama. Entah apa yang terjadi, Salma dan Cahaya bisa saling bertemu. Apakah mereka janjian atau tidak disengaja, mungkin semua ini sudah takdir Allah. Yang tidak kumengerti kenapa bisa mendadak seperti ini? Di saat aku belum siap untuk mempertemukan mereka dan sesuatu yang tidak kuinginkan malah terjadi. Aku tahu dari cara Cahaya melihatku ia sangat marah. Bahkan panggilan dan penjelasanku tak digubrisnya. Ia pergi dengan emosi yang memuncak hingga mengalami kecelakaan. Bukan cuma Aya, tapi Ibu pun jatuh sakit karena jantungnya kumat lagi mendengar Aya kecelakaan. Yang menyakitkan aku harus kehilangan anak yang sangat kunantikan kehadirannya. Aya keguguran. Kecelakaan itu penyebabnya. Sebab itu pula hubunganku dengan Aya kembali memburuk. Fajar sudah tahu kisah sebenarnya dan ikutan marah padaku. Ia juga melarangku mendekati kakaknya bahkan mereka akan pulang ke rumah mereka.
"Sudahkan, Mas tutup teleponnya. Tenangin Kia, kamu ibunya, masa tidak bisa menenangkan anak sendiri," ucapku sewot. Lalu sambungan panggilan benar kuputus sepihak. Biarlah kali ini tidak kuhiraukan Kia, aku yakin Salma bisa mengatasi anaknya sendiri.Untuk saat ini aku fokus ke Cahaya. Aku harus memikirkan cara agar Aya membatalkan keinginannya untuk pergi dari rumah ini.***Kulihat Aya membereskan baju dan memasukkannya ke dalam koper. Aku memberitahunya agar jangan lama berada disana, kasihan Ibu, ujarku. Lagi-lagi kata Ibu yang terucap, Aya menoleh ke arahku sekilas, dapat kulihat masih ada sorot kemarahan dari matanya. Aya hanya diam, dia tidak menggubris omonganku. Untungnya ia masih mau memasak dan menyiapkan sarapan pagi kami. Aku terus menatapnya, Ibu menyuruhku mengantarkan Aya pulang, tapi Aya menolak, ia bahkan hampir berkata dengan nada marah kepada Ibu,
"Ya, sini duduk," pintaku, dengan menepuk atas kasur di sebelahku. Aya menolak, ia lebih memilih berdiri memandangi luar jalanan dari balik jendela. Kulihat di sudut matanya tampak buliran air mata. Hatiku semakin terenyuh, sesakit itukah rasanya Ya, maaf, lirihku dalam hati.Kutarik nafas panjang sebelum memulai kebenaran ini. "Wanita itu namanya Salma. Dia ... Istriku." Akhirnya kalimat itu terucap juga dari bibirku.Aya tampak syok, raganya merosot kebawah, dan terduduk di lantai. Dia menangis. Tak tega melihatnya, kulangkahkan kaki menghampirinya."Stop! berhenti disana!" teriaknya dengan berlinang air mata sambil mengangkat telapak tangan ke udara. Aku terdiam membeku di tempatku berdiri. Aya terlihat bukan dirinya, untuk pertama kali kulihat kilatan kemarahan di kedua netranya. Ia juga berani membentakku."Kapan kalia