Bagian 1
"Yur... sayur...! Ibu... Ibu... sayur...! Sayur segar baru dipetik dijamin segar, ada ikannya juga." Sayup, terdengar jauh Abang tukang sayur sedang teriak menawarkan dagangannya.
"Bu Aya! Belanja nggak? Tuh Abang sayurnya sudah di depan rumah Bu Hani, bentar lagi mau pergi!" Teriak Bu Tuti, tetangga sebelahku.
Waduh, motor matic-ku dibawa Mas Bintang karena mobilnya sedang diservice. Kalau jalan kaki apa terkejar ya?
Aku berusaha turun dari lantai atas dengan langkah cepat untuk menyempatkan berbelanja pada Abang sayur. Hari ini berniat membeli satu kilo ayam dan dua ikat sayur kangkung, jangan lupa tahu-tempe sebagai tambahannya. Makanan sederhana favorit Mas Bintang--suamiku.
Sayangnya hari ini aku bangun kesiangan, malam tadi aku tidur dengan nyenyaknya, bahkan sampai tidak tahu jam berapa Mas Bintang pulang ke rumah.
Jam segini aku baru saja membersihkan rumah, biasanya selesai lebih awal, bahkan biasanya sudah duduk santai menunggu kedatangan Abang sayur.
***
Aku mencari-cari dompet panjang-ku. Tidak ditemukan, entah dimana meletakkannya. Sedangkan aku takut Abang sayurnya sudah keburu pergi.
***
"Iya Bu, aku mau belanja, tapi kok Abang sayur-nya masih disana? Memangnya nggak kemari?" tanya sambil membuka pintu pagar menoleh ke rumah sebelah.
"Tidak katanya. Bang Wiro-nya mau langsung balik, ada urusan keluarga, tapi kamu tenang saja, tadi aku berpesan, nyuruh dia buat nunggu kamu sebentar lagi, siapa tahu kamu mau belanja, tuh abangnya nunggu di rumah Bu Hani, cepatan!" jelas Bu Tuti memberitahu. Syukurlah memiliki tetangga yang perhatian.
"Oh begitu, kalau begitu saya cari dompet dulu," ujarku berlalu masuk lagi ke dalam rumah dengan berlari.
Aku cepat-cepat naik ke lantai dua menuju kamar.
"Dimana ya aku meletakan dompet itu," gumamku ngos-ngosan sambil menyisir tiap sisi kamar.
Mataku harta ke atas nakas. Ada dompet disana, tapi bukan dompet yang kucari, dan itu juga bukan dompetku.
Itu kan dompet Mas Bintang? sepertinya dia tidak sengaja meninggalkannya di kamar.
Bimbang. Apa aku pinjam saja uangnya dulu, nanti setelah dompetku ketemu baru kuganti dengan diam. Mas Bintang tidak akan tahu. Daripada ditinggal abang sayur, nanti bakal gak bisa makan siang.
Selama ini saya tidak pernah menyentuh barang pribadinya Mas Bintang, termasuk dompet. itu janjiku dengannya di awal pernikahan. Bukan aku yang meminta perjanjian itu, tapi itu keinginannya. Katanya dia risih kalau barangnya disentuh orang lain, walaupun itu istrinya sendiri. Nyesek sih dengarnya. Mau bagaimana lagi, kami menikah di atas dasar perjodohan.
Kuyakinkan hati membuka isi dompetnya. Berniat mengambil uang seratus ribu saja, kalau dihitung itu cukup untuk belanja kebutuhan masakan hari ini, bahkan ada lebihannya.
Dengan cepat kuhampiri nakas di samping tempat tidur. Kuambil dompetnya dan kubuka. Mataku langsung tertuju ke slot ruang tempat penyimpanan uang. Ada beberapa lembar uang Seratus ribu dan Lima puluh ribu. Kuambil yang berwarna merah senilai seratus ribu. Lalu kututup kembali. Aku mau beranjak, tapi tidak jadi.
Ada yang janggal. Ada yang membuat hatiku tidak nyaman. Ada yang mengusik penglihatanku, tapi apa? Kubuka dompet dompet tersebut.
Jleb.
ini dia. Ada warna putih menyembul di selipan slot kecil berjejer kartu-kartu di bagian sampingnya. Entah kenapa aku penasaran apa itu? Aku yakin itu seperti pas foto ukuran kecil , dan arahnya menghadap terbalik. Jadi aku tidak bisa melihat apa dan siapa dibalik foto tersebut.
Apakah aku harus melihatnya?
Ragu, namun tanganku tetap bergerak mengambil foto tersebut.Di ujung tepi foto terdapat tulisan angka 12-05-2019. Penasaran, ku balik foto tersebut. Tampaklah dua orang di dalam sana. Seorang perempuan cantik yang sedang menggendong anak kecil, masih bayi. Terlihat dari tangan mungilnya yang digenggam perempuan tersebut. Senyumnya merekah mengembang, tampak dia sangat bahagia.Aku tidak mengenal siapa mereka, dan kenapa foto itu ada di dalam dompet Suamiku. Kenapa juga dia menyimpannya. Semua pertanyaan itu berputar di kepalaku.Ku buka slot yang lainnya di dalam dompet tersebut, mencari-cari apa ada lagi foto lainnya. Aku mengembuskan nafas pelan. Ada yang nyeri mengiris sembilu di relung hatiku. Aku tidak menemukan fotoku sama sekali di dalam dompetnya, seperti wajarnya pasangan suami-istri yang sering menyimpan foto pasangannya di dalam dompet. H
Part 3Aku berhenti di anak tangga terakhir dan duduk disana. Menyandarkan kepala ke pegangannya. Mencoba menetralkan rasa sakit yang menyelusup tiba-tiba.Tidak terasa air mata menetes dengan pelan membasahi kedua pipiku.Aku masih kepikiran soal foto itu dan kemungkinan terburuk mengenai hubungan diantara mereka berdua. "Aya, itu kamu Nak?" tanya mertuaku yang tiba-tiba datang menghampiriku dengan kursi rodanya."Hm." Aku berdeham mengiyakan. Cepat-cepat kuusap jejak air mata di kedua pipi dan segera bangkit dari duduk."Ada apa Bu, Ibu perlu apa? Biar Aya ambilkan," tawarku kepada Ibu mertua.Ibu menatapku lekat seperti ada yang dipikirkannya."Ibu kira kamu masih di tem
Part 4"Biar Aya antar Ibu ke kamar ya, buat istirahat," ujarku sambil mendorong kursi rodanya."Jangan Ya, Ibu mau duduk disana saja," tunjuknya ke arah meja makan yang berada di ruang dapur."Apa Ibu mau Aya buatkan makanan? Ibu lapar?" tanyaku sambil mengarahkan kursi roda Ibu menuju dapur.Ibu menggeleng. "Ibu masih kenyang, kan barusan makan, ini juga baru jam sebelas siang, nanti kamu makan siangnya pesan saja, kan sudah banyak jasa order makanan."Aku mengangguk pelan. "Ibu mau pesan apa? Biar sekalian, Aya pesankan," tawarku pada wanita paruh baya yang sudah kuanggap seperti ibu sendiri.Ibu tersenyum, "Ibu mau makan lauk pagi tadi saja, masih ada kan? Kamu urus diri kamu sendiri, kalau ada yang diinginkan, bilang, beli, jangan dipendam, diam aja. Uang Bintang
Part 5"Ya sudah Ya, bawa Ibu masuk, awannya sudah mulai menghitam, sepertinya bakalan turun hujan, padahal tadi cerah ya, cuaca sekarang memang tidak bisa ditebak." Aku mendorong kembali kursi roda Ibu masuk ke dalam rumah."Bintang bawa jas hujan nggak Ya? Katamu Bintang hari ini pulang cepat," tanya Ibu duduk diatas kursi roda sepanjang aku mendorongnya. Ibu bertanya begitu karena beliau tahu kalau dua hari ini Mas Bintang tidak memakai mobilnya ke kantor, tapi menggunakan kendaraan roda dua--ku."Di dalam joknya sudah ada jas hujan Aya Bu, itupun kalau Mas Bintang tahu," sahutku."Kalau begitu kamu telepon Bintang, kasih tahu dia kalau di jok kendaraan kamu ada jas hujannya.""Iya Bu," jawabku sambil mengunci kursi roda Ibu dan mengangk
Part 6Aku menuju dapur, meletakkan serbet kotor tadi ke dalam keranjang tempat pakaian kotor dan mencuci tangan di wastafel. Aku terkejut ketika tangan ingin menyentuh pegangan kulkas ternyata ada tangan lain yang lebih dulu meraihnya. Tangan kami saling menumpuk.Aku menelan salivaku saat jarak pandang kami sangat dekat. Kami saling tatap dan lalu sama-sama membuang pandang ke arah lain.Sekaku itulah kami walau sudah tinggal serumah selama hampir dua tahun. Kadang kami masih merasa malu hanya karena tidak sengaja saling tatap.Aku mundur satu langkah kebelakang dan ingin berbalik pergi. Namun ada tangan yang mencengkramku kuat."Kamu mau minum? Ini!" ucapnya, sembari menyodorkan botol air mineral dingin dari dalam sana."Tidak, a--aku mau ke at
Part 7Aku memantapkan hati pergi ke dalam kamar setelah hampir tiga jam berada diluar. Setelah selesai makan malam, dan berberes sebentar di dapur, aku tidak langsung menyusul Mas Bintang ke atas. Tapi malah masuk ke kamar Ibu. Aku suka berada di kamarnya. Kami sering bertukar cerita atau bersenda gurau layaknya ibu dan anak. Dan diakhiri dengan memijit kaki dan tangannya sampai beliau tertidur. Walau kutahu salah satu kakinya tidak dapat berfungsi dengan baik.***"Hufh ...." Menarik nafas panjang sebelum menarik kenop pintu kamar.Aku membuka pintu dengan sangat pelan, lalu berjinjit masuk ke dalamnya. Takut suara langkahku terdengar nyaring di keheningan malam. Terkejut. Lampu kamar masih menyala. Mas Bintang ternyata belum tidur. Dia sedang berkutat di depan laptop, bekerja d
Part 8 "Ya Allah," ucapku saat terbangun. Kulihat jam menunjukkan pukul Lima subuh. Mas Bintang sudah tidak ada disebelahku. Apa Mas Bintang sudah pergi? Aku ingat malam tadi dia berjanji akan pergi pagi ini, tapi kemana? Bertemu siapa? Terdengar suara guyuran air dari dalam kamar mandi. Oh, Mas Bintang sedang mandi, gumamku dalam hati bernapas lega. Syukurlah. Tumben sepagi ini? Biasanya selalu kubangunkan dulu. Namun sekarang ia bangun sendiri, bahkan lebih awal dariku. Malam tadi aku berniat membuka ponsel Mas Bintang. Menunggu dia tertidur pulas karena ingin menyelidiki siapa orang yang telah menghubunginya semalam. Namun kenyataannya aku malah ketiduran karena kelamaan menunggu waktu yang pas. Gagal. Kulihat ponsel Mas Bintang masih tergeletak di atas nakas. Mataku awas ke arah pintu kamar mandi. Aman. Deng
Aku tak sadar, benda berbentuk persegi panjang dengan layar yang masih menyala itu terjatuh ke lantai. Lepas dari genggaman tanganku. Tubuhku pun ikut merosot ke bawah, turun dari sofa yang kududuki saat ini. Ada nyeri yang mengiris hati melihat gambar yang barusan kubuka. Penglihatanku mengabur bersamaan dengan embun yang berada di pelupuk mata. Aku kalah. Sudah kutahan sekuat mungkin buliran air itu tetap turun juga membasahi kedua pipi. Jadi ini kebenaran foto di dompetmu Mas. Wanita di gambar yang baru kudapat dari Mas Daffa sama persis dengan foto yang ingin kutahu siapa orang yang ada di dalam dompetmu itu. Satu hal yang dapat kutangkap dari gambar ini adalah potret keluarga bahagia. Lengkap dengan seorang anak kecil lucu berumur sekitar setahun lebih. Layar ponsel masih menyala dan terus berderin