Share

3. Perdebatan tangah malam

3. Perdebatan tengah malam

Kutinggalkan kamar Gendis setelah lampu kumatikan. Menenangkan diri di teras rumah dan memandang langit kelam sudah menjadi rutinitas setiap mata sulit untuk diajak kompromi. Tak ada cemilan ataupun kopi, hanya ada angan yang terus merajut segala pertanyaan dan merangkai jawabannya sendiri.

Kontrakan kami berada di paling ujung dan sepi ditambah sebelah belum ada penghuni. Sengaja, aku memilih rumah yang paling ujung dan sepi. Aku tidak mau terlalu banyak berinteraksi karena perjuanganku mendapat tempat tinggal ini bukan main-main sekaligus penuh tragedi.

Awalnya, pemilik kontrakan bertanya perihal surat nikah yang belum aku punya karena memang kami hanya menikah secara siri. Mereka terus mempertanyakan bukti agar kami bisa tinggal bersama. Ya, daerah ini jauh dari perkotaan, gaya hidupnya pun masih kolot dan status masih sangat dijunjung tinggi.

Kutunjukkan foto ijab kabul yang kebetulan ada beberapa di ponsel, kemudian meyakinkan dengan berkata bahwa kami pasangan pengantin baru dan memang sedang menunggu surat yang akan segera dikirim oleh pihak KUA dalam beberapa Minggu. Mereka pun akhirnya percaya dan mau menyewakan rumah ini untuk kami.

Hening malam membuat lamunan semakin tak karuan, bertualang entah ke mana. Memikirkan bagaimana kehidupan kami selanjutnya. Akankah terus seperti ini, tanpa pemasukan, bahkan percakapan? Kupejamkan mata bersandar di sofa. Menengadahkan kepala di bahu sofa, lalu mataku kembali terbuka, menatap langit-langit teras dengan berbagai pikiran di kepala.

Dingin mulai menusuk ke dalam tulang karena malam kian merangkak naik.

Wajah sendu Gendis terus berkelibatan dalam benakku saat pikiran ini berusaha untuk merangkai mimpi, mimpi untuk sekedar menghibur diri dan mempermanis perasaan yang hanya menyisakan rasa pahit : hidup susah dan jauh dari keluarga.

Rasa bersalah itu tak bisa terhapus meski aku sudah bertanggung jawab. Terlalu banyak yang dikorbankan dalam peristiwa ini terutama Gendis, masa depan, dan diriku sendiri.

Mataku terbuka lebar begitu mengingat foto Gendis bersama teman-temannya lalu teringatlah aku pada seseorang.

Prank! Terdengar suara benda jatuh dari dalam kamar Gendis, aku terperanjat.

"Gendis," lirihku berlari menuju kamar, kemudian mengetuk pintu, panik.

"Kamu kenapa, Ndis?" tanyaku dari balik pintu sambil terus mengetuknya.

"Ndis, kamu nggak kenapa-kenapa, 'kan?" tanyaku lagi, aku tak bisa masuk begitu saja tanpa ijin darinya jika memang dia benar-benar terbangun sekarang, karena dia akan sangat marah.

Aku masih membeku di depan pintu dengan pikiran tak menentu, ingin masuk tapi takut.

Detik selanjutnya, terdengar tangisan dari dalam sana. "Gendis, jangan seperti itu, ini sudah malam, tetangga bisa dengar tangisan kamu. Nanti dikira Abang ngapa-ngapain kamu." Aku mencoba mengingatkan, aku tak mau tetangga mendengar dan mengira aku telah melakukan KDRT, namun lagi-lagi dia tak menjawab dan justru menangis semakin keras.

"Gendis!" tegasku dengan suara yang lebih tinggi. Tapi tetap tidak ada perubahan.

"Abang masuk," putusku memegang handle pintu lalu membukanya tanpa menunggu jawaban karena aku sudah tak bisa lagi menahan kesabaran.

Pintu memang tidak pernah dikunci, bukan tidak pernah, tapi memang kunci aku simpan di tempat yang aman. Aku tak mau terjadi hal buruk sedangkan pintu dalam keadaan terkunci dari dalam.

Begitu aku masuk, kulihat dia sedang duduk memeluk lutut di atas ranjang dengan rambut berantakan, sepertinya memang baru dia acak dan remas tak beraturan. Lalu terlihat juga tangannya memegang sesuatu, bukan memegang lebih tepatnya meremas sebuah kertas.

Perlahan aku melangkah masuk. "Pelankan suaramu, Gendis," perintahku dengan nada yang lebih rendah.

Ia menatapku tajam saat aku baru beberapa langkah masuk ke dalam namun detik selanjutnya tatapan tajam itu tiba-tiba berubah sendu. "Kejam." Satu kata terucap dari bibirnya setelah sekian lama tak pernah ada suara selama kami tinggal bersama. Hanya satu kata, tapi berhasil membuat hatiku luluh lantah.

Terakhir dia bersuara adalah saat meminta cerai, tepatnya saat kami baru masuk ke dalam rumah ini. Aku tak menggubris karena itu tidak mungkin, akhirnya dia pun memilih untuk tidak berinteraksi denganku, memilih diam seribu bahasa.

"Kejam?! Apa maksudmu? Ayo lah, Ndis. Jangan bikin Abang terus merasa bersalah."

"Abang memang salah, 'kan?!" tegasnya menatapku sekilas lalu tersenyum remeh.

"Iya, Abang tahu, Abang salah. Abang minta maaf."

"Apa maaf bisa mengubah dan mengembalikan segalanya, Abang?!" tanyanya, lagi-lagi dengan tatapan tajam dan air mata yang terus keluar dari sudut matanya, sedangkan tangannya meremas kemudian mengangkat kertas di tangan. Seolah ingin menjelaskan dan menunjukkan sesuatu padaku, tapi enggan. Enggan atau memang tak bisa lagi berkata-kata. Entahlah.

"Gendis, ini juga di luar kendali Abang. Abang sendiri nggak tahu kenapa semua ini bisa terjadi," terangku masih berdiri tak jauh dari pintu.

"Kalau ini di luar kendali Abang, harusnya Abang senang aku minta cerai. Tapi kenapa Abang menolak?!"

"Gendis!" bentakku tanpa sadar. Lagi-lagi dia membahas perceraian tanpa memikirkan jangka panjang dan hanya berlandaskan pada emosi semata. Ya, dia masih dalam keadaan emosi.

Sesaat tatapan kami saling bertemu, bisa kulihat kebimbangan di mata sembab itu. "Abang ... aku telat, Abang," ucapnya lirih, kemudian tatapan tajam itu sepenuhnya berubah sendu, benar-benar sendu dan begitu terlihat menyedihkan. Ia pun kembali membenamkan wajahnya di atas lutut. Tergugu di sana.

Bagaikan dihantam palu Godam aku mendengarnya. Jantungku kembali berpacu, hal yang begitu kami harapkan tidak terjadi justru terjadi : kehamilan yang terjadi akibat dosa. Benarkah aku telah menghamili anak gadis orang? Sesak mulai mendera, memenuhi rongga dada, dan terasa begitu menyiksa. Ternyata seperti ini rasanya. Pantas saja Papa kecewa, bagaimana dia tidak kecewa jika aku sendiri merasa sangat tersiksa mendengar kenyataan ini?

Perlahan aku mendekat ke arah ranjang dengan susah payah karena lutut dan kakiku seakan tak menyentuh tanah setelah mendengar pernyataan Gendis yang begitu mengejutkan.

Aku duduk di tepi ranjang, lama kami saling diam terjebak dalam kebisuan. Lalu beberapa menit kemudian tanganku terulur meraih kertas yang diremas begitu kuat dari tangan Gendis. Kubuka dan kulihat, ternyata kertas itu adalah kertas kalender milik pemilik kontrakan yang dipasang di rumah kami.

Ponsel yang masih menancap pada sumber daya pun berpendar dan bergetar, alarm berbunyi saat jam menunjukkan pukul setengah satu lalu aku pun mematikannya.

"Sudah lebih dari dua minggu aku menunggu," ucapnya terisak. Rupanya selama ini dia menunggu pergantian hari di jam-jam seperti ini? Menunggu saat itu tiba? Sendirian, ditemani rasa cemas dan was-was.

Aku menghela napas, berusaha bersikap tenang meski hati tidak demikian. Aku tidak bisa memperlihatkan penolakan secara terang-terangan terhadap anak itu karena hanya akan membuat Gendis semakin terpuruk dan jatuh lebih dalam.

Kuusap kepalanya pelan. "Gendis, Abang nggak akan ke mana-mana. Abang akan bertanggung jawab atas anak itu," ujarku dengan sungguh-sungguh. Entah seperti apa nantinya, yang pasti aku tak mau mengulang dosa dengan lari dari tanggung jawab atau bahkan menelantarkan anak yang tidak berdosa.

Ia menepis tanganku kasar kemudian menatapku tajam dengan napas memburu.

"Abang tau rasanya seperti apa? Seperti mau mati, Abang!"

"Gendis, cukup!" Aku bangkit dari ranjang, berdiri memunggunginya.

"Abang ... kenapa sekejam ini, apa salah Gendis?!"

Hening menjeda tidak ada lagi yang bisa aku katakan karena aku sudah menjelaskan semua.

"Apa karena Gendis anak Aditya Respati?!"

Aku berbalik menatap istri yang mulai menuduhku. Ya, aku tidak bodoh, dia telah menuduhku. Menuduh bahwa aku sedang mencari harta dengan cara biadab dan curang.

"Tapi sayang, Abang salah, sekarang aku bukan siapa-siapa dan itu karena Abang!" lanjutnya membuatku semakin marah.

"Cukup, Gendis! Sudah berapa kali Abang minta maaf, Abang nggak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi! Kamu yang harusnya sadar! Jelas-jelas kamu yang salah masuk kamar Abang, masih saja kamu menyalahkan Abang. Ingat, kamu mabuk, Gendis! Bau alkohol dari mulutmu itu sudah jelas! Jelas kamu yang salah!" jelasku penuh penekanan, jari telunjukku pun mengarah tajam ke arah Gendis tanpa aku sadari.

"Abang ...," lirihnya menatapku kecewa lalu berlinanglah kembali air matanya. Akhirnya, aku membuatnya terjatuh ke jurang yang semakin terjal dan curam karena perkataan yang tidak bisa aku tahan. Aku tidak bisa menahan diri seperti biasa.

Aku berbalik badan, mengacak rambut frustasi. Lalu kuucap istighfar berulang kali dalam hati.

"Sudah berapa kali Abang jelaskan dan bilang untuk tidak mengungkit hal itu. Sekarang mau tidak mau kamu adalah istri Abang. Lupakan masalah itu. Besok Abang antar kamu untuk periksa agar lebih jelas. Kalau pun memang benar, jangan macam-macam dengan anak itu, Gendis! Kau paham?!" tegasku tanpa berani menatapnya.

Tak ada jawaban, hanya ada suara isak tangis yang membuat hatiku semakin teriris.

"Sekarang berhenti menangisi hal yang sudah terjadi, istirahatlah," pungkasku meninggalkan kamar Gendis dengan langkah cepat.

Kututup pintu lalu tubuhku tiba-tiba melemah, aku lunglai, dan terduduk di lantai dingin berbahan keramik. Kupukul kepalaku berkali-kali, frustasi, menyalahkan dan menyesali perbuatan sendiri. "Benarkah aku sudah merenggut kesucian dan menghamili seorang gadis?" tanyaku lirih pada diri sendiri dengan perasaan yang hanya bisa aku gambarkan dengan satu kata. Menjijikkan. Ya, benar apa kata Papa, aku menjijikkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status