2. Sama-sama dijebak
Aku duduk menyamai Gendis yang saat ini tersedu di bawah lampu jalan."Kenapa keluar malam-malam? Sudah Abang bilang kalau butuh apa-apa telepon atau kirim pesan ke Abang," ucapku. Namun seperti biasa, dia hanya diam tak menjawab.Akhirnya aku menghela napas dalam."Pulang, ya, Ndis," ajakku lembut. Ya, selama hidup bersama beberapa minggu, aku tak pernah berkata dengan nada tinggi, memperlakukannya sebaik dan selembut mungkin. Sebisa mungkin untuk tidak menambah keadaannya semakin parah dan semakin patah.Ia tak menjawab, hanya tatapan nyalang yang dia berikan sebagai jawaban setiap kali aku mengajaknya bicara. Dia sangat membenciku, sangat. Baginya, aku lah penyebab kehancuran sekaligus penyebab terusirnya dia dari keluarga, terpisah dari orang-orang tercinta. Aku baginya, hanyalah orang yang tidak mempunyai hati. Menjauhkan seorang gadis dan dibenci oleh keluarga, atau bahkan dia sudah memiliki kekasih dan harus berpisah karena ulahku? Entahlah.Dengan lancang tangan ini terulur, niat hati menyibak rambut hitam yang sedikit menutupi wajah lalu menghapus air matanya, namun dia menepis tanganku dengan begitu kasar. Kemudian bangkit meninggalkanku menuju rumah yang kami tinggali selama kami mengasingkan diri.Kuambil motor lalu kutuntun menuju rumah mengikuti langkah cepat Gendis.Sesampainya di rumah, kuparkir motor di halaman, sedangkan dia langsung masuk ke dalam kamar, menutup pintu setengah membanting.Aku melangkah masuk ke dalam. Lagi, kudengar di dalam sana suara tangis yang selalu membuatku merinding setiap kali mendengarnya dan berakhir dengan menyalahkan diri sendiri.Aku melangkah gontai menuju kamar lainnya, kamar yang ada di sebelah kamar Gendis adalah tempatku mengistirahatkan badan.Tak pernah ada percakapan diantara kami, hinaan bahkan cacian pun tak pernah keluar dari mulut Gendis meski dia terlihat begitu membenciku.Kuketuk pintu kamar yang sudah terlihat lebih tenang setelah aku menyiapkan makan malam sederhana. Nasi putih dan nugget ayam yang kubeli dari mini market sepulang dari mencari kerja tadi menjadi menu makan malam kami kali ini. Keadaan ekonomiku memang masih belum stabil. Kami hidup dari uang sisa yang sempat aku ambil saat pergi ke Jogja, sehingga aku dan Gendis harus berhemat."Gendis, makan dulu. Abang taruh di luar," ucapku di depan pintu yang tertutup rapat, meletakkan piring di atas nakas yang ada di sebelah pintu seperti biasa, kemudian kembali ke meja makan untuk mengisi perut dan menghabiskan kopi untuk menghangatkan badan yang sempat kehujanan saat perjalanan pulang.***Malam semakin larut. Jam menunjukan pukul sebelas malam, namun mata masih belum bisa terpejam. Scroll media sosial sebagai hiburan memang kerap aku lakukan saat hati membutuhkan teman, terlihat sebuah pesan spam masuk dari Kanaya.*Kamu di mana? Kenapa nggak dateng di acara ulang tahunku?*Kutekan menu kembali tanpa membalasnya. Aku menghela napas kasar. Aku memang mengganti semua nomor yang bisa dihubungi. Mengasingkan diri di pinggiran kota Jakarta untuk menekan pengeluaran. Semua rekening yang aku pegang sudah dibekukan. Jadi, mau tidak mau aku harus berjuang dari titik paling bawah. Mencoba hidup di tempat yang lebih murah.Netraku kini tertuju pada kotak jam tangan warna coklat di atas nakas yang sengaja aku pesan khusus dari perancangnya. Jam yang sempat aku beli dari Jogja sebelum kejadian nahas itu terjadi. Aku membelinya sebagai kado ulang tahun untuk Kanaya. Namun sayang, tak ada kesempatan untuk memberikannya, bahkan sekedar mengucapkan selamat padanya pun aku tak bisa.Kanaya Larasati, dari sorot matanya aku tahu, dia menyimpan rasa. Tapi tak berani mengungkapkan karena dia wanita, dia lebih memilih untuk diam dan menunggu. Sedangkan aku? Aku memilih diam dari pada harus membuatnya kecewa karena cinta tak kunjung hadir meski hatiku sudah setengah memaksa.Kutepis segala pemikiran tentang cinta dan perasaan, karena memikirkan esok makan apa jauh lebih penting dibanding segalanya. Terlebih, mencari pekerjaan tidak semudah yang aku bayangkan. Entah, sudah berapa banyak lamaran yang aku sebar, berapa perusahaan aku datangi dan selalu berakhir dengan jawaban nanti akan saya hubungi kembali.Terkadang aku berpikir. Andai aku terima sedikit bantuan dari Mbak Aya, setidaknya uang di dompet masih ada. Akan tetapi, harga diriku masih di atas rata-rata. Bagaimana bisa menikah tanpa memberi nafkah? Atau memberi nafkah bukan dari hasil jerih payah, padahal mereka sudah menolakku mentah-mentah, entah ayah dari Gendis atau papaku sendiri. Mereka mengusir kami. Sedangkan aku bukanlah orang yang bisa dengan mudah merendahkan harga diri dengan memohon dan mengiba hanya demi uang. Harga diri adalah harga mati bagi seorang Maulana Ibra Rendiatama.Rasa gelisah semakin menyiksa setiap mengingat keuangan semakin menipis sedangkan pekerjaaan tak kunjung ada panggilan.Aku bangkit dari pembaringan, keluar mencari udara segar. Berada di dalam kamar berukuran 3x3 terasa semakin panas, ditambah tanpa AC dan juga kipas angin membuat pikiran kusut semakin suntuk.Kulangkahkan kaki, pelan, agar tidak menimbulkan suara. Langkahku terhenti saat kulihat pintu kamar sebelah. Di jam-jam seperti inilah aku terkadang melihat keadaannya, saat dia terlelap nyenyak. Kuberanikan diri membuka pintu, pelan dan penuh kehati-hatian.Kulihat dari ambang pintu, dia sedang tidur di bawah dengan posisi duduk, namun hari ini berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Piring di atas nakas terlihat kosong. Bibirku pun tertarik sempurna. Setelah sekian lama dia memilih mencicipi lalu meninggalkan makanan begitu saja, maka malam ini berbeda, sudah ada kemajuan. Jadi dia suka nugget? Atau suasana hatinya sedang membaik?Kubawa dia ke atas ranjang agar tidurnya lebih nyaman, lalu sebuah benda jatuh dari atas pangkuan. Setelah meletakkan tubuh yang sedikit mengurus itu dengan penuh kehati-hatian dan menarik selimut menutupi tubuhnya, kuambil benda pipih persegi panjang milik Gendis yang terjatuh dan memeriksa apakah daya perlu diisi.Kutekan tombol bagian samping untuk melihat berapa daya yang tersisa. Menyala. Selain daya, bisa kulihat juga terakhir apa yang dia buka. Galeri foto. Di sana terlihat foto keluarga, foto bersama ayah dan ibunya, terlihat pula fotonya bersama gadis muda entah siapa. Mungkin saudara.Rasa asa ingin tahu mulai membimbing jemariku menggeser foto selanjutnya. Beberapa foto bersama teman-teman kampus juga banyak di sana, keceriaan dan kebahagiaan tampak terpancar dari wajah Gendis di foto tersebut, jauh berbeda dengan kondisinya saat ini, pucat, tanpa riasan, dan juga gairah. Apa yang aku lihat sekarang membuatku diliputi rasa entah.Kuhentikan jemari dan menekan menu kembali. Lalu, aku kembali tersentak saat kulihat gambar wallpapper di layar tersebut. Gambar beberapa orang termasuk Gendis dengan wajah penuh suka cita menunjukkan sebuah tanda pengenal dari perusahaan Mahesa Tunggal dan di belakangnya terlihat sebuah gedung yang tidak asing bagiku.Keringat mulai membasahi wajah lalu merambat ke seluruh tubuh. Mungkinkah dia adalah salah satu mahasiswa magang di Mahesa Tunggal?Aku terhenyak di bibir ranjang, menghela napas dalam untuk menghilangkan rasa tegang, lalu kupandang wajah yang terlihat muram meski matanya sedang terpejam. "Maafkan Abang, Gendis," lirihku mengusap sudut matanya yang basah. Ya, bahkan dia masih mengeluarkan air mata meski matanya tertutup rapat.Terkadang, aku bertanya pada diri sendiri dan berpikir bahwa dia telah menjebakku. Namun, setiap melihat kondisinya yang begitu terpuruk dan hancur maka sampailah aku pada kesimpulan bahwa kami sama-sama dijebak. Lalu, siapa yang melakukannya? Kebungkaman Gendis membuatku jadi serba salah dan bingung harus berbuat apa."Siapa wanita itu?"Seketika senyum itu memudar dari wajah pria tampan yang tengah duduk di sebelahku."Wanita yang mana?""Memang ada berapa banyak wanita lagi?" tanyaku menahan hawa panas seraya tersenyum lelah."Nggak ada.""Haruskah Gendis memperjelas maksudnya?""Ndis ....""Wanita yang kamu peluk mesra." Dengan terpaksa kupotong ucapannya.Ia terdiam, hatiku pun kembali terhujam, ketika aku mulai meraba arti dari kediamannya tersebut."Kalau nggak bisa kenapa dipertahankan?" lanjutku mengalihkan pandang ke arah hamparan rumput hijau yang menghiasi taman."Maksudnya?""Ya, kalau ada yang menunggu kenapa harus dipaksa untuk bertahan sama Gendis, Abang?" sindirku pada akhirnya. Aku tak mampu lagi menahan ribuan tanya dan amarah yang teronggok di dalam sini, yang sudah hampir meledak jika aku tak segera mengeluarkannya.Jika harus berakhir maka tak perlu menunggu dan membuang waktu sia-sia. "Ngomong apa? Lagian masak kamu nggak tau tadi siapa? Katanya fans berat?"Aku menatapnya
Umi selalu pandai membuat hatiku diliputi rasa hangat. Aku berjalan menuju ruangan. Kini, langkahku terasa lebih ringan. Aku tahu ini sedikit terlambat. Namun, terlambat jauh lebih baik dari pada tidak datang di jam pelajaran kali ini, yang tentu akan menimbulkan masalah baru yaitu kemarahan Bang Lana terhadapku.Begitu masuk ruangan, aku sempat diusir, namun ia meralat ucapannya setelah melihatku. Hatiku kembali gundah tatkala melihat wajah itu di hadapanku. Aku bahkan tak mampu menatapnya. Ya, meski sempat menghangat nyatanya tidak mudah ketika aku berhadapan kembali, ingatan akan wanita itu tak bisa lepas dari pikiran ini. Ia terus menatapku sedangkan aku masih enggan dan hanya menatapnya sekilas. Ah, ternyata tidak gampang menyembuhkan luka sendirian.Sebisa mungkin aku meresapi setiap materi yang kali ini disampaikannya dengan begitu pelan dan mudah dipahami. Raut wajahnya pun tak seperti biasa, kali ini ia terlihat lebih sabar sekaligus jauh dari kata mematikan. Aku berusaha
POV GendisMungkin aku terlalu berharap hingga aku sempat melambung dengan perlakuannya meski sebentar bahkan belum genap satu hari. Namun, pada akhirnya aku merasakan patah untuk kesekian kali, saat kulihat wanita berparas menawan dan sudah bisa dipastikan sempurna dari segi usia dan pekerjaan. Wanita yang tak jauh berbeda dari kesempurnaan yang dimiliki Mbak Hanin itu memandangku sebatas mahasiswa yang sedang menemui dosennya untuk urusan tugas. Dan yang membuat aku semakin patah adalah suamiku sendiri mengiyakan hal itu. Sakitnya begitu nyeri, bak batu besar menghimpit dada ini. Langkahku mengayun cepat menuju ruangan. Namun, air mata ini membuat dua mahasiswa wanita yang sudah ada di dalam kelas tersebut memandang aneh padaku. Merasa tak nyaman aku pun memutuskan untuk kembali keluar melalui gerbang belakang, tak mungkin kembali melewati gerbang depan karena sudah pasti mereka masih ada di sana.Ketika luka menyayat hati pikiran hanya tertuju pada pesantren dan kalimat Umi. "Kal
"Maaf, Pak. Kalau gitu saya akan ikut kelas lain." Suara yang menyapa indera pendengaran seketika membuat hati yang sebelumnya hampa berubah hangat.Aku menoleh cepat ke arah pintu. Rasa lega menyelimuti kala kulihat Gendis berdiri di depan sana seraya menundukkan kepala, lesu.Aku hanya bisa terpaku di tempatku seraya menelan saliva beberapa kali. "Tunggu, ini adalah kelas terakhir di Minggu ini. Kelas selanjutnya materi sudah tidak sama. Cari tempat kosong dan duduklah," ucapku pada akhirnya saat tangannya sudah memegang handle pintu hendak keluar.Dalam hati aku tersenyum lega, jika tidak sedang di depan sini mungkin aku sudah berlari memeluknya sebagai wujud rasa syukur. Rasa syukur? Aku menggeleng menyadarkan diri yang sudah mulai kurang ajar."Kenapa masih di sana, duduk," perintahku setelah melihatnya tak bergerak dari tempat semula.Ia mengangguk kemudian menuju bangku kosong yang lagi-lagi ada di paling belakang dan sudah dipenuhi mahasiswa lelaki."Kamu, Mas ...," ujarku s
Kantin, kelas, taman, hingga perpustakaan aku datangi, namun tak juga aku temui sosok Gendis di sana. Setelah Mbak Aya pergi, aku bergegas mencari Gendis di seluruh penjuru kampus. Ia masih setia mengabaikan panggilan sekaligus pesan yang aku kirim secara terus menerus. Namun, sekarang lebih parah lagi, ponsel Gendis justru mati.Tak ada pilihan lain. Setelah lelah mencari aku pun memutuskan menghubungi pesantren. Hanya beberapa detik panggilan tersambung lalu diangkat."Assalamualaikum." Suara wanita yang sudah pasti Umi Masfufah terdengar dari seberang sana."Waalaikumsalam, Umi. Ini saya, Lana.""Nak Lana? Ada apa pagi-pagi sudah telepon? Apa Gendis merepotkanmu?""Bukan, Umi, cuma ...." Ucapanku terhenti, apa yang akan aku katakan bahkan sama sekali belum terpikirkan."Tapi kenapa, Nak?""Tapi ... Gendis dari tadi pagi pengen ketemu Umi. Ini saya cari kok nggak ada, ya. Apa dia sudah ada di sana, menemui Umi?" tanyaku penuh kehati-hatian setelah berpikir cukup lama agar Umi tidak
"Apa kamu sudah berpisah dari wanita itu?""Sudah kubilang aku tidak akan pisah. Kenapa masih bertanya tentang itu?" Aku menghela napas. "Seharusnya aku yang perlu tanya sama Mbak. Kenapa mengarang cerita bahkan berani memakai nama Papa?!"Wajah yang sebelumnya terlihat penuh ketegasan kini berubah pasi."Mbak hanya berusaha menyelamatkan adik Mbak." Aku tersenyum sinis. Menyelamatkan dari mana jika nyatanya papa sendiri jelas-jelas tidak menyetujuinya. Beruntung, aku masih bisa mendapatkan Gendis kembali. Kalau tidak, bisa habis dikuliti olehnya kalau papa sampai mengetahui. Ya, meski Papa tidak menyetujui, tapi aku tahu nuraninya tidaklah mati dan yang namanya nurani tidak akan pernah bisa dibohongi. Papa memang berhati batu tapi bukan berarti nuraninya terhadap wanita membantu. Buktinya ia begitu mengasihi Mama dan Mbak Aya meski ia bukan anak kandung."Bisakah tidak membahas istriku dan aku. Biarkan kami hidup dengan tenang."Ia tampak tersenyum remeh. "Romantis sekali kamu menye