Home / Romansa / Rahasia di Balik Meja Kerja / Chapter 05 - Kalau ini Bukan Taksiran, Aku Mau Lempar Kalender

Share

Chapter 05 - Kalau ini Bukan Taksiran, Aku Mau Lempar Kalender

Author: Xzyon_
last update Last Updated: 2025-05-28 08:28:52

Setelah malam itu di kafe rooftop, aku pulang dengan kepala penuh tanda tanya dan dada penuh... ya, penuh deg-degan.

Bukan karena kopinya mengandung kafein tingkat dewa. Tapi karena Adrian—bosku sendiri—baru aja bilang aku itu beda, jujur, spontan, dan bikin segalanya terasa lebih hidup.

Bos, plis… jangan gitu. Aku bisa salah paham dan mulai ngelamun nyari nama anak.

Besok paginya, aku bangun lebih awal. Ajaib. Biasanya alarm lima kali snooze, baru bangun. Tapi pagi ini? Alarm baru bunyi dua detik, aku udah duduk. Kayak tokoh utama film yang sadar dirinya punya peran penting dalam hidup orang lain.

Aku berdiri di depan cermin sambil oles lip tint yang biasanya cuma kupakai kalau ada kondangan. Hari ini… buat meeting. Meeting bareng Adrian.

"Tenang, Ran," bisikku ke pantulan wajah sendiri. "Ini cuma kerja. Cuma kerja."

Tapi bibirku udah kayak abis makan stroberi langsung dari ladangnya.

*****

Di kantor, Dinda udah nunggu di meja, matanya melotot kayak baru lihat diskon 90 persen di toko makeup.

"Rani. LO. SERIUS. PAKAI ITU?" tunjuknya ke lip tint-ku yang agak keterlaluan.

Aku nyengir malu. "Biasa aja, kan?"

"Ran. Lo biasanya pakai lip balm rasa vanila yang warnanya transparan. Ini kayak lo berubah jadi pemeran utama sinetron jam tujuh malam."

"Yah, siapa tahu ada syuting dadakan?"

Dinda memelototiku dengan ekspresi I know it. "Oke. Spill. Semalam lo ngapain sama Adrian? Dan jangan bilang cuma minum lemon tea."

Akhirnya aku cerita semuanya. Dari parkiran, kafe rooftop, sampai kata-kata "kamu beda dari yang lain" yang masih muter di otakku kayak ringtone jadul.

Dinda menatapku dengan wajah horor penuh antusias.

"Ran. Ran. RANI. KALO INI BUKAN TAKSIRAN, GUE MAU LEMPAR KALENDER."

"Lo mau lempar apapun, Din, tapi gue tetep bingung. Maksud dia apa?"

"HELLO?! Dia ngajak lo sering bareng, meeting bareng, makan siang bareng! Ini jelas-jelas manuver taktis!"

Aku bengong. Jujur aja, hatiku udah kayak terbang ke awan. Tapi otakku masih ngambang di zona waspada. Gimana kalau ini cuma profesionalisme? Atau... jebakan? Atau prank?

*****

Jam sepuluh pagi, notifikasi muncul:

📅 Rapat Divisi Keuangan - Ruang Rapat A

📎 Topik: Penyelarasan Proyek + Diskusi dengan CEO

Aku tarik napas panjang. Ini dia. Waktunya.

Sampai di ruang rapat, semua udah duduk. Adrian masuk terakhir. Pakai kemeja biru muda yang entah kenapa bisa kelihatan keren padahal warnanya kayak cat tembok kamar bayi.

"Selamat pagi semuanya," katanya sambil menatap ruangan.

Matanya sempat berhenti... tepat di aku.

Atau itu cuma halusinasi?

"Seperti yang sudah saya bilang kemarin, saya akan banyak berdiskusi langsung dengan tim. Dan saya butuh satu orang dari setiap divisi untuk jadi liaison—penghubung langsung. Untuk tim keuangan, saya minta Rani."

KRING!

Itu suara khayalan lonceng di kepalaku. Serasa menang undian berhadiah... tapi hadiahnya tekanan.

Semua mata menoleh padaku. Dinda melongo. Pak Haris dari akuntansi pura-pura batuk tapi jelas dia shock. Aku cuma bisa nyengir kecil dan angguk kayak anak baru di sekolah minggu.

"Rani, setelah ini kamu bisa diskusi sebentar dengan saya. Kita atur alurnya."

"Baik, Pak," jawabku, walau suaraku keluar setengah oktaf lebih tinggi.

*****

Selesai rapat, aku diajak ke ruang kerja Adrian. Baru kali ini aku masuk ruangan itu lebih dari lima detik. Biasanya cuma numpang nganter dokumen dan buru-buru kabur.

Sekarang?

Aku duduk. Dia duduk. Di hadapanku. Dengan tatapan yang... fokus. Dan senyum kecil yang entah kenapa bikin telapak tanganku berkeringat.

"Terima kasih udah bersedia," katanya. "Aku tahu ini dadakan."

"Nggak apa-apa, Pak. Saya juga... senang dipercaya."

Dia tertawa kecil. "Panggil aku Adrian aja, ya. Kalau kita sering kerja bareng, nggak perlu terlalu formal."

Aku langsung kikuk. "O-oh… baik. A-Adrian."

"Tenang aja. Kamu nggak perlu tegang begitu. Kita partner, kok. Kamu boleh banget kasih ide, bahkan kritik."

Kritik? Mau aku tulis sekarang atau besok? Termasuk soal AC yang kayak kulkas dan kursi ruang meeting yang bunyinya suka kayak kentut?

Tapi tentu, aku cuma senyum sopan.

"Kita akan mulai dari review laporan proyek Q2. Kamu bisa bantu kumpulkan feedback dari tim, ya?"

"Bisa, tentu bisa," jawabku sok mantap.

Padahal otakku udah panik buka folder “laporan penting banget jangan hilang” di pikiran.

*****

Tiga hari berjalan, aku resmi jadi "rekan" Adrian. Kami sering ngobrol. Kadang lewat email. Kadang chat. Kadang... langsung di pantry.

Dinda makin gila tiap lihat kami ngobrol. Satu kali dia bahkan nyanyi kecil waktu aku balik dari ruangan Adrian:

🎵 "Di antara kalian… mungkin dia yang paling dia mauuu..." 🎵

"Din, plis. Lo kayak iklan sabun cuci piring," keluhku.

"Tapi sabun cuci piring aja bisa bikin bersih. Lah kamu? Bersinar, Ran. Bersinar."

Aku tertawa. Tapi di balik itu, aku mulai ngerasa... nyaman. Sama semua ini. Sama frekuensi kami yang makin sering. Sama caranya dia nanya pendapatku, dan benar-benar dengerin.

Tapi di satu malam... semuanya berubah.

*****

Aku lagi ngerjain laporan lembur di kantor, jam udah hampir delapan malam. Lantai udah sepi. Tinggal suara AC dan dengungan komputer.

Tiba-tiba pintu ruanganku diketuk. Dan muncullah Adrian.

"Kamu masih di sini?"

Aku angguk. "Laporan minggu ini masih perlu dicek."

Dia berdiri di pintu. Matanya kelihatan... lelah.

"Kamu pulang bareng aku aja, ya?"

Aku kaget. "Nggak repot, Pak?"

Dia hanya senyum. "Aku yang minta, masa aku yang repot?"

Jantungku langsung salto.

*****

Di mobil, suasana lebih tenang. Jalanan Jakarta lengang. Musik slow pelan terdengar dari radio.

"Rani," katanya tiba-tiba. "Aku senang kamu bisa kerja bareng aku kayak gini."

Aku menoleh pelan. "Aku juga, Pak. Maksudku... Adrian."

Dia tersenyum. Tapi senyum itu cepat memudar. Diganti oleh raut yang... serius.

"Tapi aku juga harus jujur."

Oke. Ini dia. Ini titik di mana dia ngomong 'kamu terlalu baik buat aku'.

"Aku tahu ini rumit. Aku tahu kamu pasti mikir ini kerjaan. Tapi... jujur aja, aku tertarik sama kamu."

Deg.

"Aku tertarik, bukan cuma karena kamu bantu aku. Tapi karena... kamu bikin aku merasa hidup. Lucu, ya? Di tengah kerjaan, aku malah nemu hal yang... nggak direncanakan."

Aku membisu. Tanganku gemetar halus di atas tas.

"Dan aku nggak mau buru-buru. Aku cuma... pengin kamu tahu. Jadi kalau suatu saat aku ngajak kamu... bukan buat meeting, tapi buat makan malam... kamu nggak kaget."

Aku pelan-pelan menoleh ke arahnya. Jantungku udah pindah ke tenggorokan.

"Terima kasih udah bilang. Aku juga... nggak tahu ini arahnya ke mana. Tapi aku senang bisa dekat sama kamu."

Dia tersenyum lagi. Lebih hangat. Lebih... manusiawi.

Dan di detik itu, aku sadar:

Ini bukan lagi soal kerja.

Ini bukan lagi soal laporan atau presentasi.

Ini soal... dua orang yang saling menemukan di tengah kekacauan kantor dan hidup.

Dan mungkin... ini memang bukan FTV.

Tapi rasanya lebih seru dari itu.

*****

To Be Continued.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia di Balik Meja Kerja   Chapter 06 - Hati-Hati, Ada Jatuh Cinta di Antara Deadline

    Setelah malam itu di mobil, aku nggak bisa tidur.Bukan karena kopi instan sachetan yang tadi kuminum di kantor, tapi karena kalimat Adrian yang muter-muter di kepalaku kayak sinetron tanpa iklan."Aku tertarik sama kamu.""Kalau suatu saat aku ngajak kamu... bukan buat meeting, tapi buat makan malam... kamu nggak kaget."Plis, Pak. Aku udah kaget dari kalimat ketiga. Ini bukan nonton film, tapi dada aku beneran ngilu-ngilu dikit kayak abis sit-up dua kali.*****Pagi harinya, aku bangun dengan kepala penuh drama dan rambut segimbal gulali. Udah kayak tokoh utama drama Thailand yang lupa siapa dirinya.Dan untuk pertama kalinya, aku berangkat kerja tanpa drama snooze alarm. Bahkan sarapan. Bahkan pakai concealer.Kenapa? Karena ada kemungkinan besar aku akan satu ruangan sama orang yang bilang dia tertarik padaku.Lo tau rasanya masuk kantor setelah itu semua? Rasanya kayak masuk sekolah setelah nulis surat cinta ke guru BK. Deg-degan, awkward, tapi setengah penasaran juga.*****Begi

  • Rahasia di Balik Meja Kerja   Chapter 05 - Kalau ini Bukan Taksiran, Aku Mau Lempar Kalender

    Setelah malam itu di kafe rooftop, aku pulang dengan kepala penuh tanda tanya dan dada penuh... ya, penuh deg-degan.Bukan karena kopinya mengandung kafein tingkat dewa. Tapi karena Adrian—bosku sendiri—baru aja bilang aku itu beda, jujur, spontan, dan bikin segalanya terasa lebih hidup.Bos, plis… jangan gitu. Aku bisa salah paham dan mulai ngelamun nyari nama anak.Besok paginya, aku bangun lebih awal. Ajaib. Biasanya alarm lima kali snooze, baru bangun. Tapi pagi ini? Alarm baru bunyi dua detik, aku udah duduk. Kayak tokoh utama film yang sadar dirinya punya peran penting dalam hidup orang lain.Aku berdiri di depan cermin sambil oles lip tint yang biasanya cuma kupakai kalau ada kondangan. Hari ini… buat meeting. Meeting bareng Adrian."Tenang, Ran," bisikku ke pantulan wajah sendiri. "Ini cuma kerja. Cuma kerja."Tapi bibirku udah kayak abis makan stroberi langsung dari ladangnya.*****Di kantor, Dinda udah nunggu di meja, matanya melotot kayak baru lihat diskon 90 persen di tok

  • Rahasia di Balik Meja Kerja   Chapter 04 - Jangan-Jangan Aku Lagi di FTV?

    Aku duduk di halte depan kantor, nungguin ojek online yang kayaknya lagi cari jalan pulang dari Bandung. Udara panas, makeup udah luntur, dan aku masih bengong mikirin omongan Adrian tadi di rooftop."Aku butuh bantuanmu. Tapi bukan soal kerjaan."Kalimat itu muter-muter di kepala kayak lagu dangdut remix. Bukannya fokus balas chat dari Dinda yang nanya, "Lo hidup nggak sih, Ran? Kenapa tiba-tiba ilang?", aku malah ngelamun sambil ngelus-ngelus sedotan di tangan yang tadi kupakai buat ngaduk teh.Sampai akhirnya motorku datang dan aku naik tanpa banyak mikir. Begitu duduk, si abang nanya, "Mbaknya Rani, ya?""Iya, Bang. Jalan aja, jangan nanya macem-macem ya, hati saya lagi goyang."Abangnya ngangguk paham. "Oh, abis meeting besar, ya? Saya sering jemput penumpang yang abis meeting, memang suka mellow."Luar biasa empati abang ini.*****Sampai rumah, aku langsung masuk kamar dan ngelempar tas kayak di film remaja. Buka ikat rambut, nyalain kipas, terus jatuh ke kasur sambil teriak, "

  • Rahasia di Balik Meja Kerja   Chapter 03 - Badai Bernama Meeting

    Aku baru duduk lima menit, secangkir kopi belum sempat diseruput, dan playlist mellow pagi ini baru nyampe lagu kedua, ketika notifikasi Google Calendar muncul seperti petir di siang bolong:📅 Meeting All-Staff: Jam 10.00 – R. Presentasi Besar – Agenda: Perkenalan dan Penyelarasan VisiAku menatap layar, lalu menatap cermin kecil di laci meja.“Visi? Yang aku lihat sekarang cuma kantung mata dan jerawat kecil yang muncul kayak hadiah kejutan,” gumamku sambil panik menepuk-nepuk bedak padat ke wajah. Sialnya, aku malah kelebihan dan sekarang pipiku kayak pantat bayi yang baru bedakan.Dinda menyembul dari belakang kubikel, matanya berbinar kayak penonton sinetron yang baru tahu kalau tokoh utamanya amnesia."Rani, kamu udah siap? Aku denger-denger, hari ini bos baru bakal nyampaikan presentasi perdananya. Serius. Ini kayak debut K-pop tapi versi kantor."Aku meliriknya lemas. "Debut K-pop? Aku takut malah kayak audisi X-Factor kalau dia mulai nanya-nanya dan aku jawabnya pake logat Be

  • Rahasia di Balik Meja Kerja   Chapter 02 - Jangan Kepedean, Ran

    Besoknya, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Alarm belum sempat bunyi, tapi aku udah melek kayak abis mimpi disawer gaji tiga digit. Aku mandi lebih lama, pilih kemeja warna biru langit (katanya warna tenang dan bikin orang terlihat profesional—padahal niatnya biar matching sama warna mata bos baru. Ups.)Sesampainya di kantor, aku mencoba terlihat santai. Cuek. Tidak terobsesi. Tapi langkahku terlalu ringan untuk dibilang wajar. Bahkan lift kantor aja kayak lebih cepat mengantarku ke lantai lima. Biasanya dia suka drama ngadat di lantai tiga."Tumben datang awal?" tanya Mas Tyo dari bagian IT sambil menoleh dari belakang monitor.Aku pura-pura garuk kepala yang nggak gatal. "Lagi pengin jadi karyawan teladan. Kali aja dapet bonus."Dia nyengir. "Atau dapet perhatian bos baru?"Aku tersedak air minumku sendiri. "Kamu denger gosip dari mana sih?!""Aku nggak butuh gosip. Aku cukup duduk di dekat pantry dan mendengar degupan jantungmu waktu dia ngomong 'kamu' kemarin."Astagaaaa.Tern

  • Rahasia di Balik Meja Kerja   Chapter 01 - Bukan Hari Senin Biasa

    Kalau hari Senin biasanya identik dengan kantung mata, kopi dingin, dan kemeja kusut, maka hari ini agak beda. Aku—Rani Widyastuti—bangun lebih pagi, pakai kemeja yang masih wangi setrika, dan bahkan sempat sarapan bukan cuma dengan kopi dan galau.Penyebab perubahan hidup yang drastis ini cuma satu: bos baru."Dia katanya masih muda, Ran. Terus tinggi, putih, dan katanya lulusan luar negeri. Gaya banget!" bisik Dinda, teman satu timku, sambil menyeruput teh tarik dari gelas yang lebih besar dari niatnya kerja hari ini.Aku mendengus pelan. "Terus kenapa emangnya kalau lulusan luar negeri? Emang dia mau ngajarin kita cara bikin laporan keuangan sambil main ski?""Ya siapa tahu dia ngajak kamu dinner dulu, baru ngajarin ski-nya."Aku nyaris menyemburkan roti isi telurku. "Ngajak aku dinner? Din, aku ini siapa? Admin keuangan yang laptopnya aja udah dua kali diselamatin Pak Herman dari BSOD.""Tapi kamu lucu. Mungkin dia suka cewek lucu."Aku menatap Dinda dengan tatapan khas: tatapan '

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status